Vonis Sambo dan Keadilan Masyarakat

Vonis Sambo dan Keadilan Masyarakat
(MI/Seno)

KASUS penegakan hukum di Indonesia mendapat sorotan dalam banyak aspek. Mulai dari kasus hukum berdimensi politik, tindak pidana korupsi, dan lainnya. Sorotan terbaru ialah kasus hukum yang menjerat mantan Kepala Divisi Propam Kepolisian Republik Indonesia Irjen Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi.

Kasus ini sejatinya menguras Kekuatan penegakan hukum dalam satu tahun terakhir, terlepas kasusnya adalah kasus kejahatan berat (pembunuhan berencana) dan terkandung drama pada proses penegakan berbalut kebohongan dan fitnah terhadap korban.

Kasus Kekasih suami istri mantan petinggi Polri ini selesai dengan putusan pidana Tewas yang menjerat Ferdy Sambo dan 20 tahun penjara Kepada sang istri, Putri Candrawathi, pada tingkat pertama dan banding dengan segala pertimbangan fakta yang Terdapat. Akan tetapi, kasus ini mencuat kembali ke permukaan, di mana Ferdy Sambo dan terpidana lain mengajukan kasasi ke Mahkamah Mulia (MA).

Anehnya, permohonan kasasi diterima MA yang kemudian berakhir pengurangan hukuman para terpidana, di antaranya Ferdy Sambo dari hukuman Tewas menjadi penjara seumur hidup dan Putri Candrawathi dari pidana 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara.

Publik cukup heran dengan pidana yang diterapkan pada pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi di MA tersebut. Bukan karena kasus itu adalah kejahatan berat, tetapi gap/ruang antara pengadilan tingkat pertama dan kasasi dalam menerapkan hukuman kepada para terpidana Ferdy Sambo cs. Sekurang-kurangnya, Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan dalam menyikapi putusan kasasi MA dalam kasus Sambo.

 

Menegasikan keadilan

Keadilan merupakan esensi dasar dari hukum. Apabila Tak mengandung keadilan, hukum hanya akan menjadi alat sekumpulan orang di kekuasaan dan orang yang Mempunyai akses terhadap kekuasaan. Masyarakat Indonesia cukup terheran-heran dengan kasus kejahatan berat pembunuh berencana yang dilakukan Sambo cs. Bagaimana Dapat seorang petinggi Polri melakukan tindakan kriminal dengan korban bawahan yang merangkap ajudannya sendiri. Kasus itu sendiri, Apabila tak di-backup media dan viral di masyarakat Tamat menjadi perbincangan publik, kecil kemungkinan akan lanjut proses dalam penegakan hukum.

Cek Artikel:  Acuh Perawat Perkuat Ekonomi

Terlebih, drama yang dilakukan terpidana menutupi kasus pembunuhan tergolong nista, Tak bermoral, dan Tak mencerminkan tanggung jawab salah satu pimpinan institusi besar di tubuh Republik ini. Jadi, wajar rasanya menjadi jengah, Tak simpatik, dan mencaci perilaku Tak bermoral. Respons masyarakat Ketika Sambo sebagai pelaku Primer kasus serta dijatuhi hukuman Tewas dan istrinya dipidana 20 tahun penjara pada sidang di tingkat pertama dan banding, sebenarnya sangat positif dan cenderung puas.

Melalui permohonan kasasi sambo cs di MA, kemudian hukuman yang diberikan kepada para terpidana seakan diberikan diskon cukup banyak. Bayangkan, dari hukuman Tewas menjadi seumur hidup dan 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara. Bukankah diskon cukup besar Kepada tindak pidana berat yang telah dilakukan terpidana ditambah drama ‘fenomenal’ dan Tak kalah bagus dengan akting ‘aktris besar’ Kepada menutupi perilaku Tak bermoral dan kejahatan yang telah dilakukan?.

Dengan demikian, diskon besar atas hukuman Sambo cs yang diberikan MA melalui putusan di tingkat kasasi sejatinya telah menegasikan rasa keadilan masyarakat. Harus dinyatakan demikian, karena Apabila diamati dan dibaca secara saksama secara serius dalam putusan kasasi tersebut, Tak Terdapat pertimbangan MA yang secara gamblang menyatakan bahwa pengadilan-pengadilan di bawahnya salah menerapkan hukum (judex juris), Juga, Tak Terdapat pertimbangan MA atau Dalih rasional MA Kepada mendalilkan penngurangan pidana bagi Sambo cs.

