
BELUM lekang dari ingatan publik pengesahan UU No 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), kini kita kembali disuguhkan wacana revisi UU yang sama yang menyimpan api dalam sekam. Pasal yang dimaksud ialah Pasal 30 UU ASN. Di sana disebutkan, presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi Istimewa, selain pejabat pimpinan tinggi madya, dan selain pejabat fungsional tertinggi kepada empat pihak.
Keempat pihak itu ialah menteri di kementerian, pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan sekretariat di lembaga negara dan lembaga nonstruktural, gubernur di provinsi, dan bupati/wali kota di kabupaten/kota.
SENTRALISASI KEWENANGAN
Dengan wacana revisi yang tengah disiapkan, kewenangan itu bakal berubah, Merukapan ditarik ke tangan presiden. Inisiatif yang tergesa-gesa itu mengejutkan, langsung menyasar satu titik krusial, satu pasal: kewenangan mutasi Kepada jabatan eselon I dan II yang berpindah tangan ke presiden. Sebuah langkah yang dengan dalih memperkuat meritokrasi dan membuka karier nasional bagi ASN berprestasi di daerah , yang Bahkan berpotensi mengebiri otonomi daerah dan mengancam netralitas birokrasi.
Dalam lanskap politik dan birokrasi Indonesia, kita belajar dari sejarah bahwa kekuasaan dan pengetahuan sering kali berjalan beriringan, tetapi tak jarang pula bersitegang. Daniel Dhakidae, dalam magnum opus-nya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, dengan tajam menganalisis bagaimana rezim Orde Baru membangun kekuasaan mereka melalui kontrol wacana dan Rekanan yang kompleks dengan kaum intelektual. Revisi UU ASN itu, dalam perspektif Dhakidae, Pandai jadi merupakan babak baru dalam dinamika kekuasaan tersebut, dengan birokrasi, sebagai salah satu pilar negara, kembali ditarik lebih dekat ke orbit kekuasaan pusat.
Inti revisi itu ialah mengembalikan kewenangan pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan (mutasi) ASN eselon I dan II, yang sebelumnya sebagian didelegasikan ke pejabat pembina kepegawaian di daerah, ke tangan presiden. Langkah itu, yang diklaim bertujuan memberikan ruang karier yang lebih luas bagi ASN berprestasi di daerah, Bahkan memunculkan pertanyaan mendasar: apakah itu Cocok-Cocok tentang meritokrasi ataukah sekadar upaya Kepada memperkuat cengkeraman kekuasaan pusat terhadap birokrasi di seluruh negeri?
IMPLIKASI TERHADAP DEMOKRASI, MERITOKRASI, DAN ANTIKORUPSI
Implikasi sentralisasi kewenangan itu Pandai sangat luas. Pertama, terhadap demokrasi. Semangat otonomi daerah yang diperjuangkan sejak era reformasi berpotensi terkikis secara mendasar. Kepala daerah, gubernur, bupati, dan wali kota, yang dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan Lumrah, akan kehilangan sebagian kewenangan mereka yang signifikan dalam menentukan perangkat pemerintahan di Kawasan mereka.
Kewenangan Kepada mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan pejabat eselon I dan II, yang mencakup posisi-posisi strategis seperti sekretaris daerah, kepala dinas, dan kepala biro di tingkat provinsi dan kabupaten/kota , akan ditarik ke pemerintah pusat, dalam hal ini presiden.
Itu bukan hanya sekadar persoalan efisiensi administrasi, melainkan juga sesuatu yang menyentuh akar representasi dan akuntabilitas kekuasaan di tingkat lokal. Otonomi daerah, yang merupakan amanat reformasi Kepada memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengelola urusan rumah tangga mereka sendiri, menjadi terancam karena kepala daerah akan kesulitan membentuk tim yang solid dan efektif Apabila harus bergantung pada keputusan pemerintah pusat Kepada setiap pengangkatan dan pemindahan pejabat tinggi di Kawasan mereka.
Hal itu berpotensi menciptakan kemandulan di tingkat daerah karena ketergantungan yang berlebihan pada keputusan pusat. Lebih jauh, sentralisasi itu Pandai dianggap sebagai langkah mundur yang bertentangan dengan semangat UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang didesentralisasikan.
