PERKEMBANGAN Rekanan antara Tiongkok dan ASEAN ialah salah satu dinamika geopolitik dan ekonomi paling Krusial di abad ke-21. ASEAN–organisasi regional yang mewadahi 10 negara Asia Tenggara–menjadi Kenalan dagang terbesar Tiongkok sejak 2020. Pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, pencapaian keamanan, hingga hiruk-pikuk dimensi sosial budaya.
Rekanan antara Tiongkok dan ASEAN telah menjadi salah satu poros Istimewa dalam lanskap geopolitik dan ekonomi Asia selama dua Sepuluh tahun terakhir. Pada 2025, kemitraan ini memasuki fase yang lebih kompleks dan strategis, diwarnai oleh peningkatan kerja sama ekonomi, diplomasi multilateral, serta tantangan dari dinamika Mendunia seperti perang tarif dan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.
KEMITRAAN STRATEGIS
Sejak penandatanganan Kemitraan Strategis Komprehensif (Comprehensive Strategic Partnership/CSP), Tiongkok dan ASEAN Lalu memperluas ruang lingkup kerja sama mereka. Pada pertemuan ke-26 Komite Kerja Sama ASEAN-Tiongkok (ACJCC) di Jakarta, April 2025, kedua pihak menegaskan kembali komitmen Buat memperkuat CSP melalui berbagai sektor: perdagangan dan investasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi hijau dan digital, ketahanan pangan dan Daya Bersih, pariwisata dan pendidikan, serta manajemen bencana dan kesehatan masyarakat.
Tiongkok juga mengusulkan kerja sama baru di bidang kecerdasan buatan, ekonomi biru, transportasi, dan kesehatan Perempuan dan anak.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-46 ASEAN yang digelar pada 26-27 Mei 2025 Lewat yang dihelat di Kuala Lumpur menjadi momentum tak sekadar Perhimpunan rutin. Lebih dari itu, KTT ini menjadi momen Krusial bagi Tiongkok dan ASEAN Buat meredefinisi kemitraan strategis mereka dalam menghadapi dinamika Mendunia–dengan tingginya komitmen politik, peluncuran inisiatif ekonomi baru, dan penegasan peran kawasan sebagai pusat stabilitas Asia-Pasifik.
Pada sesi pleno, para pemimpin ASEAN menandatangani Kuala Lumpur Declaration on ASEAN 2045: Our Shared Future yang menegaskan visi jangka panjang kawasan. Deklarasi tersebut menguatkan komitmen ASEAN Buat menjadi poros stabilitas Mendunia dan menekankan pentingnya memperluas kemitraan strategis, termasuk dengan Tiongkok, guna menghadapi fragmentasi ekonomi dan tantangan iklim secara kolektif.
Tiongkok juga aktif dalam KTT ASEAN-GCC-Tiongkok, menegaskan komitmen terhadap regionalisme, multilateralisme, dan pembangunan berkelanjutan. Perhimpunan itu menegaskan bahwa multilateralisme dan kerja sama lintas blok tetap menjadi strategi kawasan Buat menjaga otonomi dan stabilitas menghadapi persaingan kekuatan besar.
Dalam Persepsi Publik ASEAN terhadap Tiongkok, survei ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, menunjukkan bahwa 47,7% responden ASEAN memilih Tiongkok sebagai Kenalan strategis, sementara 52,3% memilih AS. Meski margin tipis, hal itu mencerminkan dilema ASEAN dalam menjaga keseimbangan antara dua kekuatan besar.
Tetapi, mayoritas responden tetap optimistis bahwa Rekanan dengan Tiongkok akan semakin membaik dalam tiga tahun ke depan, terutama di bidang perdagangan, infrastruktur, dan Rekanan antarmasyarakat.
Selain itu, konektivitas fisik dan digital menjadi Pusat perhatian Istimewa kerja sama. Jalur kereta api Tiongkok-Laos telah mengoperasikan lebih dari 50 ribu kereta barang sejak diluncurkan pada 2021, mempercepat logistik, arus penumpang dan perdagangan lintas batas. Selain itu, Koridor Darat-Laut Barat memperkuat integrasi transportasi antara ASEAN dan Tiongkok.
