
PROGRAMME for International Student Assessment (PISA) merupakan ujian yang berfungsi Demi menilai pencapaian siswa, sekaligus mengevaluasi efektivitas kurikulum pendidikan yang digunakan di lebih dari 80 negara di seluruh dunia. PISA diselenggarakan sebuah lembaga yang bernama Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), yakni organisasi Dunia yang beranggotakan negara-negara maju yang berkomitmen Demi bekerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Member OECD terdiri atas negara-negara yang Mempunyai perekonomian maju dan sistem pendidikan yang berkualitas. Tes dilakukan Demi menguji tiga bidang, Yakni literasi, matematika, dan sains. Pada keikutsertaan di 2018, Indonesia berada di peringkat ke-74 Demi tes literasi, peringkat 73 Demi tes matematika, dan peringkat 71 Demi tes sains dari 79 negara yang disurvei.
Keadaan ini sungguh mengkhawatirkan, terutama bagi pemerintah yang bertanggung jawab atas Penyelenggaraan amanat UUD ‘45 tentang pendidikan. Meskipun telah dialokasikan anggaran yang dianggap besar Demi sektor pendidikan, nyatanya hasil yang dicapai belum mencerminkan kualitas yang memuaskan. Hal ini terlihat dari aspek kognitif yang diukur melalui tes PISA 2018 berada di peringkat paling Rendah dari tiga kompetensi yang diuji.
Begitu pun aspek afeksi siswa kita, Kagak banyak berkembang. Tindakan kekerasan dan tindakan perundungan antarsiswa, bahkan Terdapat juga yang dilakukan guru, menjadi informasi yang bertebaran di linimasa media sosial kita maupun media arus Primer. Perkembangan psikomotorik siswa kita juga cukup mengkhawatirkan. Siswa kita yang telah menamatkan sekolah menengah atas cenderung Kagak terampil dalam bekerja, Kagak kompeten, sehingga mereka hanya terserap di sektor-sektor riil melakukan kerja-kerja kasar.
Tambal sulam sistem pendidikan
Pendidikan di Indonesia pada masa prakolonial didominasi sistem pendidikan tradisional yang berpusat pada masyarakat setempat. Pendidikan diarahkan Demi mempertahankan dan mewariskan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dari generasi ke generasi. Sistem pendidikan pada masa ini lebih bersifat informal dan berbasis pada kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sistem itu berlanjut hingga pada masa kolonial. Tetapi, pada masa kolonial Belanda, pendidikan diarahkan Demi memenuhi kebutuhan penguasa kolonial, yakni berfokus pada mencetak tenaga kerja terampil Demi kepentingan administrasi dan ekonomi kolonial. Kurikulum pada masa ini lebih mengikuti pola pendidikan di Belanda dan kurang memperhatikan kebutuhan lokal.
Pada era Orde lelet, upaya mengembangkan sistem pendidikan nasional menjadi prioritas Primer yang dikukuhkan dalam UUD 1945, Bab XIII, pasal 31, ayat 1, yang menyatakan bahwa ‘Setiap Anggota negara berhak mendapatkan pendidikan’. Pada masa ini, pendidikan diarahkan Demi membangun identitas nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mempersiapkan sumber daya Insan Demi membangun negara yang merdeka.
Sistem pendidikan diorientasikan Demi membangun fondasi nasionalisme dan patriotisme. Selain itu, pemerintah juga berupaya meningkatkan akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat dan menekankan nilai-nilai kebangsaan dalam kurikulum.
Pemerintah Orde Baru mengadopsi pendekatan sentralisasi dan pengawasan yang ketat terhadap pendidikan. Kurikulum nasional disusun Demi menciptakan kesamaan dan menyebarkan ideologi pemerintah. Pendidikan diarahkan Demi mendukung visi dan kebijakan politik penguasa Begitu itu. Pembangunan Watak Pancasila dilakukan dengan proses indoktrinasi melalui penataran-penataran dari berbagai Derajat, di samping melalui pelajaran pendidikan moral Pancasila (PMP).
Sistem pendidikan di Indonesia berubah signifikan pada era Reformasi 1998. Perubahan didahului dengan disahkannya UU Otonomi Daerah yang berdampak pada sistem pendidikan di Indonesia, Yakni dari pengelolaan pendidikan yang sentralisasi berubah menjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan oleh pemerintah daerah.
Tantangan HOTS
Pada 2013, pemerintah menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan Kurikulum 2013 yang bertumpu pada high order thinking skills (HOTS). HOTS diklaim Bisa mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, seperti berpikir kritis, analitis, kreatif, dan reflektif, mengikuti konsep HOTS yang diperkenalkan Benjamin S Bloom (1956), yang dikenal dengan istilah taksonomi Bloom. Konsep ini menggambarkan Derajat berpikir siswa dari tingkat kognitif rendah (mengetahui) hingga tingkat tinggi (mengevaluasi).
Penerapan HOTS dalam pendidikan Mempunyai tiga manfaat. Pertama, HOTS menggerakkan siswa dari pendekatan pembelajaran pasif menjadi aktif. HOTS mendorong siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, mengajak mereka berpikir, mengemukakan pertanyaan, dan memecahkan masalah. Hal ini merangsang keterlibatan siswa yang lebih dalam dan meningkatkan motivasi mereka terhadap pembelajaran.
Kedua, HOTS membangun kemampuan siswa berpikir kritis dan analitis. Dalam era informasi Begitu ini, siswa perlu Mempunyai kemampuan memfilter, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang mereka temui. Dengan menggunakan HOTS, siswa dapat mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam, mengenali bias, mengidentifikasi kelemahan dalam argumen, dan mengembangkan pandangan yang lebih kritis terhadap dunia di Sekeliling mereka.
Ketiga, HOTS melatih keterampilan berpikir kreatif dan inovatif siswa. Dalam dunia yang Lanjut berkembang, kreativitas menjadi keterampilan yang sangat berharga. HOTS memungkinkan siswa berpikir out of the box bahkan thinking of no box, menemukan solusi yang Istimewa, dan mengembangkan gagasan baru. Kemampuan ini menjadi modal berharga bagi siswa Demi menghadapi tantangan masa depan dan berkontribusi secara kreatif dalam berbagai bidang.
Kemendikbud-Ristek meluncurkan Kurikulum Merdeka pada 2020 sebagai upaya memberikan fleksibilitas lebih kepada sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang relevan dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa. Sepatutnya, dengan fleksibilitas yang begitu luas diberikan kepada sekolah dan guru, pengembangan kemampuan HOTS dapat diimplementasikan.
Tetapi, implementasi HOTS dalam praktik pembelajaran tidaklah mudah. Banyak tantangan yang perlu diatasi, termasuk kurikulum yang terlalu padat, penilaian terfokus pada pengetahuan faktual, dan kurangnya pelatihan bagi guru dalam merancang pembelajaran yang mendorong HOTS. Demi mengatasi tantangan ini diperlukan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, guru, dan pemangku kepentingan lainnya.
Pemerintah perlu memberikan dukungan dan kebijakan yang Terang Demi mendorong penerapan HOTS dalam kurikulum nasional. Sekolah harus menyediakan sumber daya dan lingkungan pembelajaran yang mendukung pengembangan HOTS, termasuk pelatihan yang diperlukan guru dalam merancang pembelajaran yang mendorong keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Guru juga perlu berperan aktif dalam mempraktikkan strategi pembelajaran yang mendorong HOTS, seperti penggunaan studi kasus, proyek berbasis masalah, dan Obrolan reflektif. Tentu saja itu Kagak mudah, tapi bukan berarti Kagak Dapat dilakukan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