Akibatnya, kepala daerah dapat kesulitan mewujudkan program-program yang telah dijanjikan kepada pemilih mereka Ketika kampanye karena Enggak Mempunyai kontrol penuh atas aparat birokrasi di Kawasan mereka. Itu bukan hanya soal distribusi kekuasaan, melainkan juga soal efektivitas pemerintahan daerah dan realisasi janji-janji demokrasi di tingkat akar rumput.
Kedua, terhadap meritokrasi. Meskipun Pandai jadi tujuannya mulia, yakni Kepada menjamin bahwa hanya ASN yang Cocok-Cocok kompeten dan berprestasi yang menduduki posisi puncak, sentralisasi kewenangan mutasi itu Bahkan menyimpan paradoks yang berbahaya. Ia berpotensi membuka celah yang lebih lebar bagi praktik patronase dan klientelisme di tingkat pusat. Kekuasaan yang terpusat di tangan presiden Kepada menentukan siapa menduduki jabatan eselon I dan II di seluruh Indonesia, tanpa mekanisme pengawasan yang Cocok-Cocok kuat dan independen, sangat rentan terhadap intervensi politik.
Dalam konteks itu, ASN yang berprestasi di daerah, yang telah menunjukkan dedikasi dan kemampuan luar Normal dalam melayani masyarakat di Kawasan mereka, Pandai saja tersisih bukan karena kekurangan kompetensi, melainkan karena Enggak Mempunyai kedekatan atau koneksi dengan lingkaran kekuasaan di Jakarta.
Sebagaimana diungkapkan Agus Pramusinto, Guru Besar Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), akar masalah sering kali terletak pada perilaku pejabat pembina kepegawaian, bukan pada status kepegawaian ASN itu sendiri. Memindahkan kewenangan ke pusat, tanpa mengatasi potensi subjektivisme dan kepentingan politik dalam penunjukan, Enggak serta-merta menghilangkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan, ia hanya memindahkannya dari tingkat lokal ke tingkat nasional, dengan potensi Pengaruh yang lebih luas dan sistemis.
Kita diingatkan kembali oleh Dhakidae dalam Kitab yang sama, tentang bagaimana kekuasaan dapat membentuk dan memengaruhi lanskap intelektual dan birokrasi. Dalam konteks revisi UU ASN itu, kita perlu mewaspadai, apakah usul itu Cocok-Cocok bertujuan memajukan meritokrasi ataukah Bahkan menjadi alat Kepada memperkuat kontrol politik atas birokrasi, dengan loyalitas kepada penguasa menjadi pertimbangan Istimewa di atas kompetensi dan prestasi. Sentralisasi kekuasaan, tanpa checks and balances yang memadai, selalu membawa risiko tergerusnya prinsip-prinsip meritokrasi yang sehat dan Rasional.
Ketiga, terhadap pemberantasan korupsi. Sentralisasi kewenangan yang Enggak diimbangi dengan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat Bahkan berpotensi secara signifikan meningkatkan risiko korupsi. Ketika kewenangan Kepada mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan pejabat tinggi, eselon I dan II, di seluruh Indonesia terpusat di satu tangan, Merukapan presiden, tanpa adanya pengawasan independen yang efektif, terciptalah konsentrasi kekuasaan yang sangat besar. Kondisi itu Pandai menjadi lahan subur bagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tingkat pusat.
Sejarah birokrasi Indonesia mencatat model Lamban yang sarat dengan praktik KKN, dengan penunjukan jabatan sering kali didasarkan pada kedekatan personal atau proteksionisme politik, bukan pada kompetensi dan integritas. Kita tentu Enggak Ingin birokrasi kita kembali ke era tersebut, dengan pelayanan publik menjadi korban kepentingan pribadi dan Grup tertentu.
Usep Hasan Sadikin, peneliti dari Perkumpulan Kepada Pemilu dan Demokrasi (Perludem), bahkan secara eksplisit khawatir bahwa Apabila sentralisasi itu diterapkan, Indonesia akan Mempunyai masalah korupsi yang lebih berat karena kewenangan yang terlampau besar akan Membikin implementasi kebijakan menjadi lebih sulit diawasi. Tanpa adanya pengawasan dan penyeimbang yang memadai, keputusan-keputusan terkait dengan promosi dan mutasi jabatan Pandai saja didikte pertimbangan-pertimbangan nonmeritokratis, termasuk subordinasi pada kepentingan tertentu yang berpotensi koruptif.
