Mencegah Terulangnya Rezim Bureaucratic Polity

Mencegah Terulangnya Rezim Bureaucratic Polity
(Dok. UNDIP)

ISTILAH bureaucratic polity atau bureaucratic authoritarian dipakai oleh para ahli politik, misalnya Fred Riggs (1966) dan Karl D Jackson (1978), untuk menyebutkan rezim kekuasaan yang (1) menggunakan instrumen birokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya, atau (2) rezim kekuasaan yang dijalankan oleh institusi birokrasi sendiri (seperti misalnya kekuatan militer atau polisi).

Munculnya rezim bureaucratic polity ini bisa didahului oleh proses pemilu yang demokratis, atau kudeta militer yang mengambil kekuasaan dari pemerintahan sipil. Kemudian, rezim ini memperkuat posisi dan cengkeraman kekuasaannya dengan menggunakan instrumen birokrasi untuk menjadi mesin politik dalam mengontrol masyarakat dan menopang kendali pemerintahan.

Praktik bureaucratic polity ini dapat kita jumpai misalnya di Indonesia (pada masa rezim Orde Baru), di Filipina (pada masa kekuasaan Presiden Marcos), di Thailand, di Turki (periode Attaturk), Myanmar, Belarusia, Korea Selatan, dan di beberapa negara Afrika dan Amerika Latin.

Di Indonesia, pada masa Orde Baru, birokrasi pemerintahan diintervensi, dimobilisasi, dan digunakan sebagai alat kekuasaan oleh penguasa dengan sangat kuat. Kita tentu mengetahui bahwa pada saat itu, hampir semua strata birokrasi dari tingkatan terendah (lurah) sampai yang tertinggi (eselon 1) selalu memiliki peran ganda sebagai organ pelayanan publik, dan sekaligus mesin politik penguasa (ABRI dan Presiden Soeharto) dalam mempertahankan kekuasaan.

Intervensi itu tidak hanya ada pada tataran konsepsi, tetapi juga intervensi fisik-personel. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa di semua lapis birokrasi (sipil) pada saat itu selalu terdapat personel militer yang menduduki jabatan-jabatan tertentu, mulai dari lurah, kepala kantor, bupati, gubernur, sampai dengan menteri di hampir seluruh departemen.

Fenomena serupa juga terjadi di Thailand, khususnya sebelum pertengahan tahun 1990-an. Meskipun bentuk negara mereka ialah monarki, kekuasaan sesungguhnya ada pada birokrat, baik itu kelompok militer, polisi, maupun PNS (civil administrations). Raja hanyalah dijadikan simbol belaka dan menjadi alat legitimasi peran kekuasaan birokrasi.

Hanya saja, praktik bureaucratic polity di Thailand memiliki satu titik perbedaan dengan di Indonesia pada masa Orde Baru, di mana Thailand memiliki pembagian kerja yang jelas antara birokrasi sipil dan militer. Sebaliknya di Indonesia, militer melakukan penetrasi terhadap birokrasi sipil (Girling, 1981: 25).

Tentu saja, praktik bureaucratic polity ini dipandang para ahli politik bertentangan dengan semangat nilai-nilai penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Fenomena ini bisa disebut bertentangan karena menurut frame pemerintahan demokratis, birokrasi hanyalah alat atau pelayan masyarakat dalam mencapai tujuan negara.

Seharusnya, birokrasi adalah organ pelaksana dari konsepsi ataupun kebijakan politik yang dibuat oleh para wakil rakyat, bukan pemegang kekuasaan politik itu sendiri. Dalam suatu negara yang demokratis, kekuasaan seharusnya ada pada rakyat/masyarakat yang dimanifestasikan melalui partai politik (political parties) maupun kelompok kepentingan (interest groups).

Pemegang kekuasaan negara dalam sistem demokratis mestinya adalah partai yang berkuasa (the ruling party) yang memenangi pemilu di parlemen, ataupun melalui presiden yang memenangi pemilihan presiden. Dalam konteks ini, birokrasi harus bersifat netral dari aktivitas politik yang partisan, serta steril dari manipulasi dan mobilisasi politik. Birokrasi harus melayani masyarakat, bukan menguasai, serta menempatkan semua golongan secara sederajat dan adil.

