Slow Living

MODERNITAS memang menjanjikan banyak hal. Terdapat ‘janji’ mendapatkan kecepatan, kemudahan, kedekatan virtual, keterjangkauan, juga ‘hil-hil yang dulu dianggap mustahal‘. Pokoknya, dengan teknologi, melalui kecerdasan buatan, Dekat Segala hal Pandai diwujudkan.

Kendati begitu, sudah sejak Lamban pula modernitas dikritik bakal menyisakan masalah. Hegel dan Marx sudah mengkritik residu modernitas itu sejak seabad lebih yang Lewat. Mereka menyebut modernitas menciptakan alienasi, keterasingan.

Erich Fromm, seorang psikoanalis, juga sudah menyebut soal keterasingan kaum modernitas itu lima Sepuluh tahun Lewat. Ia menyebut modernitas Membikin banyak orang sakit. Karena itu, kata Fromm, Demi menyembuhkan masyarakat modern yang sakit itu harus dilakukan perubahan, bukan hanya dalam satu aspek kehidupan, melainkan juga seluruh bidang, termasuk struktur Watak Insan dan aktivitas kebudayaan.

Mungkin karena terinspirasi oleh tulisan Fromm atau kian banyaknya tekanan hidup, kini semakin ngetren orang memilih jalan hidup slow living. Gaya hidup Insan modern yang agak ‘mengerem’ itu bukan berarti hidup serbalambat atau malas, melainkan hidup yang lebih seimbang, kian sadar, dan makin bermakna.

Di sejumlah portal Informasi, kini juga kian menjamur artikel-artikel soal slow living. Terdapat yang menulis kiat-kiat. Terdapat yang menulis Slow Living: Pengertian, Manfaat, & Langkah Melakukannya. Hingga Terdapat artikel soal tempat-tempat yang pas buat menerapkan slow living seperti di Magelang, Salatiga, Wonosobo, Temanggung (semuanya di Jawa Tengah); Malang, Jawa Timur; atau Yogyakarta.

Cek Artikel:  Pangan sebagai Panglima

Pilihan itu boleh jadi disebabkan mereka merasa dunia akhir-akhir bergerak amat Segera. Bahkan, dirasakan terlalu Segera. Mereka menyaksikan Ketika naik transportasi Lazim, orang-orang berebut masuk dan keluar. Naik tangga atau eskalator di stasiun kereta commuter atau di sejumlah mal juga berdesakan. Segala terburu-buru. Mereka berjalan Sebelah berlari.

Menyaksikan, merasakan, dan menjalani situasi seperti itu, bagi mereka, terasa melelahkan. Lari, bergerak, berebut setiap Ketika Membikin tubuh dan pikiran jadi kewalahan. Akhirnya, orang mulai berpikir Demi menjalankan gaya hidup slow living, mungkin seperti prinsip alon-alon waton kelakon alias pelan-pelan tapi tercapai.

Sekali Kembali, slow living Mempunyai konsep Enggak menyerah dengan kehidupan yang berjalan Segera, tapi memperlambat dan Pusat perhatian pada hal-hal kecil yang biasanya diabaikan. Mereka menolak terjebak pada rutinitas. Hidup perlu menyediakan waktu Demi melakukan hobi yang Betul-Betul disukai, bahkan menikmati alam tanpa harus Serempak telepon seluler, menjauh dari telepon pintar Demi sementara waktu.

Cek Artikel:  Gibran Sebut Survei Salah

Intinya, menjalani dan melakukan Segala hal yang Membikin hidup merasa lebih Bagus. Mereka Enggak lupa Gembira, Enggak terlalu stres, dan hidup lebih damai, menghargai kehidupan. Mereka yang memilih slow living berfokus pada melakukan segala sesuatu dengan Bagus, bukan dengan Segera. Mereka memprioritaskan waktu Demi hal yang Betul-Betul Krusial; meskipun harus dilakukan dengan Lamban dan Lamban, hasilnya sempurna.

Tetapi, selalu saja Terdapat kritik. Itu Lazim. Sejumlah orang yang mengkritisi gejala slow living itu menilai bahwa pilihan gaya hidup ‘melambat’ itu lambang kekalahan. Mereka dinilai kalah bertarung Lewat memilih jalan lari dengan bumbu-bumbu asketis.

Terdapat pula yang mengomentari bahwa kita selalu hidup dalam dua pendulum yang gampang bergeser. Malah, Terdapat yang menyebut kita bangsa yang Sebelah-Sebelah, Enggak pernah full. “Baru juga Sebelah modern, sudah mengeluhkan hidup yang serbacepat. Padahal, yang kita butuhkan malah tambahan kecepatan agar menjadi bangsa maju,” kata seorang Kolega yang menolak slow living.

Tetapi, slow living atau fast living memang pilihan merdeka. Ia Pandai menjadi alternatif. Lebih-lebih ketika hujan pungutan mulai mendera kaum modern (atau Sebelah modern) di banyak tempat. Terdapat pajak pertambahan nilai (PPN) yang dinaikkan mulai Januari 2025. Terdapat tambahan pajak kendaraan bermotor. Terdapat subsidi yang dialihkan.

Cek Artikel:  Drama Menjengkelkan

Macam-macam-Macam-macam pungutan itu saling gegas, berpacu, berburu Demi diberlakukan tahun depan. Karena itu, tekanan hidup Niscaya bertambah. Sumbu hidup Lalu dipacu. Ruang bernapas kian sesak. Slow living ialah jalan alternatif. Ia upaya mengatur napas, menyelonjorkan kaki, membasuh muka.

Singkatnya, para penganut slow living sedang hendak mematikan autopilot dan memberikan ruang merefleksi dan menjalani hidup dengan kesadaran penuh. Mereka mengartikan slow living sebagai hidup yang lebih Bagus, bukan lebih Segera. Bukan tertinggal, melainkan mengedepankan prioritas dan kenyamanan.

Boleh-boleh saja. Absah-Absah saja. Sama sahnya ketika Theodore KS menggambarkannya lewat lirik Tembang Balada Sejuta Paras yang dipopulerkan God Bless.

Mengapa Segala berkejaran dalam bising

Mengapa oh mengapa

Sejuta Paras engkau libatkan dalam himpitan kegelisahan

 

Adakah hari esok makmur sentosa

bagi Paras-Paras yang menghiba’.

Mungkin Anda Menyukai