Rekanan ANTARMASYARAKAT
Tahun 2025 ditetapkan sebagai tahun pertukaran antarmasyarakat ASEAN-Tiongkok, dengan peluncuran berbagai proyek budaya, pendidikan, dan teknologi. Salah satu inisiatif terbaru ialah ASEAN-Tiongkok Import and Export Service Platform (ACIESP), yang memfasilitasi kerja sama bisnis dan UMKM antarkedua pihak.
Sebagai akar dan fondasi dalam Rekanan kerja sama antarnegara atau kawasan, program pertukaran Rekanan antarmasyarakat diharapkan Dapat memperkuat, dan meningkatkan pertumbuhan dalam Rekanan antara Tiongkok dan ASEAN. Seperti pertukaran pelajar melalui skema beasiswa ataupun lainnya, pertukaran akademisi, peneliti, serta kolaborasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi canggih antara ASEAN dan Tiongkok.
Pengalaman penulis, yang pernah berinteraksi melalui kuliah di Tiongkok, menjadi akademisi, dan berbisnis Tiongkok-Indonesia selama kurang lebih delapan tahun, merasakan, dan menyaksikan betul Akibat langsung dari pertumbuhan positif Rekanan antarmasyarakat ini.
Walaupun begitu, penguatan Rekanan antarmasyarakat ASEAN dan Tiongkok juga tak lepas dari berbagai tantangan. Menurut peneliti Badan Riset dan Penemuan Nasional Indonesia (BRIN) Dewi Fortuna Anwar, paling Bukan terdapat empat tantangan. Pertama, ialah sejarah. Meskipun Tiongkok dan negara di Asia Tenggara telah menjalin Rekanan selama ribuan tahun, Terdapat beberapa aspek sejarah yang cenderung negatif. Kedua, kesenjangan. Di masa Lewat, Tiongkok dan Asia Tenggara Bukan berada dalam posisi yang Bukan setara.
Ketiga, tantangan keberagaman. Komunitas ASEAN Demi ini Lagi dalam tahap pengembangan. Maka dari itu, pengembangan Rekanan antarmasyarakat Tiongkok dan ASEAN Sepatutnya juga turut mengembangkan Rekanan antarwarga ASEAN itu sendiri.
Keempat, inklusivitas dan kesetaraan. Dalam meningkatkan Rekanan antarmasyarakat, penekanan poin inklusivitas harus menjadi komitmen Serempak.
PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ACFTA 3
Menurut data dari Administrasi Lumrah Kepabeanan Tiongkok (GAC), nilai perdagangan antara Tiongkok dan ASEAN pada kuartal pertama 2025 mencapai 1,71 triliun yuan (Sekeliling Rp 3.762 triliun), naik 7,1% Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Komposisi perdagangan menunjukan bahwa 90,1% didominasi oleh produk manufaktur.
Sementara itu, ekspor Istimewa Tiongkok ke ASEAN seperti panel layar datar, Spesies cadang mobil, baterai litium. Di Demi yang sama, Tiongkok impor dari ASEAN berupa komponen elektronik, sirkuit cetak, bahan baku tekstil, bahan mineral, komoditas pertanian dan perikanan.
Tiongkok menjadi Kenalan dagang Istimewa ASEAN dalam sektor pertanian selama delapan tahun berturut-turut dengan impor produk pertanian dari ASEAN mencapai 52,65 miliar yuan dan ekspor sebesar 37,92 miliar yuan.
Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN–Tiongkok (ACFTA) 3.0 diharapkan membuka Kesempatan baru, tetapi implementasinya menghadapi sejumlah kendala yang perlu diantisipasi Serempak.
Pertama, perbedaan tingkat pembangunan dan kapasitas ekonomi. Setiap negara ASEAN Mempunyai tahap pembangunan ekonomi dan struktur industri yang berbeda. Ketimpangan ini menyulitkan harmonisasi tarif serta aturan asal barang (rules of origin) sehingga beberapa Member dapat mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan standar baru tanpa dukungan teknis dan finansial Tertentu.
Kedua, hambatan nontarif dan regulasi kompleks. Meskipun ACFTA 3.0 berupaya menurunkan tarif, hambatan nontarif seperti Mekanisme bea cukai yang berbelit, standar kualitas yang belum seragam, dan peraturan sanitasi karantina Lagi kerap menjadi hambatan Istimewa perdagangan antarnegara.
