360 Derajat Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia

360 Derajat Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia
(ANTARA)

INDONESIA 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur. Tagline tersebut menjadi kata kunci dalam dokumen Visi Indonesia 2045 yang disusun untuk menyambut satu abad bangsa Indonesia. Berkas itu memberikan gambaran wujud Indonesia mendatang dan peta jalan yang harus dilalui.

Pembangunan SDM menjadi aspek penting. Salah satu penopangnya ialah pendidikan. Kepada mencapai SDM unggul, pemerintah menetapkan target rata-rata lama sekolah meningkat menjadi 13 tahun pada 2045. Nomor partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi (PT) mencapai 60% dan angkatan kerja lulusan pendidikan SMA sederajat dan PT mencapai 90% pada 2045.

Itu adalah target dua dekade mendatang. Bagaimana kondisi saat ini? Berdasarkan data BPS, rata-rata lama sekolah masih ada di angka 8,77 tahun pada 2023. APK PT sebesar 31,45%, cukup jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia (43%), Thailand (49,29%), dan Singapura (91,09%). Lewat, angkatan kerja lulusan SMA sederajat dan PT masih di kisaran 45%.

Baca juga : Memampukan Desa Bertransformasi untuk Indonesia Maju 2045

Di sisi lain, mismatch antara lulusan PT dan dunia kerja menjadi isu yang terus disuarakan pelaku usaha. Hasil survei lembaga konsultan SDM Willis Towers Watson yang dilakukan pada 2014-2022 menyebut, 80% perusahaan di Indonesia mengaku kesulitan mendapatkan lulusan PT dalam negeri yang siap pakai. Dengan begitu, tidak mengherankan jika dari total 7,2 juta pengangguran di Indonesia, 10,5% di antaranya lulusan diploma dan sarjana (BPS 2024).

Berbagai data itu menunjukkan tantangan yang dihadapi pendidikan tinggi di Indonesia ibarat 360 derajat, ada di berbagai sisi. Mulai dari masih rendahnya lulusan SMA/SMK melanjutkan kuliah–salah satu penyebab utamanya ialah keterbatasan ekonomi keluarga, fenomena mahasiswa putus kuliah karena kendala ekonomi, tantangan PT untuk memberikan materi pembelajaran yang tepat, serta tantangan penyerapan tenaga kerja lulusan PT oleh dunia usaha.

Cek Artikel:  Anies-Muhaimin AMIN Mempertegas Keindonesiaan

 

Baca juga : Gelar ‘The Futurist Summit 2023’, Pijar Foundation Siap Hadirkan 1.100 Pemain Strategis

Pendidikan karakter dan mahasiswa adaptif

Pemerintah (Kemendikbudristek) melalui kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka sudah berupaya mengatasi tantangan tersebut. Salah satunya dengan membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk mengaktualisasi diri secara lebih komprehensif sesuai minat masing-masing. Misalnya, melalui kesempatan melakukan magang dan studi independen bersertifikat (MSIB), serta berbagai program lain sampai lebih dari tiga semester di luar kelas.

Transformasi pendidikan tinggi yang sangat krusial ini diharapkan dapat mengekspos mereka, yang kebanyakan gen Z, kepada ilmu-ilmu dan pengalaman yang riil dan relevan. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya berkutat di kampus, tapi juga berinteraksi dengan dunia luar, dan sebagai bentuk pendidikan karakter. Misalnya, ITB membangun nilai-nilai Terdapatptif, Integritas, Rendah Hati, atau disingkat AIR. Undip dengan nilai Handal, Terdapatptif, Cerdas, dan Beretika. Demikian pula kampus-kampus lain.

Baca juga : Tampil dengan Paras Baru, Partai Pelita Konsentrasi Garap Milenial dan Gen Z

Muaranya sama, yakni melahirkan lulusan yang mampu berpikir kritis, mandiri, cakap berkomunikasi, kreatif, peduli, percaya diri, dan mudah beradaptasi. Seluruhnya, walaupun diterjemahkan secara berbeda-beda tergantung konteks lokal tiap-tiap universitas, tentunya sejalan dengan dorongan Kemendikbudristek untuk menciptakan SDM berkarakter unggul.

Apabila diperhatikan dengan saksama, kemampuan adaptif menjadi salah satu kata kunci. Ini penting, mengingat setiap mahasiswa datang dari berbagai latar belakang dan sangat perlu beradaptasi ke dalam lingkungan kampus yang sangat berbeda dengan saat di sekolah menengah.

Kemampuan adaptif ini juga sangat penting dilatih agar kelak ketika lulus, mereka bisa sigap beradaptasi dengan dunia kerja.

