Membuka Celah Manipulasi Bunyi

REKAPITULASI suara selama ini menjadi salah satu titik kecurangan dalam proses pemilihan umum. Gugatan sengketa hasil pemilu selalu diwarnai oleh kasus manipulasi hasil penghitungan suara, mulai dari modus pencurian suara, jual beli suara, hingga manipulasi dokumen.

Pasalnya, proses rekapitulasi suara yang panjang dan masih manual membuat ruang transaksional kerap terjadi. Selama ini, manipulasi dan perubahan hasil suara banyak terjadi saat pergerakan suara dari TPS menuju lokasi rekapitulasi di kecamatan.

Pemilu kali ini, potensi karut-marut penghitungan suara dalam pemilihan umum 2024 bakal semakin terbuka lebar setelah munculnya kata ‘dapat’ dalam beleid terkait tata urutan penghitungan suara. Tambahan kata ‘dapat’ itu menjadikan  urutan penghitungan bisa dimulai dari pilpres, bisa juga tidak. Padahal, pada aturan pemilu sebelumnya, kata ‘dapat’ tidak ada.

Cek Artikel:  Pesan Persatuan dari Surya Paloh dan Prabowo

Munculnya kata ‘dapat’ dalam Peraturan KPU Nomor 25 Mengertin 2023 tentang Pemungutan Bunyi itu menjadikan urutan penghitungan surat suara bersifat tidak imperatif. Petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) bisa saja tidak memulai penghitungan suara dimulai dengan pilpres.

Dalam Pasal 52 ayat (2) PKPU Nomor 25/2023 dinyatakan bahwa penghitungan suara dapat dilakukan secara berurutan dimulai dari surat suara: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. DPR; c. DPD; d. DPRD Provinsi; dan e. DPRD Kabupaten/Kota.

Buat mengantisipasi tidak seragamnya urutan penghitungan suara itu perlu adanya tata cara, prosedur, dan mekanisme kerja yang terstandar dan terukur dari KPU untuk mengatur tegas urutan penghitungan surat suara. 

Cek Artikel:  Kampanye Berkelas Demi Pemilu Berkualitas

Bahkan, kalaupun ada pengecualian surat suara dihitung tidak berurut dari pemilu presiden dan wakil presiden, juga harus diatur dengan jelas, tegas, dan tidak multitafsir. Dengan adanya norma yang jelas, ruang potensi kecurangan dapat ditutup.

Pasalnya, tanpa aturan yang rigid, akan membuat progres penghitungan di setiap daerah tidak akan seragam dan selaras. Belum lagi potensi terjadinya rekayasa atau pengondisian yang bersifat transaksional karena kepentingan pragmatis tertentu yang ingin hasil suara pemilihan tertentu dihitung lebih dulu.

Selain itu, kalaù sampai tidak dimulai dari surat suara pilpres, maka surat suara itu bisa bermalam dan menunggu keesokan hari yang juga akan membuat potensi manipulasi dalam proses rekapitulasi.

Cek Artikel:  Jangan Terdapat Hasyim-Hasyim Lain

Apalagi, penghitungan surat suara diurutkan dari pemilu presiden dan wakil presiden, karena dinantikan oleh banyak masyarakat, termasuk lembaga survei yang menghitung proses quick count. 

KPU mesti merespons kekhawatiran ini dengan segera mengeluarkan panduan yang rigid tentang penghitungan surat suara. Di tengah sorotan terhadap kredibilitas penyelenggaran pesta demokrasi yang diselimuti berbagai isu ketidaknetralan dan kecurangan, lubang-lubang potensi kecurangan mesti diantisipasi agar tidak memunculkan gejolak di publik.

Buat itulah, publik perlu untuk mengawasi jalannya rekapitulasi. Laporkan jika terjadi upaya-upaya memanipulasi pilihan rakyat. Dan, bagi peserta pemilu, baik itu tim pemenangan capres/cawapres serta partai politik bersama para calon legislatifnya perlu memperkuat saksi. 

Mungkin Anda Menyukai