Perihal Dosen, Pemikir dan Sketsa Politik Sebuah Kajian

Perihal Dosen, Pemikir dan Sketsa Politik: Sebuah Kajian
(Dok. Pribadi)

MENJADI dosen berarti siap sebagai pengajar, pembimbing dan pendidik yang tetap Handal. Utamanya menampilkan esensi mengajar Buat membuka berbagai cakrawala pemikiran. Esensi membimbing Buat menyingkapkan pengertian pengetahuan yang Bagus dan Betul, di mana dosen sendiri telah jadi role model, dalam pengertian telah memenuhi kriteria akademik pada level tertentu.

Sebagai dosen, menampilkan esensi mendidik Buat mengungkapkan Berbagai Ragam nilai secara terang-benderang dengan berinduk pada kejujuran dan integritas. Sebagai dosen, tak hentinya menjadi pelayan dan pengabdi dalam bidang pendidikan, dan Bisa terjadi dalam berbagai bidang lain, apa saja.

Terhadap semuanya itu, segala mahakarya dan aktivitas mendidik, sekaligus sebagai mahkota seorang dosen, ialah selalu bernaung di Dasar payung Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan mengoptimalkan Pendidikan dan Pengajaran, Melakukan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, dalam aktivitas akademiknya.

Menjadi dosen berarti siap Mempunyai sebuah posisi dan peran mulia yakni sebagai seorang pemikir dalam pelayanan pada bidang pendidikan. Lazimnya, dalam sivitas akademika komunitas kampus terdapat sekelompok Konkret yang merasa berkepentingan Buat berpikir dan memikirkan sesuatu secara intens dan sungguh-sungguh mendalam. Agar dapat menjalankan aktivitas tersebut, perlu Terdapat keterpaduan dalam diri seorang dosen, yakni antara kemampuan intelektual, adanya kehendak, rasa, dan pelaksanaannya.

Dalam dunia akademik pada umumnya, secara inheren, objek pemikiran para intelektual ialah kebenaran, objek dari kehendak ialah kebaikan, dan objek dari rasa mereka ialah keindahan. Para dosen sebagai Insan pemikir yang Mempunyai keterpaduan dalam dirinya, pada hakikatnya bertugas mengabdi kepada apa yang dipikirkan (kebenaran), kepada apa yang dikehendaki (kebaikan), serta kepada apa yang dialami lewat rasa estetis (keindahan) dalam lingkungan komunitas yang tetap bernuansa mulia.

MI/Seno

 

Kebenaran, kebaikan, dan keindahan

Problem tentang kebenaran, kebaikan, serta keindahan tetap menjadi nilai-nilai dasar yang telah tertanam secara kodrati pada segala ‘yang berada’. Karena itu, pada abad pertengahan, adanya kecenderungan Buat mengatakan bahwa sebagai seorang scholar

Cek Artikel:  Boxing Day Penentu Juara Paruh Kompetisi

 Sebaiknya Mempunyai bingkai pemikiran sebagai berikut, yakni Omne ens est unum, verum, bonum et pulchrum (segenap ‘totalitas’ atas segala yang berada adalah satu, Betul, Bagus, dan indah). Yang menjadi akibat selanjutnya ialah peranan orisinal dari para dosen (original position) dalam mengabdikan diri kepada nilai-nilai dasarian dari segala yang berada.

Dalam pemahaman Thomas Aquinas, pada puncak abad pertengahan, Insan harus melakukan yang Bagus dan Betul dan menghindari yang jahat dalam kehidupan Serempak. Tetapi, sebuah pertanyaan yang segera menyusul ialah dari mana kita mengetahui apa yang Bagus dan apa yang jahat, atau mengetahui mana yang Betul dan mana yang salah? Bagi Thomas Aquinas, kita mengetahui dan mengenalinya dari hukum kodrat lewat Intelek budi kita.

Dari hukum kodrat pun kita Mengerti perbuatan mana yang Bagus dan Betul, perbuatan mana yang Tak baik dan jahat. Kemantapan dalam berbuat yang Bagus (bonum) dan pada Begitu yang sama menolak yang jahat (malum) disebut keutamaan (virtue). Keutamaan itu sendiri merupakan sikap hati yang dapat dikatakan sudah mantap yang hadir Buat menjadi andalan dan terbentuk karena aktivitas atau tindakan yang terjadi. Sebagai Teladan, makin kita membiasakan diri berpikir dengan kritis, makin kita Normal bertindak kritis dan makin gampang pula kita bertindak kritis.

Jadi, makin kritis kita dalam realitas sosial. Dengan demikian, keutamaan kekritisan terbentuk dalam diri kita (ala Bisa karena Normal) yang selalu berlaku, yang merupakan cita-cita yang harus dikejar, tak pernah lekang oleh waktu dan berlaku pada setiap Era, serta nilai-nilai kekritisan ini tetap diperjuangkan demi moralitas umat Insan.

