Peringatan Hari Kartini Merenung tentang Arah Pendidikan Kita

Peringatan Hari Kartini:  Merenung tentang Arah Pendidikan Kita
(MI/Duta)

SETIAP 21 April, kita kembali mengenang sosok Raden Ajeng Kartini, seorang pelopor pembebasan Perempuan yang memperjuangkan hak atas pendidikan yang merdeka dan adil. Di tengah peringatan Hari Kartini, semangat perjuangannya hendaknya menjadi cermin bagi kita Kepada mengevaluasi kembali sistem pendidikan di negara kita.

Apakah pendidikan kita telah memanusiakan, seperti yang diinginkan Kartini, atau Bahkan semakin membelenggu generasi muda? Pertanyaan ini mengingatkan kita pada tantangan besar yang dihadapi pendidikan Indonesia, di mana anak-anak sering kali Tetap dipandang sebagai objek yang harus diisi dengan pengetahuan, bukan sebagai subjek yang aktif dalam proses pembelajaran.

Tetapi, Bahkan dari Metode pandang itulah akar persoalan pendidikan kita bermula. Ketika sistem pendidikan Tak Pandai berdiri tegak sebagai ruang yang merdeka, maka ia mudah terombang-ambing oleh arus kebijakan, selera politik, dan tren Global. Lembaga-lembaga Formal yang Sepatutnya menjadi nakhoda pun sering kehilangan arah.

Sementara itu, rakyat—yang mestinya menjadi subjek Esensial pembangunan bangsa—hanya Pandai mengelus dada, menyaksikan kapal besar bernama pendidikan nasional Maju berlayar tanpa kompas. Di kejauhan, negeri-negeri lain tampak melaju dengan tujuan yang terukur dan arah yang Terang, sementara kita, seperti menunggu badai Kepada menuntun kita secara Aneh ke pelabuhan impian.

 

KURIKULUM KITA: CERMIN KRISIS TUJUAN PENDIDIKAN

Kondisi pendidikan di Indonesia hari ini bukanlah sesuatu yang hadir tiba-tiba. Ia tumbuh dari sejarah panjang kehidupan sosial yang dipenuhi kebingungan kolektif tentang arah hidup dan berbangsa. Dalam kebingungan itulah, falsafah Pancasila—sebagai dasar negara—kehilangan Arti sejatinya.

Cek Artikel:  Kesehatan Mendunia Melampaui Batas Seruan Dukungan Indonesia bagi Keterlibatan Taiwan dalam WHA dan WHO

Selama lebih dari tiga Sepuluh tahun, sistem pendidikan kita berjalan dalam skema yang kaku dan otoriter. Pendidikan yang bersifat top-down itu tak menyediakan ruang Kepada berpikir bebas, berdialog, atau bertanya. Dalam kerangka itulah, siswa diposisikan semata sebagai objek—bukan subjek—yang harus dibentuk sesuai cetakan kekuasaan.

Kurikulum yang dikembangkan pun hanya menjadi instrumen teknis Kepada menghasilkan individu-individu yang seragam dan mudah dikendalikan. Tak Eksis tempat bagi Obrolan kritis atau pengembangan pemikiran Independen, karena tujuan utamanya ialah menghasilkan Mahluk-Mahluk Taat.

Keberhasilan pendidikan dinilai melalui alat tunggal: ujian nasional. Ujian ini bukan hanya memutuskan nasib siswa melalui cap ‘lulus’ atau ‘gagal’, tapi juga menjadi palu Penilaian bagi sekolah dan kepala sekolahnya. Sistem ini menciptakan tekanan besar demi mempertahankan keseragaman, bahkan hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dampaknya, lulusan dari sistem ini tumbuh menjadi individu mekanistik—Pandai menjalankan perintah teknis, tetapi miskin empati dan nurani. Pendidikan Tak melatih mereka Kepada berpikir tentang orang lain, apalagi tentang keadilan sosial. Sebaliknya, mereka diarahkan Kepada Konsentrasi pada diri sendiri, menyelesaikan tugas pribadi, dan Tak mengganggu ‘tatanan’ sosial yang sudah Eksis.

Dalam kerangka ini, sikap kritis menjadi sesuatu yang mencemaskan karena Pandai memunculkan perubahan. Maka, cukup jadilah individu yang ‘Berkualitas-Berkualitas saja’, yang hanya mengikuti aturan dan membiarkan urusan besar diselesaikan segelintir elite yang mengaku Paham segalanya.

