Tak Viral maka tak Tegak

DULU, ketika awal-awal media sosial baru saja booming, mungkin sebagian besar tujuan orang bermedia sosial ialah Buat menampangkan siapa dirinya, aktivitas apa yang sedang dilakukan, atau dengan siapa saja ia bergaul. Tetapi, di era sekarang, media sosial kiranya Enggak Tengah sekadar menjadi platform Buat menampilkan eksistensi seseorang.

Laiknya habitat tempat ia hidup, Yakni dunia digital yang Lanjut berkembang, fungsi media sosial pun ikut bertransformasi. Kini, ia tak sebatas menjadi platform Buat pamer diri walaupun praktik ini Tiba Ketika pun tampaknya bakal Lanjut Eksis. Belakangan media sosial juga telah berkembang menjadi semacam watchdog, anjing penjaga.

Beberapa platform media sosial Ketika ini bahkan sangat efektif sebagai sarana Buat menyampaikan sinisme dan kritik, mulai kritik sosial hingga kritik terhadap penguasa alias pemerintah. Mulai sinisme remeh, yang sayangnya kadang Lagi dibumbui ujaran kebencian, Tiba kritik yang betul-betul serius yang disertai dengan data-data penunjang.

Harus diakui, sebagai watchdog, semakin kemari media sosial semakin dipandang. Kian ditakuti. Gonggongannya mungkin sudah Dekat sama kerasnya dengan gonggongan pers ketika mengkritik sebuah kebijakan. Dalam beberapa hal tertentu, posting kritik di media sosial bahkan lebih didengar dan lebih Segera direspons.

Cek Artikel:  Kampus Pilu

Perhatikan saja, begitu objek sasaran kritik sudah viral di platform media sosial, siap-siap saja si pelaku atau pemangku kepentingan atas objek kritik itu ‘dirujak’ netizen alias warganet. ‘Dirujak’ ialah istilah yang kerap digunakan para komentator di dunia maya Buat menggantikan kata di-bully. Setelah habis-habisan dirujak di dunia maya, mereka ‘dihabisi’ Tengah di dunia Konkret.

Miftah Maulana Habiburrahman sudah merasakan dahsyatnya jari netizen Indonesia. Perilaku Miftah yang Enggak baik terhadap beberapa orang dalam sejumlah kegiatan yang dihadirinya, termasuk kepada penjual es teh dan pelawak senior Yati Pesek, diungkap dan dikuliti habis warganet. Alhasil, Miftah pun mundur dari jabatan menterengnya di pemerintahan sebagai utusan Tertentu presiden bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan.

Tertentu di ranah penegakan hukum, belakangan muncul pula istilah no viral no justice. Kira-kira artinya hukum baru ditegakkan setelah kasusnya diangkat, diviralkan, dan dikritik ramai-ramai di media sosial. Kalau Enggak viral, ya, wasalam. Tak viral maka (hukum) tak tegak.

Memang, cerita soal penegak hukum di negeri ini kerap cuek dan tak memberi atensi terhadap suatu kasus bukanlah cerita baru. Entah karena malas entah lantaran Asal Mula lain yang mungkin saja berkaitan dengan suap atau sogokan, polisi kerap dengan entengnya mengabaikan suatu kasus kekerasan maupun kejahatan, bahkan ketika si korban sudah melaporkan secara Formal.

Cek Artikel:  Apalah Maksud Sebuah Bilangan

Ketika akhirnya Eksis netizen yang mengunggah bukti foto ataupun video kasus tersebut ke media sosial dan kemudian menjadi trending dan perbincangan panas di dunia maya, barulah mereka (terpaksa) bertindak. Karena itu, jangan heran kalau netizen kini mendapat julukan baru, yakni polisi virtual atau penegak hukum virtual.

Di Ketika polisi beneran melempem, polisi-polisi virtual itulah yang Lanjut bekerja. Menguak kasus, memelototi kezaliman, memviralkan ketidakadilan. Secara Enggak langsung, kehadiran mereka menjadi sindiran terhadap ketidaksigapan yang kerap dipertontonkan penegak hukum. Mudah-mudahan mereka tersindir.

Misalnya soal ini seabrek, tapi kita ambil saja yang Lagi baru dan hangat, Yakni kasus penganiayaan terhadap Dwi Ayu Darmawati (DAD), karyawati sebuah toko roti di Cakung, Jakarta Timur, oleh George Sugama Halim (GSH) yang merupakan anak pemilik toko.

Kasus itu sebetulnya terjadi pada 17 Oktober 2024. Si korban pun telah melaporkannya ke polisi sehari setelahnya, Yakni pada 18 Oktober. Eksis dua polsek yang ia datangi, Yakni Polsek Rawamangun dan Polsek Cakung. Tetapi, di dua kantor yang semestinya menjadi pengayom masyarakat itu, laporan Dwi ditolak.

Cek Artikel:  Pelabelan Politik

Dekat dua bulan kemudian, kasus itu mencuat setelah video penganiayaan itu banyak diunggah di platform X. Publik dunia maya pun marah apalagi setelah mereka Paham bahwa korban sebetulnya sudah melaporkan kasus tersebut, tapi tak direken polisi. Setelah dikritik habis-habisan di jagat maya, polisi yang tak mau menjadi bulan-bulanan warganet pun akhirnya bergerak. George ditangkap pada Senin (16/12).

Kocak sekaligus getir. Seperti itulah mungkin yang dirasakan publik, setidaknya saya, Ketika mencerna fenomena no viral no justice itu. Matang, sih, mesti viral dulu baru aparat bertindak? Matang harus menunggu dirujak dan dihujani kritik warganet dulu baru hukum ditegakkan? Menegakkan hukum itu tugas Anda, lo, bukan tugas kami.

Kalau para pejabat dan aparat maunya Lagi bekerja dengan gaya begitu, apa perlu nanti mereka bertukar tempat saja dengan warganet?

Mungkin Anda Menyukai