Indonesia dan Sorak Sorai Pemilu

Indonesia dan Sorak Sorai Pemilu
Ilustrasi – Menjelang Pemilu rasa khawatir menyelimuti rakyat, karena demokrasi Indonesia ibaratkan berada di tepi jurang. (Antara)

DALAM hitungan hari, rakyat Indonesia akan memasuki momentum Pemilu yang secara konseptual telah diketahui sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, sebagaimana telah diatur dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pada praktik kenegaraan, Pemilu adalah salah satu variabel dari sistem demokrasi modern. Maka sudah tentu, tanggung jawab rakyat atas hak dan kewajibannya untuk memilih seorang pemimpin yang kelak menjadi representasi pada ranah legislatif, maupun yudikatif.

Di sisi lain, ada yang menganggap pemilu hanyalah suatu momen para elite memperdaya rakyat melalui sugesti yang dijanjikan pada saat berkampanye, agar nantinya dapat terpilih dan memiliki kekuasaan. 

Menilik secara historis, Indonesia pertama kali melaksanakan pemilu pada masa kekuasaan orde lama tahun 1955. Partai-partai politik yang berkontestasi saat itu, memperebutkan kursi di DPR dan Konstituante, yang dimenangkan Partai Nasional Indonesia (PNI). Berlanjut di masa kekuasaan orde baru, Pemilu dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Di masa orde baru, Pemilu dilaksanakan dengan manipulasi rezim, serta kecurangan-kecurangan yang dilakukan. Tetapi tidak diselesaikan secara proses Hukum.

Baca juga : UII Desak Jokowi Kembali Menjadi Teladan Etika

Pemilu 1997 terjadi gelombang protes secara besar-besaran dari kelompok oposisi dikala itu. Tiba pada reformasi 1998, yang menjadi arus demokratisasi bagi Indonesia. Salah satu hal yang menjadi tuntutan ialah, MPR harus melakukan sidang Istimewa, hasilnya dikeluarkan Tap No.X/MPR/1998 mengenai pokok-pokok pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi Kehidupan Nasional, mengamanatkan penyelenggaraan Pemilu pada 1999.

Seiring bergulirnya reformasi, menghadirkan lembaga kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi (MK) yang sekiranya menjadi komponen pelengkap demi terciptanya Pemilu yang berkualitas dan demokratis. Karena, selain menguji konstitusionalitas undang-undang, MK juga berwenang menyelesaikan sengketa pemilu yang meliputi, pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi dan perselisihan hasil yang diatur secara mekanisme kelembagaannya.

Cek Artikel:  Mengintip Visi Anies Baswedan-Muhaimin

Negara Hukum, Demokrasi dan Pemuda

Menurut Robert Dahl, pemilu yang demokratis dapat tercapai secara berkesinambungan, perlu didukung oleh kondisi-kondisi berikut: (1) Pengadilan Independen yang mampu menginterpretasikan peraturan pemilu; (2) Lembaga administrasi yang jujur, kompeten dan non partisipan untuk menjalankan Pemilu; (3) Pembangunan sistem kepartaian yang terorganisir untuk meletakan pemimpin, diantara alternatif kebijakan yang dipilih, dan; (4) Penerimaan komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktur dan pembatasan dalam kekuasaan.

Baca juga : Ahli Hukum Tata Negara Safiri Jokowi Tak Pandai Ajukan Cuti, Apa Argumennya?

Hal lainnya, dikonstruksikan Jimly Asshiddiqie yang merumuskan perpaduan antara Negara Hukum dan Demokrasi, diantaranya : (1) Supremasi Hukum; (2) Persamaan dalam Hukum; (3) Asas legalitas; (4)  Restriksi Kekuasaan; (5) Lembaga-lembaga Independen; (6) Peradilan yang bebas dan tidak memihak; (7) Peradilan tata usaha Negara; (8) Peradilan tatanegara; (9) Perlindungan HAM; (10) Bersifat Demokratis; (11) Berfungsi sebagai sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara, dan; (12) Transparansi dan Kontrol sosial (Konstitusi & Konstitusionalisme,2005).

Sinergi antara Demokrasi dan Negara Hukum mempunyai fungsi sebagai pengimbang kekuasaan. Demokrasi yang mewujud dalam Pemilu, perlu diatur secara Hukum agar tidak terjadi manipulasi maupun kecurangan. Seperti halnya, Indonesia telah diatur secara ekspilisit tetang pemilu, seperti yang diatur dalam UU No.17 tahun 2017, adapun aturan lain yang mengatur secara hierarkis dan mekanisme kelembagaan.
Olehnya itu, terciptanya pemilu secara demokratis, berkeadilan dan berkualitas. Secara idealnya rakyat harus berpartisipasi secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil atau yang biasanya diakronimkan “pemilu-luberjurdil”. 