Sedangkan pada negara bureaucratic polity, kekuasaan dipegang sepenuhnya oleh birokrat (aparat sipil maupun militer), atau juga oleh individu (kelompok) yang memperalat birokrasi sebagai mesin politik. Jadi, pemegang kekuasaan bukanlah rakyat, melainkan para birokrat itu.

Meskipun di negara yang mempraktikkan bureaucratic polity terdapat juga partai politik dan lembaga parlemen, kedua lembaga tersebut biasanya sudah ‘dimandulkan’. Keduanya hanyalah ‘pelengkap’ dan ‘penghias’ kekuasaan rezim birokrat belaka. Dengan demikian, tidak ada prinsip kedaulatan rakyat karena tidak ada praktik penguasaan politik oleh perwakilan rakyat terhadap aparatur negara.

Di Indonesia, misalnya, walaupun pada masa Orde Baru selalu tampil sebagai pemenang pemilu, Golkar sesungguhnya relatif tidak memiliki kekuasaan–apalagi partai-partai lain yang kecil (PPP dan PDI pada waktu itu). Kekuasaan yang sesungguhnya ada pada presiden, orang-orang inner circle presiden, ABRI, dan elite birokrasi. Golkar bukanlah merupakan partai politik yang sesungguhnya untuk menjadi tempat dan alat rakyat memperjuangkan kepentingan, melainkan justru menjadi alat penguasa demi mempertahankan kursi kekuasaan.

Cek Artikel:  Perlukah Moderasi Variasia Dikembangkan sebagai Budaya Keilmuan

Dengan demikian, dapur pengambilan keputusan politik tidaklah di gedung parlemen atau di kantor partai politik, melainkan ada pada presiden dan kawan-kawannya. DPR hanyalah menjadi ‘tukang stempel’ belaka terhadap draf keputusan politik yang sebenarnya sudah ditetapkan penguasa pada saat itu.

Terdapatnya fenomena Golkar ini, menurut John LS Girling (1981) umumnya dipandang oleh sebagian para ahli sebagai politik sebagai sebuah fenomena yang dapat dipahami sebagai bagian dari proses transisional, dari negara yang tadinya ’traditional-primordial’ menuju ke arah ’democratic pluralism’. Yakni, masa transisi dalam masa proses modernisasi, di mana kelompok penguasa tradisional–tuan tanah, tokoh agama, birokrat, bangsawan, dan militer–digantikan perannya oleh para kelompok menengah baru: kelompok profesional, pelajar, eksekutif, dan pengusaha.

Semakin maju penyelenggaraan negara, maka praktik bureaucratic polity ini mestinya semakin berkurang, tentu saja dengan catatan, bila proses demokratisasi yang dilakukan oleh negara tersebut berhasil berjalan secara gradual dan stabilitas terjaga. Enggak mengalami proses democratic decline atau democratic inflationSebaliknya, bila proses demokratisasi gagal dilaksanakan, terdapat kemungkinan yang amat besar bagi birokrasi (baik sipil maupun militer) untuk mengambil alih kembali kekuasaan dengan alasan manipulatif ‘untuk menjaga kelangsungan hidup negara’.

 

Dalih munculnya rezim birokrasi

Rezim (penguasa) dalam sistem bureaucratic polity atau bureaucratic authoritarian mengambil alih kekuasaan negara dengan mendasarkan diri pada berbagai alasan pembenar. Di banyak negara, rezim yang berbasis pada mobilisasi birokrasi tampil dengan alasan supaya negara dapat distabilisasikan, serta mencegah terjadinya proses disintegrasi. Rezim bureaucratic polity biasanya tampil merebut kekuasaan politik tatkala pemerintah yang ada pada saat itu dianggap tidak mampu untuk mewujudkan ketenteraman dan kehidupan yang stabil. Padahal, menurut mereka, untuk menjalankan proses modernisasi diperlukan adanya situasi yang stabil dan tenang di tengah negara.