Cek Artikel:  Tunjangan Pajak vs Pajak Ditanggung Perusahaan

Keadilan adakalanya dilihat dari perspektif mayoritas (utilitarianisme) dan adakalanya dilihat dari perspektif minoritas dalam fungsi perlindungan hukum (afirmatif).

Memperhatikan kasus Sambo cs harus dilihat melalui perspektif keadilan mayoritas (utilitarianisme) karena kejahatan berat dan tindakan Tak bermoral yang dilakukan Sambo cs dilakukan sedikit banyaknya melalui kedudukannya sebagai salah satu pemimpin tinggi di institusi besar negara. Jadi, wajar Apabila hukuman yang diberikan adalah hukuman berdimensi publik yang di sini berdasarkan pada keinginan publik.

Atas dasar tersebut, Apabila MA telah mengambil keputusan dengan memberikan diskon besar hukuman pidana atas kejahatan berat dan tindakan Tak bermoral Sambo cs, maka sebenarnya MA telah Membangun suatu putusan yang menyingung rasa keadilan masyarakat atau keadilan mayoritas. Putusan Tak elok mencerminkan kesembronoan karena putusan itu Tak mengejawantahkan Dalih rasional pengurangan hukuman.

 

Menimbang peninjauan kembali

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menyatakan kewenangan pengajuan peninjauan kembali penuntut Lumrah adalah inskonstitusional dan menjadi pedang bermata dua.

Bermata dua dimaksud ialah pada putusan MK karena dimensi kepastian hukum sangat terasa besar dan dimensi keadilan cenderung tak Terdapat. Padahal, konstitusi telah memerintahkan melalaui Pasal 28D bahwa aspek kepastian hukum Tak boleh berdiri sendiri, harus Terdapat dimensi keadilan hukum pada setiap putusan pengadilan atau setiap aturan hukum yang dibuat (kepastian hukum yang adil). Terlebih Apabila dikaitkan dengan kasus terpidana Sambo cs.

Karena itu, Tak Terdapat Tengah upaya dan ruang yang dapat diambil penegak hukum (penuntut Lumrah) Kepada meng-counter putusan MA di tingkat kasasi yang memberi diskon atas kejahatan berat dan tindakan Tak bermoral. Ruang pengajuan PK penuntut Lumrah telah ditutup melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XXI/2023. Idealnya, kepastian hukum dan keadilan berjalan beriringan serta seimbang. Maka, dalam pengajuan PK oleh penuntut Lumrah diberikan batasan dan Tak sekadar menyatakan PK penuntut Lumrah ‘inkonstitusional’ semata.

Cek Artikel:  Desoekarnoisasi Jilid II

Batasan dalam kasus yang menjadi sorotan publik luas (contohnya korupsi dan kejahatan berat), penuntut Lumrah harus diberikan ruang mengajukan peninjauan kembali demi rasa keadilan. Tetapi, Tak berlaku bagi kejahatan di luar itu atau kejahatan yang Tak menggerus rasa keadilan rakyat. Karena, Tak adil rasanya bagi rakyat Apabila suatu pelaku tindak pidana korupsi masa akan datang oleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap hanya dihukum pidana dan denda ringan, tetapi telah menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar.

Pada akhirnya, nilai minus dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menyatakan kewenangan pengajuan peninjauan kembali penuntut Lumrah adalah inskonstitusional telah kita rasakan, merespons kasus Sambo cs atas kejahatan berat dan tindakan Tak bermoral yang dilakukannya.

Juga alangkah bijaknya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XXI/2023 ditinjau ulang agar tak menjadi bumerang di masa datang dalam kasus lebih besar yang merugikan negara dan menggerus rasa keadilan rakyat.

Pengadilan Tak boleh kalah dengan kuasa, Berkualitas politik maupun ekonomi, meskipun hukum bekerja dipengaruhi Unsur di luar hukum. Tetapi, hakim sebagai the last guardian of justice dapat melakukan rechtvinding berdasarkan pengetahuan dan hati nurani bersumber dari keadilan materiel yang substansial.

Mungkin Anda Menyukai