Cek Artikel:  Jalan Menuju Ekonomi Indonesia Digdaya

Ironisnya, pendidikan kita kini tengah memanen hasil dari benih-benih kegelapan itu. Model pendidikan kita—yang tak memberi ruang dialog, imajinasi, atau keberanian berpikir—bahkan lebih usang daripada sistem pendidikan Era Yunani Antik. Mungkin Apabila Socrates Tetap hidup, ia akan terheran-heran Menyaksikan bagaimana Mahluk modern Tetap menggunakan pendekatan pendidikan yang ia kritik habis-habisan di masanya. Ia percaya bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan dialogis—di mana pertanyaan menjadi jantung pembelajaran dan Mahluk ditumbuhkan kesadarannya agar Pandai menciptakan peradaban yang lebih Berkualitas.

Sebaliknya, sistem pendidikan kita hari ini Bahkan melahirkan Mahluk-Mahluk yang Menyaksikan ilmu dan keterampilan semata sebagai alat Kepada mencapai kekuasaan. Bagi mereka, belajar hanyalah jalan pintas Kepada memperoleh kekuasaan, pengaruh, atau kekayaan—bukan Kepada memperdalam nurani atau mengasah Intelek. Maka, tak mengherankan Apabila banyak dari mereka hanya terobsesi memuaskan keinginan perut—urusan duniawi yang dangkal—tanpa pernah menyentuh ruang hati atau kepala. Dua ruang terakhir itu nyaris tak tersentuh dalam sistem pendidikan yang menekankan hafalan dibandingkan perenungan, dan ketaatan dibandingkan keberanian berpikir.

 

MENATA ARAH

Selama dunia belum berakhir, Asa Kepada memperbaiki pendidikan Tetap terbuka lebar. Kita Tetap Mempunyai ruang Kepada kembali pada niat Rela dan arah yang Akurat. Bagi para pendidik dan pemikir yang Akurat-Akurat Acuh akan masa depan bangsa, kerja keras adalah keniscayaan.

Di tengah Penguasaan sistem pendidikan negeri yang kaku, birokratis, dan terobsesi pada keseragaman, Asa besar kini tertuju pada sekolah-sekolah swasta dan komunitas pendidikan alternatif. Mereka diharapkan Pandai menjadi ruang tumbuh yang lebih merdeka bagi generasi muda, tempat pendidikan dijalankan dengan kesadaran dan keikhlasan, bukan semata demi memenuhi regulasi atau akreditasi.

Cek Artikel:  Risiko Perubahan Iklim

Tak bijak Apabila kita Maju membiarkan kapal besar bernama pendidikan ini terombang-ambing tanpa arah di lautan ketidakpastian. Tetapi, bersikap acuh atau bahkan destruktif tentu juga bukan pilihan. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan ajaran Religi, sudah Sepatutnya kita bergandengan tangan. Menutup celah-celah kebocoran di tubuh sistem, Sembari Maju mengayuh dayung perubahan.

Tujuan kita bukan melawan badai, tetapi mencari dermaga tempat generasi muda Pandai berlabuh dengan Terjamin dan tumbuh dengan utuh.

Sudah waktunya arah pendidikan kita berbalik—menempatkan siswa sebagai pusat dan pelaku Esensial pembelajaran. Kurikulum dan Naskah ajar hanyalah sarana, bukan tujuan. Tugas utamanya ialah menumbuhkan daya pikir kritis dan reflektif, bukan menjejalkan hafalan. Sayangnya, di tengah riuhnya perdebatan soal sistem dan kebijakan, kita kerap melupakan inti sejati pendidikan: anak-anak itu sendiri, para pembelajar terbaik yang Sepatutnya menjadi perhatian Esensial.

YB Mangunwijaya mengingatkan kita bahwa guru bukan pencipta potensi, melainkan penolong Kelahiran—seperti bidan yang membantu proses alami berjalan dengan selamat. Potensi anak sudah Eksis sejak awal; tugas pendidikan ialah menemukannya, merawatnya, dan membiarkannya tumbuh. Di sinilah roh sejati pendidikan hadir: bukan pada tumpukan data atau ujian, tapi pada Rekanan manusiawi yang menumbuhkan Akal, rasa, dan Arti.

 

Mungkin Anda Menyukai