Oleh karena itu, menjadi sangat krusial Kepada memastikan bahwa Apabila revisi itu sungguh bertujuan meningkatkan efisiensi dan meritokrasi, harus Eksis jaminan yang kuat terkait dengan transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas bagi para pemegang kewenangan.
Penguatan kembali peran lembaga pengawas independen seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang sayangnya dihapuskan UU ASN 2023, menjadi semakin mendesak Kepada mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi di birokrasi. Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, mutasi sentralisasi kewenangan Bahkan Pandai menjadi bumerang bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
PENTINGNYA KESADARAN PUBLIK DAN ASN
Lewat, apa yang perlu disampaikan kepada publik, terutama kepada para aparatur sipil negara? Revisi UU ASN itu bukan sekadar perubahan teknis dalam manajemen kepegawaian. Itu ialah isu mendasar yang menyangkut arah tata kelola negara kita. Para ASN, sebagai garda terdepan pelayanan publik, harus menyadari potensi Pengaruh perubahan itu terhadap karier dan profesionalisme mereka.
Apabila meritokrasi Cocok-Cocok menjadi tujuan, penguatan Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai lembaga independen pengawas meritokrasi, seperti yang diusulkan Agus Pramusinto , Bahkan menjadi langkah yang lebih relevan. Sayangnya, UU ASN 2023 Bahkan membubarkan KASN, sebuah langkah mundur yang kini semakin terasa dampaknya.
Apakah Eksis preseden di negara lain dengan sentralisasi kekuasaan atas birokrasi memicu gelombang perlawanan? Di Amerika Perkumpulan, misalnya, terdapat perdebatan sengit mengenai upaya Kepada mengubah status karier pegawai negeri menjadi pengangkatan yang bersifat politis, yang berpotensi menghilangkan perlindungan berbasis kemampuan dan membuka pintu bagi pengaruh politik yang lebih besar.
Meskipun Enggak selalu berujung pada ‘gelombang perlawanan’ dalam Definisi demonstrasi massal, isu itu memicu Obrolan publik yang intens, gugatan hukum, dan terjadi penolakan keras dari Perkumpulan pekerja serta Grup masyarakat sipil yang Acuh akan profesionalisme dan netralitas layanan publik.
Sebagai penutup, kita perlu merenungkan kembali: Kepada siapa sebenarnya revisi UU ASN itu dilakukan? Saya ragu Apabila usul itu dari kementerian atau lembaga pemerintah terkait, mengingat itu akan berimplikasi Enggak baik dan menjadi bumerang bagi mereka sendiri dengan semangat meritokrasi yang mencoba mereka bangun bertahun-tahun.
Apakah itu Cocok-Cocok Kepada meningkatkan kualitas birokrasi dan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh ASN berprestasi di Tanah Air? Ataukah itu hanyalah upaya lain Kepada memusatkan kekuasaan dan mengamankan kepentingan politik tertentu?
Publik, terutama ASN, perlu bersikap kritis dan secara aktif mengawasi proses legislasi itu. Jangan Tiba semangat reformasi birokrasi yang telah susah payah kita bangun kembali terkubur di Dasar argumen yang mengatasnamakan efisiensi dan meritokrasi. Kita harus belajar dari pengalaman yang Eksis, bahwa kekuasaan tanpa pengawasan dan akuntabilitas berpotensi menjadi tirani, dan kaum cendekiawan serta seluruh Penduduk negara Mempunyai tanggung jawab Kepada menjaganya agar tetap berada dalam jalur yang Cocok.
Karena itu, dalam pusaran kepentingan yang tak jarang menggelapkan nurani, kewaspadaan publik menjadi suluh penerang yang tak boleh padam, menjaga agar semangat reformasi birokrasi, yang diidamkan sebagai dasar demokrasi yang kukuh, meritokrasi yang adiluhung, dan pemberantasan korupsi yang tanpa kompromi, Enggak tergerus oleh Dominasi kekuasaan yang, seperti dialektika yang Kekal, senantiasa berpotensi memangsa idealisme dan Pikiran sehat.