Dengan dimobilisikannya birokrasi dalam penyelenggaraan kekuasaan, maka stabilitas keamanan akan terjaga dan stabilitas itu dapat menjamin terlaksananya berbagai kegiatan pencapaian tujuan negara secara efektif. Karena infrastruktur yang dimiliki birokrasi ini dapat menjangkau seluruh wilayah negara dan memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan seluruh warga negara, maka diharapkan birokrasi dapat menjadi faktor perekat persatuan nasional.

Sebagai contoh di Burma, pemerintahan bercirikan bureaucratic di bawah pimpinan Jenderal Ne Win merebut kekuasaan politik pada tahun 1962 ketika pemerintahan demokratis di bawah Perdana Menteri U Nu dianggap tidak mampu mengatasi ketenteraman dan ketertiban negara. Pada saat itu, pemerintahan U Nu tidak dapat efektif menyelesaikan berbagai masalah yang berkenaan dengan pembelotan, pemberontakan, dan buruknya kondisi perekonomian negara sehingga timbul ketidakpuasan di kalangan militer dan juga kelompok-kelompok pro-militer (Steinberg, 1982, h. 45).

Ne Win kemudian memobilisasi birokrasi sipil dan militer sebagai alat kekuasaan, juga membentuk partai politik bernama Burmese Socialist Program Party (BSPP—yang kemudian berubah menjadi National Unity Party/NUP), atau yang lebih dikenal dengan Partai Lenzin yang mayoritas kepengurusannya didominasi oleh golongan militer dan birokrasi sipil (Taylor, 1980: 40). Lewat birokrasi dan partai inilah, kemudian rezim Ne Win mempertahankan kekuasaan sampai dengan tahun 1988, kemudian diteruskan oleh Saw Maung dan Thein Sein.

Misalnya lain terkait dengan kasus gagalnya penataan demokrasi terjadi di Bolivia pada tahun 1980. Bolivia menyelenggarakan pemilu yang relatif jujur dan adil pada akhir tahun 1979. Dalam pemilu tersebut, dua tokoh kandidat presiden yakni Siles dan Paz mendapatkan suara terbanyak. Silez mendapatkan suara sebanyak 528.700, sedangkan Paz memperolah 527.000 suara, sementara tokoh militer, yakni Jenderal Banzer, memperoleh 218.000 suara (Whitehead, 1993: 70).

Cek Artikel:  Ketulusan Mengelola Negara

Akan tetapi, sayangnya, konstitusi Bolivia menyebutkan bahwa bila tidak ada calon yang meraih lebih dari 50% suara, persoalan pemilihan presiden diambil alih oleh kongres. Karena hasil pemilu 1979 itu tidak menghasilkan calon yang dapat meraih lebih dari 50% suara, akhirnya kongres melakukan sidang pembahasan selama sembilan hari.

Sidang tersebut ternyata berakhir pada kegagalan kompromi politik karena masing-masing di dalam kongres berkukuh pada pendapat masing-masing. Akhirnya, Siles maupun Paz justru harus mendukung calon presiden lain yang dipilih kongres, yang tentu saja mereka tolak.

Situasi ini kemudian berkembang ke arah yang chaotic, di mana tiap-tiap pihak mulai melakukan mobilisasi massa, dan terjadi bentrokan antarpendukung. Atas perkembangan itu, militer kemudian melihat bahwa negara tengah berada dalam keadaan bahaya dan terjadi ancaman yang serius terhadap keutuhan eksistensi negara.

Pada tahun 1980 angkatan bersenjata Bolivia dengan cepat menguasai gedung kongres, membubarkan kongres, dan menyatakan negara berada dalam kekuasaan militer. Peristiwa ini terjadi dengan memakan banyak korban jiwa di antara penduduk sipil pendukung dari para kandidat presiden.

