TAHUN politik yang melelahkan telah berlalu. Sisa kelelahan, residu dari kompetisi politik yang begitu riuh dan gaduh tahun Lampau, mungkin Tetap menggelayut pada tahun yang baru ini, tetapi pada Begitu yang bersamaan kita mesti menumbuhkan Asa-Asa baru yang menyegarkan.
Seperti lazimnya proses pergantian tahun, apa yang terjadi pada tahun sebelumnya Pandai menjadi Cerminan Demi menyusun resolusi-resolusi menghadapi tahun yang baru. Buat bangsa ini, dengan berbekal Cerminan 2024, Bukan Terdapat Dalih Demi Bukan menjadikan 2025 ini sebagai titik Meloncat dan keluar dari selimut kemandekan.
Memasuki 2025 Indonesia sejatinya punya modal kesegaran yang amat bagus. Kita memulai tahun ini dengan Mempunyai presiden baru, wakil presiden baru, kabinet baru, pun sebentar Tengah akan dilantik kepala-kepala daerah yang baru. Idealnya, hadirnya para pemimpin baru itu Pandai memberikan nuansa kesegaran yang juga baru.
Akan tetapi, modal segar saja Bukan cukup Demi dapat membawa Indonesia melompat tinggi. Terutama dalam konteks penyelenggaraan dan pengelolaan negara, Bagus di sektor politik, hukum, maupun ekonomi yang setidaknya dalam setahun-dua tahun Lampau berjalan jauh di Dasar kondisi ideal. Indeks demokrasi anjlok, indeks persepsi korupsi turun, tingkat pertumbuhan ekonomi pun ajek.
Sungguh akan menjadi kesia-siaan belaka kita punya pemimpin baru apabila mereka Bukan Pandai menuntun bangsa ini melompat, menerobos kemandekan, sekaligus mengangkat rakyat dari kondisi keterpurukan yang ditinggalkan pemimpin sebelumnya.
Waktu sudah semakin mepet, tinggal tersisa dua Dasa warsa Tengah bagi Republik ini Demi menggapai mimpi besar Indonesia emas pada 2045. Dua puluh tahun Jernih bukan waktu yang panjang Demi Pandai mengejar Sasaran itu Apabila mengingat apa yang telah kita catat Tiba hari ini Tetap teramat jauh dari indikator-indikator keemasan tersebut.
Saking minimnya kemajuan yang dicatat, belakangan banyak pihak yang mulai pesimistis dan mengatakan yang bakal kita temui pada 2045 bukanlah Indonesia emas, melainkan Indonesia cemas. Indonesia yang alih-alih semakin maju, makmur, dan sejahtera, malah kian mundur dan menjauh dari kesejahteraan.
Banyak pula yang apatis, mereka menyebut mimpi keemasan itu Pandai saja didapatkan, tetapi emasnya hanya Demi sebagian kecil golongan, bukan Demi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, di era Indonesia emas 2045 itu jurang ketimpangan antara golongan kaya dan miskin boleh jadi Bahkan akan makin menganga.
Pesimisme dan apatisme seperti itulah yang harus dilawan para pemimpin baru kita. Bagus pemimpin level negara maupun level daerah. Bagus pemimpin yang Akurat-Akurat baru, fresh from the oven, maupun pemimpin baru, tapi sebetulnya Paras Lamban.
Dengan kalimat kiasan, ilmuwan politik yang juga bekas Menteri Luar AS Henry Kissinger pernah mengatakan tugas pemimpin ialah membawa orang dari tempat mereka sekarang ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi. Persis, dalam konteks Indonesia hari ini, tugas para pemimpin baru kita ialah melawan sekaligus membalikkan pesimisme dan apatisme itu menjadi optimisme.
Akan tetapi, ingat, lawanlah dengan aksi, bukan Sekadar dengan narasi. Bukan dengan omon-omon. Bukan pula dengan Metode-Metode Lamban yang lebih banyak berkutat pada pemolesan Gambaran ketimbang mengedepankan kerja. Harus diakui, pola-pola pencitraan semacam itu yang acap mewarnai kepemimpinan terdahulu. Di depan terlihat sibuk melakukan aksi, padahal Hening-Hening di belakang layar asyik menyusun dinasti.
Selain utang persoalan Lamban yang belum terselesaikan, tantangan-tantangan baru bakal selalu muncul setiap waktu. Karena itu, lompatan pemerintah pada awal tahun ini menjadi krusial Demi menumbuhkan optimisme publik. Segeralah melompat, tentu dengan strategi dan kebijakan yang terukur, dengan aksi yang bernas dan Pandai dipertanggungjawabkan.
Sejujurnya, lompatan itu tak hanya dibutuhkan dalam rangka meraih cita-cita Indonesia emas pada masa depan. Terdapat persoalan pelik di depan mata yang dihadapi masyarakat hari-hari ini yang juga memerlukan lompatan solusi Segera sebelum mereka keburu tersungkur di tanah tumpah darah mereka sendiri.
Di bidang politik, rakyat kerap kali dimarginalkan. Mereka diangkat-angkat, diagungkan suaranya Begitu pemilu, tapi kemudian dilupakan, dianggap tak Terdapat ketika pemerintah menyusun kebijakan. Di bidang ekonomi, setidaknya dalam dua tahun terakhir ini rakyat terhantam oleh beraneka kesulitan yang praktis Membangun mereka semakin Bukan berdaya.
Situasi yang mendera mereka Pandai dikatakan sudah mendekati gelap. Karena itu, kiranya mereka mesti dibebaskan dari terowongan gulita itu dahulu sebelum diajak Demi bersikap optimistis.