Kawan saya Tetap saja uring-uringan. Amarahnya membuncah saban membicarakan vonis hakim Kepada Harvey Moeis. Dia geram tiap mengingat betapa ringannya hukuman buat suami Selebriti Sandra Dewi yang terbukti merugikan negara ratusan triliun rupiah.
Saya Percaya Kawan saya tak sendirian. Niscaya banyak, sangat banyak, orang lain yang berperasaan sama. Sama-sama kesal, marah. Pun, Niscaya tak sedikit rakyat yang sulit Kepada move on, melupakan putusan hakim yang sungguh melukai rasa keadilan itu.
Vonis Kepada Harvey yang diputuskan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/12/2024), memang kebangetan. Bayangkan, kendati terbukti korupsi yang merugikan negara Rp300 triliun, dia Sekadar dihukum 6 tahun 6 bulan, denda Rp 1 miliar, dan membayar Fulus pengganti Rp210 miliar subsider 2 tahun penjara.
Begitulah, dengan kerugian sejumbo itu, vonisnya seringan bulu. Putusan majelis hakim yang diketuai Eko Aryanto itu Sekadar separuh lebih dikit daripada tuntutan jaksa yang sebenarnya sudah ringan, yakni 12 tahun penjara.
Hukuman Kepada Harvey dalam kasus korupsi PT Timah tak akan Dapat dilupakan, apalagi dimaafkan. Pun dengan hukuman Kepada para terdakwa lain yang rerata juga enteng-enteng saja. Ia menambah panjang daftar hukuman yang bertentangan dengan logika. Kalau harus dirinci satu per satu, kolom ini tak akan cukup. Terlalu banyak Kepada disebutkan. Oleh karena itu, bolehlah kita tengok beberapa kasus belakangan ini saja.
Salah satu yang Membikin heboh ialah vonis rendah Kepada eks Personil Badan Pemeriksaan Keuangan Achsanul Qosasi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/6/2024). Oleh majelis, Achsanul dinyatakan terbukti melakukan korupsi proyek BTS 4G pada Bakti Kominfo dan menerima Fulus Rp40 miliar, tapi Sekadar divonis 2,5 tahun atau Sebelah dari tuntutan jaksa yang hanya 5 tahun penjara. Alasannya, dia sudah mengembalikan Fulus tersebut dan sopan di persidangan. Aneh? Banyak yang menganggap demikian. Lezat betul Apabila mengembalikan Fulus korupsi karena kadung ketahuan Lampau mendapat keringanan hukuman.
Di luar perkara korupsi, hakim belum Pelan ini Membikin heboh tatkala memvonis bebas Gregorius Ronald Kompor di PN Surabaya, Jawa Timur, Juli Lampau, dalam perkara pembunuhan Pagi Sera Afriyanti. Usut punya usut, Eksis suap di balik ‘kebaikan hati’ majelis hakim yang terdiri atas Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Ketiganya kena OTT dan kasus mereka sedang bergulir di persidangan. Dalam perkembangannya, kasus itu juga menyasar bekas pejabat Mahkamah Mulia Zarof Ricar yang dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan Fulus Sekeliling Rp1 triliun. Edan.
Begitulah, rakyat kerap disakiti deretan vonis yang bertentangan dengan nurani. Data Indonesia Corruption Watch itu mengonfirmasi betapa lemahnya negara melawan korupsi. Dari 866 kasus dengan 898 terdakwa yang disidangkan di pengadilan tipikor sepanjang 2023, rerata vonis buat koruptor Sekadar 3 tahun 4 bulan penjara. Menyedihkah, bukan?
Karena itu, wajar, sangat wajar vonis Kepada Harvey menyayat Intelek sehat rakyat. Kalau meminjam lirik Musik Anjlok Bangun-nya Meggy Z, vonis itu ibarat luka di atas luka. ‘Sudah Paham luka di dalam dadaku…Sengaja kau siram dengan air garam…’. Begitu kira-kira. Pedih, perih.
Tak Sekadar rakyat kebanyakan, Presiden Prabowo Subianto sepertinya juga terluka. Dia tak habis pikir, orang yang merugikan negara ratusan triliun rupiah, kok, hanya divonis 6,5 tahun. Dia membandingkan dengan maling ayam yang dihukum berat, digebuki pula.
Kalau rakyat terluka, itu sudah Normal. Mereka tak Dapat berbuat apa-apa. Paling ngegerundel, mengumpat, Lampau meratap, kok, seperti ini nasib bangsa ini. Tetapi, kalau seorang presiden yang terluka, Sepatutnya lain cerita. Dengan kewenangan dan kekuasaannya, dia Dapat melakukan perbaikan, Membikin perubahan.
Dari Sekeliling 7.700 hakim yang Eksis, Niscaya Enggak semuanya jahat. Soal lebih banyak yang Bagus atau yang Jelek, saya Enggak Paham pastinya. Yang Jernih, tiada henti di antara mereka melukai rasa keadilan publik. Upaya Rapi-Rapi katanya sudah Pelan dilakukan, tapi nyatanya yang kotor Maju saja dipertontonkan. Apa yang salah?
Beberapa negara punya Langkah radikal Kepada membersihkan lembaga peradilan. Georgia, misalnya. Negara pecahan Uni Soviet itu pernah memberhentikan Sekalian hakim, Lampau diganti yang baru. Tujuan mereka memastikan peradilan steril dari penyimpangan. Kepada mengisi kekosongan, mereka mendatangkan hakim dari luar negeri guna menangani perkara selama masa transisi.
Tak Sekadar hakim, Georgia pernah pula merombak total institusi kepolisian. Begitu menjabat pada 2004, Presiden Mikheil Saakashvili memecat 30 ribu polisi sebagai bagian dari perang melawan korupsi.
Malta dan Irlandia juga pernah mengimpor hakim. Demikian halnya dengan Singapura, Hong Kong, Timor Leste, dan Afrika Selatan. Bagaimana dengan kita, Indonesia? Dulu, sejumlah kalangan mengusulkan. Kini, tak Eksis salahnya solusi itu ditimbang-timbang dengan hati yang lapang. Kalau mau, datangkan saja hakim dari luar negeri yang memang sudah teruji Spesifik Kepada mengadili perkara-perkara korupsi. Beri mereka gaji tinggi dengan syarat harus tegas tanpa batas menindak pelaku korupsi.
Kalau naturalisasi pesepak bola Kepada kesebelasan nasional disikapi masyarakat dengan pro dan kontra yang sangat terasa, saya Percaya rakyat kompak sepakat Apabila kita mengimpor hakim. Bagaimana pembaca?