 

Dimensi negatif praktik bureaucratic polity

Sebagaimana disinggung di atas, fenomena rezim birokrasi ini sangat bertentangan dengan asas demokrasi. Oleh karena itu, rezim semacam ini membawa berbagai akibat buruk dalam proses demokratisasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang ideal.
Bagaimanapun sesuatu orang/kelompok yang tidak bekerja sesuai fungsinya, maka pasti membawa kehancuran terhadap apa yang dilakukannya. Secara filosofis, birokrasi adalah pelayan (servant) yang harusnya melayani masyarakat. Apabila pelayan menjadi raja (penguasa), dia tidak tepat untuk memikul ‘amanat’ kekuasaan. Sama dengan cerita wayang Petruk dadi ratu, yang menggambarkan pelayan menjadi raja, kemudian berbuat seenaknya sendiri karena terlena oleh enaknya kekuasaan, dan pada akhirnya kerajaannya amburadul tidak karuan.

Beberapa efek negatif yang berpotensi muncul karena rezim birokrasi ialah: Pertama, munculnya pemerintahan yang otoriter dan oligarkis. Karena semua aset sumber-sumber kekuasaan birokrasi bisa disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan, maka infrastruktur kekuasaan menjadi sangat kuat dan tidak dapat dikontrol pihak-pihak lain.

Kedua, tidak adanya kontrol yang memadai, menyebabkan sikap kesewenang-wenangan dan korup. Pihak-pihak yang tidak segaris dengan pemikiran mereka akan ditindas, dikebiri, kalau perlu dimusnahkan. Hal ini sering kali menjadi sumber kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan. Tak mengherankan jika rezim birokrasi sering memberedel kebebasan pers, membatasi kebebasan berorganisasi, dan meniadakan perbedaan pendapat. Karena tidak ada kontrol pula, korupsi berkembang merajalela.

Ketiga, konsentrasi orientasi tugas birokrasi untuk melayani menjadi terabaikan. Orientasi birokrat beralih menjadi orientasi untuk mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, tugas pokok mereka menjadi terbengkalai. Rakyat tidak lagi menjadi fokus pengabdian mereka. Sebaliknya para birokrat sibuk lalu lalang melakukan usaha untuk kepentingan kekuasaan belaka.

Kita tentu ingat pada masa Orde Baru, apabila ada kampanye Golkar di suatu daerah, misalnya, maka seluruh instansi pemerintah di daerah itu akan diliburkan (setidaknya jam kantornya dikurangi) agar para pegawainya dapat ikut kampanye, dan tentu saja akibatnya tugas untuk melayani masyarakat menjadi tidak optimal.

Keempat, hilangnya rasionalitas manajemen dalam institusi birokrasi. Rezim otoriter yang mengontrol kehidupan negara secara ketat menjadikan birokrasi menggunakan pola pikir ‘kacamata kuda’ yang tak mampu berpikir alternatif. Karena biasanya birokrasi (sipil, dan tentu saja militer) digerakkan untuk mendukung kekuasaan dengan ‘sistem operasi komando’, maka dalam sistem itu bawahan harus selalu mengatakan ‘siap’ kepada atasan, dengan tidak memberikan ruang untuk mendebat dan berdiskusi.

Akibatnya, banyak birokrat yang ‘tidak responsif terhadap kepentingan rakyat’ bukan karena bodoh, melainkan memang karena kondisi kerja institusi pemerintah tidak memungkinkan aparat untuk berpikir kreatif-inovatif sehingga mereka tidak terbiasa melakukan eksperimen-eksperimen yang menghasilkan ide-ide baru.

Kelima, hilangnya netralitas politik. Karena birokrasi menjadi alat kekuasaan, dan biasanya kemudian dimobilisasi menjadi anggota partai politik pemerintah, maka terdapat kecenderungan di mana mereka akan menomorsatukan kelompok yang pro kepada pemerintah dan menganaktirikan mereka yang tidak berjalan segaris dengan ideologi dan kebijakan dari penguasa.

Cek Artikel:  Mengoreksi Gemuknya NIM Perbankan

Dengan demikian, tidak ada prinsip equality dalam pelayanan publik, yang akibat selanjutnya menyebabkan sebagian rakyat menjadi merasa apatis, antipemerintah, dan tidak bersedia untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Di samping itu, rakyat satu sama lain akan sangat mudah terlibat konflik karena ketidakadilan yang diterapkan oleh institusi birokrasi.

