NETRALITAS penguasa ialah salah satu syarat mutlak bagi terselenggaranya pemilu yang berkualitas. Tapi di pemilu, utamanya di Pilpres 2024 ini, netralitas justru jauh panggang dari api, semakin ugal-ugalan, dan kian mengkhawatirkan.
Independenitas dari penguasa ialah keniscayaan agar kompetisi demokrasi berlangsung fair dan adil. Mereka pantang berpihak karena menggenggam kewenangan dan segala sumber daya negara yang rawan diselewengkan.
Penguasa, pejabat, aparatur sipil negara (ASN), maupun TNI/Polri adalah pelopor netralitas. Sayangnya, sesuatu yang ideal itu hanya gagah di atas kertas, cuma lantang di omongan. Faktanya, ketidaknetralan bahkan telah menjelma menjadi ancaman serius, amat serius, bagi pemilu. Ia mengambil alih peran isu politik identitas, hoaks, dan fitnah sebagai perusak kontestasi di Pilpres 2014 dan 2019.
Deretan peristiwa demi peristiwa membuktikan hal itu. Dugaan keberpihakan, indikasi mengkapitalisasi program, kegiatan, dan sumber daya negara untuk memenangkan pasangan calon tertentu terus terjadi dan kian kentara. Semakin keras publik menentang, semakin bersemangat mereka menunjukkan keberpihakan.
Kasus terkini adalah kehadiran capres nomor urut 2 Prabowo Subianto dalam acara Natal Serempak Kementerian Badan Usaha Punya Negara (BUMN), Senin (15/1). Ini sangat tidak biasa, sarat tanda tanya. Pertama, sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo tak ada hubungannya dengan acara di Kementerian BUMN. Kedua, kalau dia diundang sebagai capres, kenapa dua capres lainnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, dikesampingkan?
Dalih Menteri BUMN Erick Thohir bahwa Prabowo bagian dari keluarga besar BUMN lantaran kakeknya pendiri Bank BNI juga mengada-ada, tuna logika. Kalau itu alasannya, kenapa baru sekarang Prabowo diundang saat dia berkontestasi di pilpres? Bukankah begitu lahir pada 72 tahun lalu dia sudah menjadi cucu Margono Djojohadikoesoemo?
Teramat sulit bagi publik untuk tidak mengaitkan kehadiran Prabowo itu dengan kepentingan politik elektoral. Teramat sukar bagi kita untuk tak meyakini bahwa para pejabat telah berlaku tidak netral. Teramat naif pula untuk tidak menduga bahwa mereka semakin habis-habisan menunggangi program-program negara untuk mendulang suara. Sebelum acara Natal bersama BUMN, Prabowo yang Menhan diberi panggung di seminar soal proyek giant sea wall Pantura Jawa.
Tak cuma di level atas, keberpihakan terus pula dipamerkan jajaran bawah. Terkini, petinggi dinas pendidikan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, viral karena mengampanyekan cawapres Prabowo yang putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Begitu pula petinggi Dinas Pendidikan Kota Medan, Sumatra Utara, yang mengajak kepala sekolah memenangkan Prabowo-Gibran.
Ketidaknetralan memang tidak semata dilakukan untuk salah satu paslon. Yang pasti, ia sudah, tengah, dan akan terus terjadi karena ada pembiaran, baik oleh pucuk pimpinan pemerintahan maupun karena ketidaktegasan Badan Pengawas Pemilu. Ia bakal kian ugal-ugalan jika orang yang paling bertanggung jawab dan wasit kompetisi ikut menjadi pemain, yang di panggung depan selalu berkata netral tetapi di belakang penuh keberpihakan.
Apabila memang netral, kenapa Presiden Jokowi diam seribu bahasa ketika anak buahnya gencar memperlihatkan ketidaknetralan? Bukankah dia dengan mudahnya bisa menegur atau melarang? Bukankah dia masih punya kekuatan dan kekuasaan untuk menertibkan mereka?
Ketidaknetralan menggila lantaran praktik tercela itu dilakukan secara sistematis, dari atas sampai bawah, dari kepala sampai kaki. Ia menjadi tanggung jawab presiden dan Bawaslu untuk menyudahinya. Mereka pasti mampu, asalkan mau. Akhiri segera aksi ugal-ugalan itu.