Komisi Pemilihan Lazim (KPU) menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 yang jumlahnya mencapai 204.807.222 pemilih. Berdasarkan hasil rekapitulasi DPT, mayoritas pemilih pada Pemilu besok didominasi kaum milenial dan Gen Z. Sebagai pemilih pemula, perlu sebuah pemahaman Politik secara teoritis, agar tidak mengalami ambiguitas dalam menentukan pilihannya.

Cek Artikel:  Regresi Judicial Leadership MK

Baca juga : KPU Sebut Ibu Negara Kampanye di Pemilu Kagak Diatur dalam UU

Beberapa kali debat Calon presiden dan Calon wakil presiden, maupun kampanye calon anggota legislatif. Milenial dan Gen Z, harus mempunyai tolak ukur dan berpikir secara rasional, agar dapat terciptanya pemilu yang berkualitas.

Meskipun tidak dapat menutup kemungkinan, masih ada yang berpikir abstrak, karena terpolarisasi oleh buzzer yang menggiring isu, hal ini sangat mudah ditemukan melalui kolom-kolom komentar platform media sosial ataupun media massa, sepenggal video yang merendahkan paslon tertentu dan konsekuensi logis dari pemilih pemula ialah sasaran utama praktik money politic dilakukan.

Mundurnya Demokrasi dan Wacana Pemakzulan Presiden

Meskipun reformasi didengungkan sebagai arus demokrasi, akan tetapi melihat tolok ukur keberhasilannya saat ini, hanya terletak pada pembatasan masa kekuasaan presiden dengan dua periode –meskipun sempat mucul isu tiga periode. Kagak dapat menutup mata pada realitas, situasi yang dialami Indonesia semakin menjadi carut-marut dan terjadi polemik, karena benturan kepentingan.

Baca juga : KPU Jernihkan Batasan Presiden Boleh Ikut Kampanye

Menjelang Pemilu rasa khawatir menyelimuti rakyat, karena demokrasi Indonesia ibaratkan berada di tepi jurang. Di akhir masa jabatannya, presiden telah memberikan citra buruk, karena pernyataan kontroversial yang terkesan memihak dan mengisyaratkan praktik Politik dinasti. Sikap ketidaknetralan ini berawal dari putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, mengenai batas usia Cawapres yang menjadi jalan mulus seorang anak mengikuti ayahnya, meskipun melanggar konstitusi. 

Rasa khawatir akan kecurangan Pemilu, karena praktik politik dinasti yang ditampilkan  Presiden, Isu lain yang sempat muncul permukaan ialah “Pemakzulan Presiden”. Mengingat, pemilu hanya menghitung hari sangat kecil kemungkinan, bahkan tak ada lagi peluang agar presiden dimakzulkan, karena mengingat Pemilu telah didepan mata. Konsekuensi untuk melakukan hal ini, adalah ditundanya pemilu.

Cek Artikel:  Pertentangan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier dan Indonesia Emas

Terdapatpun syarat untuk pemakzulan Presiden, harus melibatkan lembaga-lembaga negara. Dalam mekanismenya, DPR melaksanakan rapat paripurna untuk melakukan pengusulan, paling sedikit 25 anggota yang menyepakati adanya dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau Presiden dan/atau tidak lagi memenuhi syaratnya sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Baca juga : Megawati Sentil Jokowi

Lewat, bukti-bukti tersebut diberikan kepada MK dan diproses selama 90 hari. Terdapat 3 kemungkinan MK memutuskan;  (1) Amar putusan menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima, karena permohonan tidak memenuhi persyaratan formil; (2) Amar putusan menyatakan bahwa permohonan ditolak dikarenakan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti, dan; (3) Amar putusan membenarkan pendapat DPR, dikarenakan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Setelah itu, MPR harus melakukan sidang istimewa untuk memutus usulan DPR yang disertai dengan putusan MK dalam kurun waktu paling lambat 30 hari.

Cita-cita

“Satu suara, menentukan arah bangsa!” merupakan salah satu slogan yang menjadi sebuah harapan demi mewujudkan pemilu secara Demokratis dan berkualitas, secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Olehnya itu, harapan besarnya nanti rakyat perlu berpikir secara rasional, dalam memilih sosok pemimpin yang berintegritas, mengawal kepentingan bersama dan menjaga demokrasi agar kembali pada koridornya berdasarkan cita-cita para founding father mendirikan Negara. (*)

Baca juga : Putusan MK yang Mengubah Syarat Usia Capres-Cawapres Jadi Putusan Terburuk

Mungkin Anda Menyukai