Negara kita pernah selama lebih dari 32 tahun telah mempraktikkan model pemerintahan bureaucratic polity ini secara konservatif. Berbagai dampak negatif, sebagaimana tersebut di atas, telah menyebabkan bangsa Indonesia sampai pada kondisi krisis ekonomi, sosial, dan politik yang berkepanjangan selama ini. Enggak dapat dimungkiri bahwa efek negatif rezim birokrasi bersifat multidimensional sehingga menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial dan negara.

Terdapatnya konflik sosial horizontal dan vertikal, terjadinya bencana ekonomi dan politik, diterjangnya rambu-rambu hukum oleh masyarakat, dan berbagai kerusuhan sosial, diyakini oleh sebagian besar para ahli merupakan aktualisasi dampak negatif dari kinerja birokrasi yang melenceng dari tugas dan fungsi pokoknya. Oleh karena itu, kita bersama harus dapat mencegah terulangnya kembali praktik rezim birokrasi (bureaucratic authoritarian) itu dalam penyelenggaraan negara di Indonesia.

 

Langkah eliminasi

Hal pokok yang dapat kita lakukan untuk mencegah terulangnya praktik rezim birokrasi ini ialah: Pertama, memperkuat aliansi kekuatan kelompok non-birokrasi (extra bureaucratic forces), seperti partai politik, akademisi, LSM, asosiasi buruh, mahasiswa, pengusaha, dan organisasi massa.

Grup-kelompok ini dapat menjalin aliansi strategis sehingga mereka dapat secara ketat mengawasi gerak-gerik institusi birokrasi baik sipil maupun militer. Apabila terdapat langkah-langkah institusi birokrasi untuk kembali memegang kekuasaan, kelompok extra bureaucracy ini harus menangkalnya sedini mungkin.

Kedua, kelompok extra bureaucracy harus dapat mengeliminasi adanya kondisi yang memungkinkan kembalinya birokrasi menjadi penguasa negara. Kondisi itu adalah: ketidakmampuan partai politik dan politisi dalam mengelola kekuasaan negara, terjadinya konflik sosial, dan terancamnya disintegrasi nasional.

Seluruh elemen dalam sistem politik seperti partai politik, kelompok kepentingan, organisasi massa, organisasi profesi, media massa, dan parlemen harus diberdayakan sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Dengan begitu, akan tertutup celah bagi birokrasi untuk mengambil alih peran-peran politik komponen sistem politik itu. Bila kelompok-kelompok tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, (misalnya partai tidak dapat memperjuangkan nasib rakyat, pers tidak mau melakukan fungsi kontrol, dan organisasi massa menjadi kelompok paramiliter), maka kehidupan politik yang teratur akan ambruk.

Ketiga, memperkuat tatanan sistem politik. Taatp pihak yang bermain dalam kehidupan politik harus dapat membuat tatanan sistem politik yang sehat dan terhindar dari ketidakjelasan peraturan dan hukum ketatanegaraan. Pengalaman berbagai negara yang gagal dalam membina kehidupan sistem politik dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.

Harus diingat bahwa kepatuhan birokrasi sering kali penting bagi kelangsungan politik yang stabil, tetapi hal ini justru menimbulkan komplikasi masalah dalam sistem politik. Lingkungan politik yang jorok mengharuskan para pelaku politik untuk meyakinkan para agen bahwa kekuasaan mereka aman.

Pada satu sisi, para politisi ingin mendapat keyakinan bahwa kekuasaan mereka dapat terus berlanjut. Pada sisi lain, manipulasi dapat mendorong para birokrat untuk bekerja atas nama penguasa agar mereka dapat terus bergantung pada penguasa dalam kariernya.

Terjadi atau tidaknya hubungan antara ekspektasi elektoral penguasa dan kemungkinan manipulasi pemilu oleh birokrasi, ini pada gilirannya bergantung pada seberapa kuat elemen-elemen non-birokrasi untuk melawannya.

Kita berharap para elite politik kita akan mampu bersikap dewasa dan tidak ‘ugal-ugalan’ dalam mengelola sistem politik dan pemilu negara ini sehingga pengalaman tragis yang menimpa negara seperti Myanmar dan Bolivia tidak kita ikuti.

 

Mungkin Anda Menyukai