
INTEGRITAS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian luluh lantak. Intervensi Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait dengan pungli di Rutan KPK senilai Rp4 miliar berdasarkan Intervensi sejak Desember 2021 hingga Maret 2022, sungguh memalukan. Pembayaran pungli dilakukan agar para tahanan KPK yang menyogok Dapat mendapatkan fasilitas ekstra di ruang tahanan.
Menurut Dewas KPK, berdasarkan pengakuan sejumlah tahanan, besaran pungli Variasi dari Rp50 juta-Rp70 juta per tahanan. Pegawai Rutan KPK yang terlibat ditengarai mencapai puluhan orang, bahkan berpotensi melibatkan kepala rutan. Borok tersebut bukan baru kali ini terjadi. Pada 2019 seorang pengawal KPK yang akhirnya dipecat, tertangkap CCTV menerima ‘Duit kopi’ dari terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Idrus Marham.
Kasus pungli itu menuai sorotan luas karena terjadi di lembaga yang menjadi pilar integritas negara dengan fungsinya sebagai pencegah dan penangkap koruptor. Rutan KPK mestinya menjadi pertaruhan spirit antikorupsi karena di tempat itulah para penyamun Duit rakyat diterungku, sebagai simbol kesucian penegakan hukum dan moralitas.
Kehilangan keberingasan
Ketika revisi UU KPK menempatkan komisi antirasuah di Dasar rumpun eksekutif dan menjadikan pimpinan KPK Kagak Tengah sebagai penanggung jawab tertinggi KPK, KPK diprediksi sedang menuju tebing licin, yang tinggal menunggu waktu Kepada Terperosok dalam jurang pelemahan muruah dan integritasnya. Bak terjebak dalam dualisme, antara merespons tuntutan publik mengungkap kasus-kasus besar korupsi atau menyerah pada skenario oligarki yang Mau kepentingan korupnya Kagak direduksi KPK.
Padahal, komisioner ICAC, Ambrose Lee Siu-kwong mengatakan keberhasilan Hong Kong dalam memberantas korupsi sangat ditopang oleh komitmen kuat pemerintah dalam memberantas korupsi, independensi ICAC yang terjaga dengan kapasitas yang professional, serta mendapat dukungan dari seluruh ekosistem pemberantasan korupsi (ICW, 2009).
Kini, KPK seolah mulai kehilangan roh keberingasan antikorupsinya dikuras oleh hal-hal yang makin menjauhkannya dari misi Bersih eliminasi korupsi. Perlahan-lahan Sekalian itu terbukti antara lain lewat prahara etik dan hukum yang menggerus fondasi KPK berjilid-jilid, terutama ketuanya, Firli Bahuri.
Mulai penggunaan Duit negara terkait dengan SMS Blast yang Kagak berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Ketua KPK, konflik kepentingan memberikan penghargaan kepada istrinya yang menciptakan himne mars KPK, menggunakan helikopter mewah Kepada pulang kampung Jakarta-Palembang, menyalahgunakan wewenang memberhentikan secara sepihak Brigjen Endar sebagai direktur penyelidikan KPK, dan beberapa kasus konflik kepentingan lainnya.
Hal tersebut melengkapi kesan tragis publik terhadap KPK yang sejak awal bak ‘anak Kagak dikehendaki’ kelahirannya. KPK lahir dan terbentuk pada 2002 tanpa karyawan dan gedung. Pada Begitu mau dibangun gedung baru KPK, sejak 2008 anggarannya selalu ditolak DPR. Hingga rakyat melakukan aksi saweran Kepada membangun gedung baru Tiba kemudian akhirnya anggarannya disetujui DPR pada 2012.
Badai Maju menerjang, mulai ancaman bom dan penyerbuan Gedung KPK, teror terhadap pegawai, penyidik, penuntut Lazim, pejabat dan pimpinan, bahkan teror secara metafisis (Widjojanto, 2016). Lampau, seleksi kepemimpinan KPK yang Kagak berbasis kompetensi terbaik, kriminalisasi pimpinan KPK, diskursus pelemahan KPK, antara lain lewat revisi UU KPK, intervensi kasus korupsi yang ditangani KPK, dll.
Residunya memilukan. Indeks persepsi korupsi (IPK) kita berangsur anjlok. Pada 2002, IPK kita Tetap bagus, menyentuh skor 40 dari skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat Rapi) pada 2019. Tetapi, terlebih pascarevisi UU KPK, skor IPK menurun, hingga pada 2022 berada di skor 34.
KPK Kagak Tengah menjadi instansi tepercaya sebagaimana di awal-awal kelahirannya Tiba 2019. Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat tren kepercayaan publik terhadap KPK mengalami penurunan. Pada Februari 2023 KPK meraup kepercayaan sebesar 68%, tetapi pada April 2023 menurun hingga 64%.
Selain karena korupsi politik yang tak pernah tertangani secara tuntas dan efektif, penurunan kepercayaan tersebut juga terjadi karena KPK yang kian mengalami deteriorasi atau penurunan kualitas dan integritasnya sebagai lembaga negara (state auxiliary bodies) istimewa (extraordinary) yang bebas, Independen, dan berintegritas.
Kekalahan
Menurut John ST Quah dalam Curbing Corruption in Asian Countries (2013), KPK adalah institusi yang berakar pada integritas, jiwa Agresif di dalam melawan korupsi karena itulah ia dipayungi kewenangan yang superlatif. Kalau kemudian fondasi moral dan integritas pada KPK tergerus oleh pelanggaran etika, kejujuran, penyalahgunaan kekuasaan para punggawanya, maka itulah pertanda habitus awal kerapuhannya. Apalagi, pelanggaran prinsip tersebut dalam institusi hukum seperti KPK tentu saja sesuatu yang memalukan dan tak Dapat ditoleransi (Reksodiputro, 2002).
Awalnya, KPK lahir karena Polri dan Kejaksaan dianggap belum Handal dalam memberantas korupsi yang masif di segala bidang. Maka KPK dibentuk Kepada mengemban misi men-trigger Berkualitas gerakan pemberantasan korupsi secara kuratif maupun preventif di Indonesia. Tetapi, mana kala iklim pemberantasan korupsi di Indonesia Begitu ini dihadiahi rapor merah dari publik, KPK sejatinya sedang terperosok dalam etika egoisme, merujuk teori organisasinya Daniel Putnam (1998). Hal itu terlihat dari hasil survei Indikator Politik Indonesia (Mei 2022), mayoritas atau 32,6% responden menilai kondisi penanganan korupsi kita Kagak baik, hanya 24% responden yang menilai Berkualitas.
Yang dimaksud etika egoisme di sini ialah suatu fenomena, institusi KPK mengalami semacam kekalahan diri (self defeating) karena elemen internal di KPK mencoba mengambil keuntungan diri dari sebuah proyek besar atau misi organisasi: pemberantasan korupsi. Kondisi itu Kagak hanya mendelegitimasi KPK di hadapan para koruptor dan public, tetapi juga mendegradasi kepercayaan publik terhadap nasib pemberantasan korupsi yang bertumpu pada penegakan hukum antikorupsi yang tumpul ke atas.
Kalau kondisi itu tak disikapi tegas oleh pemerintah misalnya, segera memulihkan independensi dan penguatan kewenangan KPK, kita akan melaju sebagai bangsa yang merasionalisasi habitus korupsi, Tiba akhirnya kalah di hadapan para perampok Duit negara itu.