PAGI itu saya dikejutkan oleh bunyi ‘gedebuk’. Saya membuka jendela, Menyantap pucuk pohon pepaya yang tumbuh di halaman. Buah pepaya tinggal dua. Benarlah seperti yang saya duga, pepaya yang kemarin dan kemarinnya dan kemarinnya Tengah saya lihat menguning, pagi ini Anjlok dari pokoknya.
Buah itu terluka akibat Anjlok di bibir beton bak sampah yang dibikin pemilik rumah di samping sang pohon Lampau mendarat di atas rerumputan yang juga tumbuh di halaman itu. Luka itu mengekspresikan Corak dagingnya yang ranum. Kata orang, dia matang pohon.
Tetumbuhan bernama pepaya itu bukan keluarga kami yang menanamnya. Keluarga kami baru 39 hari menempati rumah itu, rumah sewaan. Ketika hari pertama memasuki rumah itu, ketiga pepaya Tetap hijau. Maka itu, yang terjadi ialah Eksis orang yang menanam, Eksis orang yang menuai.
Kata-kata orang Kudus itu semula saya pikir hanya pandai-pandainya orang bijak menyusun kata-kata. Lidah memang Kagak bertulang, kiranya tak terkecuali lidah orang Kudus. Sekarang saya menemukan Realita, pepaya itu mengajarkan bahwa orang Kudus itu Betul. Saya Kagak menanam, tapi saya menuai.
Saya kakek tiga orang cucu. Dua yang pertama berumur 11 dan 8 tahun, yang ketiga 2 tahun. Kiranya yang terakhir saja yang terlalu pagi Buat berbagi kearifan ‘buah pepaya yang Anjlok di halaman’, yang mengandung pengertian dari orang Kudus, bahwa ‘Eksis orang yang menanam, Eksis orang yang menuai’. Tengah pula berbeda dengan keluarga dua cucu yang pertama, cucu yang terakhir ini, tinggal berjauhan. Dia, Orang Uzur ibunya, serta dua asisten pekerja rumah tangga mereka Kagak tinggal serumah dengan kami, opa omanya. Maka itu, saya hanya menceritakan kearifan pepaya yang Anjlok di halaman itu melalui media sosial, seraya menyertakan foto buah pepaya yang terluka itu yang Bahkan menunjukkan keaslian dirinya matang pohon. Biarlah tugas orangtuanya menyampaikan kearifan itu kepada anaknya yang sudah tentu belum waktunya mengerti hikmat yang diperoleh kakeknya.
Suatu hari di masa sulit di kala remaja, saya dirundung malang gagal Asmara, juga gagal sekolah. Gagal yang pertama dibahasakan orang sebagai broken heart, gagal yang kedua dibahasakan orang sebagai drop out. Dua bahasa keren kegagalan itu bikin saya bertambah marah kepada dunia, kenapa kegagalan harus dibungkus dengan bahasa asing? Bukankah dua Realita itu terwakili oleh satu kata saja, Ialah ‘ditendang’? Yang satu ditendang Perempuan yang bijaksana (pantang Anjlok hati pada lelaki gagal), yang satu Tengah ditendang universitas yang berkelas (pantang Meletakkan hati pada mahasiswa gagal). Kagak Eksis kegagalan yang keren. Buang itu broken heart, drop out, yang Eksis ialah Realita seseorang dua kali ditendang di dalam hidupnya.
Pengalaman remaja ditendang dua kali itu Membikin saya setelah menjadi kakek entah kenapa malah kian belajar Mau mengerti Arti ‘matang pohon’. Akan tetapi, bunyi ‘gedebuk’ dan luka itu terasakan memancarkan tragedi. Matang pohon pun kiranya memerlukan semacam ‘tendangan’. Saya berkesimpulan angin telah menendangnya. Jatuhnya menghajar tepi bak sampah, membuatnya terluka. Matang pohon sekalipun Tetap memerlukan proses yang perih Buat Tiba pada diri yang sepenuhnya matang alami. Luka itu sebuah ketidaksempurnaan, yang malah sepenuhnya mengekspresikan ranumnya kematangan dialektis.
Pengalaman ditendang itu menjadikan diri kakek ini ambisius akan pengajaran. Ketika hidup normal, dia Kagak ingat Tuhan. Ketika gagal, dia mencari Tuhan. Saya harap Anda bukan Orang Corak itu. Pencarian itu bukan pula pencarian dengan bersemedi atau bertualang menghayati alam raya. Si remaja yang dua kali ditendang itu bolak-balik membaca sabda orang Kudus, itu pun terbatas yang disukainya saja, yang menurut perasaannya cocok dengan suasana kebatinan, betapa sakitnya ditendang.
Pencarian Tuhan di masa remaja gagal itu di masa kakek hanya menyisakan sebuah pengertian dari orang Kudus. Esensinya, ‘biarlah matamu Menyantap Lalu ke depan dan tatapan matamu tetap ke muka’. Saya melarang istri segera mengupas pepaya itu, menyayat-menyayatnya, Lampau melahapnya. “Sabar,” kataku. “Tiba saya telah menjelaskan kepada dua cucu tentang Arti ‘Eksis orang yang menanam, Eksis orang yang menuai’.” Akan tetapi, kenapa malah saya terdorong kembali ke masa Lampau, masa ditendang dua kali? Kenapa tiba-tiba esensi “Biarlah matamu Menyantap Lalu ke depan…” seakan lenyap seketika?
Di usia Uzur, saya merasa tertendang diri sendiri. Tendangan dari ‘ruang dalam’. Saya mengambil pisau, mengupas pepaya itu, mengiris-irisnya, menyantapnya, sepuas-puasnya. Saya lupa anak cucu, lupa istri. Pepaya itu meniadakan esensi. Saya Mau mataku Menyantap Lalu ke depan dan tatapan mataku tetap ke muka.
Buah pepaya telah ludas. Apa yang tersisa? Betapa anehnya kehidupan. Eksis orang yang menanam, Eksis orang yang menuai. Saya menghampiri jendela, menatap dua buah pepaya yang Tetap hijau, Menyantap Lalu ke depan. Bila tiba saatnya, tak kuinginkan engkau matang pohon dan Anjlok dari pokok dengan terluka. Ditendang alam raya sekalipun. Saya akan menuaimu dengan Metode terhormat, memetikmu.