Baca juga : Melawan Kegamangan Milenial

Cek Artikel:  Dinasti Politik Jokowi dan Kemunduran Demokrasi Mendunia

Salah satu kunci terpenting untuk adaptasi yang baik ke dalam dunia perkuliahan, yang memiliki tuntutan jauh lebih tinggi, ialah pengenalan diri. Peserta didik tentunya perlu mengenal jelas karakter diri dan kepribadian masing-masing, sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkup sosial dan institusional yang lebih luas di PT.

Kenal diri atau self awareness sangat dibutuhkan untuk membangun fondasi awal karena akan turut berpengaruh dalam proses mahasiswa menemukan tujuan dan jati diri. Mahasiswa dengan perspektif tujuan diri yang jelas akan lebih mudah mengidentifikasi kekuatan yang dapat mereka gunakan untuk beradaptasi.

 

Kontribusi dan kolaborasi

“Universitas tidak seharusnya menjadi sebuah pulau tempat para akademisi meraih tingkat pengetahuan yang lebih tinggi tanpa berbagi pengetahuan tersebut ke sekitarnya,” ujar Muhammad Yunus, peraih Hadiah Nobel 2006. (Jolis, Yunus, Banker to the Poor

, 1998).

Selama lima dasawarsa lebih, program KKN yang merupakan program unggulan UGM telah menerjunkan puluhan ribu mahasiswa dan dosen untuk dapat berinteraksi dan berkontribusi kepada masyarakat.

Di bentangan lain Indonesia, UB membawa ribuan mahasiswa untuk membangun 1.000 desa. Di IPB, program One Village One CEO mengembangkan berbagai inisiatif untuk memperkuat sociopreneurship guna mendukung penguatan pembangunan desa.

Pada 2023, Tanoto Foundation dan UNESCO juga membangun model kerja sama untuk memampukan sekelompok mahasiswa melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam riset untuk mencercah solusi di Pulau Barrang Lompo. Tujuannya, mengatasi permasalahan perubahan iklim yang berdampak pada mata pencaharian nelayan di sana.

Inisiatif ini mendapatkan pengakuan internasional di Open Symposium: The Role of Science in Building a Sustainable Society yang diadakan UNESCO dan United Nations University (UNU, 2023) sebagai bentuk kontribusi generasi muda dalam sains dan kepada masyarakat.

Cek Artikel:  Dolar Melesat, Waspada Krisis Obat

Tak dimungkiri, pendekatan universitas sebagai katalis kolaborasi dengan komunitas setempat, institusi mitra, dan wirausaha sosial yang relevan dapat memperluas dampak perguruan tinggi untuk mendukung pencapaian Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di Indonesia.

Beranjak dari mengenal diri, mahasiswa kemudian perlu menemukan peran untuk memimpin perubahan di sekitar mereka. Bekal pengalaman mahasiswa berinteraksi dengan berbagai isu kemiskinan, kelaparan, dan masyarakat yang membutuhkan diharapkan dapat membangun kesadaran sosial yang tinggi.

Satu hal yang tak kalah penting ialah bekal yang harus dimiliki mahasiswa agar kelak siap terjun ke dunia kerja. Mulai dari membangun jejaring, kecakapan komunikasi, dan exposure di dalam dunia kerja (social capital, cultural capital, and identity capital). Ini menjadi modal penting untuk membangun perspektif individu dalam menjajaki pilihan dan pengembangan kariernya sejak dini.

Lewat TELADAN, sebuah program beasiswa kepemimpinan, Tanoto Foundation bermitra dengan 10 PTN untuk membangun pola pembangunan kepemimpinan yang terstruktur, berjenjang, dan berfokus pada soft skills.

Dalam program TELADAN, para mahasiswa dibekali berbagai kemampuan yang relevan, mulai dari kemampuan memimpin diri sendiri (lead self) sebelum memimpin orang lain (lead others), berbagai soft skills yang relevan dengan dunia kerja, hingga kesempatan berkontribusi kembali ke masyarakat lewat proyek-proyek sosial. Asanya, mahasiswa lebih siap untuk masuk dunia kerja dan mampu berkontribusi kepada masyarakat tempat mereka bekerja dan hidup.

Butuh kesadaran bersama bahwa di tengah beragam tantangan yang membentang di depan, Indonesia harus bergerak cepat. Karena itu, peran aktif dan kolaborasi berbagai pihak sangat dibutuhkan, mulai dari institusi pemerintah, kampus, aktivis pendidikan, dunia usaha, hingga lembaga filantropi. Mari kita bergerak bersama, berkolaborasi untuk meningkatkan pendidikan tinggi Indonesia demi tercapainya Indonesia Emas 2045.

 

Mungkin Anda Menyukai