Ketiga, disparitas infrastruktur digital dan kebijakan ekonomi digital. ACFTA 3.0 menambahkan bab ekonomi digital Buat mengakomodasi e-commerce dan layanan online. Tetapi, kesenjangan infrastruktur digital–terutama di negara berkembang ASEAN–serta perbedaan regulasi data dan keamanan siber berpotensi menghambat optimalisasi perdagangan digital lintas batas.
Keempat, keterbatasan akses UMKM dan Perlindungan konsumen. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sering kekurangan informasi tentang aturan baru, akses pembiayaan, dan mekanisme ekspor. Tanpa program pendampingan, mereka berisiko tertinggal dan gagal memanfaatkan Kesempatan pasar yang lebih luas di Rendah ACFTA 3.0
TANTANGAN GEOPOLITIK Mendunia
Secara geopolitik, Tiongkok sangat bergantung pada minyak mentah dan impor Daya lainnya yang dikirim melintasi Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan. Sementara itu, secara ekonomi, sejak 2020, perdagangan Tiongkok dengan ASEAN telah menggeser Uni Eropa sebagai Kenalan perdagangan Istimewa.
Ketegangan di Laut Tiongkok Selatan tetap menjadi isu sensitif. Meski beberapa negara ASEAN seperti Filipina dan Vietnam memperkuat kerja sama keamanan dengan AS, mayoritas negara ASEAN tetap mengedepankan penyelesaian damai dan penghormatan terhadap hukum Global.
ASEAN dan Tiongkok juga mempercepat negosiasi code of conduct (COC) yang efektif dan substantif Buat mengelola konflik di Daerah tersebut.
Rekanan Tiongkok-ASEAN juga menghadapi tantangan dari kebijakan proteksionis Amerika Perkumpulan. Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru sebesar 25%-40% terhadap enam negara ASEAN, termasuk Indonesia yang awalnya dikenai tarif 32% dan setelah negosiasi ulang menjadi 19%.
Rekanan Tiongkok-ASEAN Demi ini diwarnai dua tekanan besar: perang tarif antara Amerika Perkumpulan dan Tiongkok serta Pengembangan BRICS yang melibatkan beberapa negara ASEAN. Keduanya menghadirkan Kesempatan sekaligus tantangan serius bagi kohesi dan sentralitas ASEAN.
Tiongkok dan ASEAN menanggapi dengan pendekatan diplomatik, menegaskan bahwa multilateralisme dan kerja sama regional ialah kunci Buat menghadapi fragmentasi ekonomi Mendunia.
Indonesia, sebagai Member penuh BRICS sejak Januari 2025, menegaskan bahwa keanggotaannya bukan bentuk anti-Amerika, melainkan bagian dari politik luar negeri bebas aktif.
Tiongkok ialah kekuatan besar dengan pengaruh ekonomi dan politik yang jauh melampaui negara-negara ASEAN lainnya. ASEAN menunjukkan dukungan penuh terhadap inisiatif proyek Mendunia Tiongkok, Belt and Road Iniative (BRI) melalui 21st Maritime Silk Road. Tiongkok menjadikan Asia Tenggara sebagai prioritas tinggi bagi kebijakan diplomasi tetangga yang dijalankan.
Sementara itu, bagi Amerika Perkumpulan, kawasan Asia Tenggara sangat vital bagi kepentingan geopolitik dan ekonomi. Jalur laut di Daerah ini menjadi akses Istimewa bagi Amerika Perkumpulan dan seluruh sekutu pentingnya seperti Jepang, Australia, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan.
Rekanan Tiongkok dan ASEAN pada 2025 menunjukkan potensi keseimbangan antara Kesempatan dan tantangan.
Di satu sisi, kerja sama ekonomi, teknologi, dan diplomasi antarmasyarakat semakin erat. Di sisi lain, tekanan eksternal seperti perang tarif dan isu geopolitik menuntut ASEAN Buat bersikap lebih strategis dan bersatu.
Memperkuat rasa saling percaya dan memperdalam kemitraan dapat membantu kedua belah pihak mengatasi tantangan yang kompleks, mendorong pembangunan berkelanjutan, dan berkontribusi terhadap masa depan yang lebih damai dan saling terhubung di kawasan ini.
Dengan pendekatan inklusif, setara, dan pragmatis, ASEAN dan Tiongkok berpotensi membentuk poros stabilitas dan kemakmuran di kawasan Asia-Pasifik yang semakin multipolar.