 

Dosen dan pemikiran kritis

Menjadi dosen yang berpikir kritis (critical thinking) tentunya bertugas Buat mengabdikan diri kepada kebenaran. Mengabdi, itu sebuah aktivitas. Sebelum mengabdi perlu mencari, dan sebelum mencari perlu mencintai kebenaran, dan kalau mau tetap maju dalam pemikiran maka pada kondisi tertentu ‘tanpa menghiraukan’ entahkah Terdapat orang yang menyukainya atau Tak, Tak akan menjadi permasalahan Istimewa.

Cek Artikel:  IVUS dan OCT, Suatu Keharusan dalam Mekanisme Penanganan Sumbatan Jantung Bertaraf Dunia

Tesis dasar John Locke dalam hal ini, para dosen sapatutnya berbangga bahwa mereka Mempunyai peranan yang mulia yakni mencintai, mencari, dan mengabdi kepada kebenaran. Buat menilai keseluruhan kebenaran dalam dunia yang Lalu memperebutkan dan menjunjung tinggi kebenaran, Terdapat sebuah ungkapan yang menyelisik pemikiran kita: “Setiap orang tentu mencari kebenaran, dengan Tanda khas khas argumentasinya: Di mana Terdapat kebenaran, di situ akan timbul damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman Buat selama-lamanya (bdk. Yes, 32;17).”

Sesuatu yang menarik di sini yakni tiga nilai dasar yang diperoleh dalam kebenaran, seperti damai sejahtera, ketenangan, dan ketenteraman adalah terjadi dalam waktu yang akan datang (future). Berarti, kebenaran selalu saja diuji dalam waktu Buat memperoleh nilai-nilai tersebut. Utamanya seorang dosen Lalu berjuang dalam aktivitas mendidik dengan sebuah sikap kritis, dalam sebuah kurun waktu yang Tak berhingga yakni selalu dalam proses (on going).

 

Dosen dan sketsa politik

Konstelasi dan konfigurasi politik kita ke depannya Tetap sulit Buat mencapai kemapanan dan kestabilan. Tetaplah diperjuangkan tak pernah henti dalam sebuah pembangunan politik khususnya dalam bidang pendidikan. Partai-partai Tetap sibuk dengan urusan dan gesekan internal mereka yang Tak mudah diselesaikan. Sebagai seorang akedemisi, setiap kali terjadi pemilihan Lumrah, selalu saja muncul sikap skeptis pada kultur politik kita yang Tetap saja bersifat transisional dengan ‘menyisipi’ politik identitas.

Seperti yang disinyalir oleh Hersubeno Arief bahwa politik Jenis sesungguhnya adalah istilah yang Independen karena menggambarkan secara sosiologis afiliasi politik pada satu Golongan berdasarkan pada kesamaan latar belakang Religi, ras, profesi, ataupun ideologi. Wacana politik mutakhir sekarang, terutama pasca-Pilkada DKI 2017, mendapat Arti peyoratif (peyorative meaning) yakni mau mendiskreditkan suatu golongan Religi tertentu.

Cek Artikel:  Praktik Biopower dalam Pembangunan Kependudukan dan Kesehatan

Konteksnya ialah konflik atau berselisih dalam soal Religi dan pada Begitu yang sama saling mengeklaim problem tentang ketuhanan, Terang tak pernah Terdapat habisnya karena pada hakikatnya sesuatu yang terkait dengan dimensi ketuhanan Bisa diklaim oleh tiap-tiap Golongan sebagai yang paling Betul dan bersifat absolut.

Selanjutnya, Apabila seluruh urusan Religi selalu dikaitkan dengan politik maka semuanya berpotensi Betul dan salah, Bagus dan Tak baik selalu ‘terhabok’ di tempat. Karena, sekali Tengah, dalam akitivitas politik (political behaviour), urusan fakta dalam politik menjadi urutan belakangan; yang utamanya ialah tentang ‘klaim-mengeklaim’. Yang perlu didorong ialah negara harus kuat (strong state) dan Tak perlu membiarkan politik identitas merajalela agar Tak terjadi benturan identitas primordial yang pada akhirnya masing-masing mengeklaim bahwa kelompoknya atau bagiannya yang sangat Betul dan hebat.

Dalam membaca segala perkembangan sistem politik pada sebuah negara, konteks Indonesia, orang Tak mungkin melompat dari suatu kevakuman. Sebagai dosen yang akibat kerja kerasnya dalam menyerap berbagai nilai akademik dalam proses pendidikan yang Tak mudah, Tamat siapa pun seorang dosen dapat disebut sebagai pemikir, itu Sekalian Tak lepas dari latar belakang sosiohistoris dari perkembangan pendidikan seorang dosen. Semuanya mesti dilihat secara tajam, Lalu dipandang secara jernih dan evaluatif oleh siapa pun.

Realitas politik yang dewasa ini kita hadapi, yang serba Tak menentu, menunjukkan bahwa kualitas diri seorang dosen sebagai pemikir dalam tataran akedemik mestinya juga menjadi awasan negara dan pemangku kepentingan secara serius.

Pertanyaan terbukanya ialah, entahkah dasar dari sebuah sistem yang kita bangun dalam dunia pendidikan terlalu terorientasi tentang hal-hal yang bersifat instrumental ketimbang yang substansial? Dan, entahkah sistem politik yang kita bangun belum kokoh dalam proses berdemokrasi di politik di Indonesia? Mari kita kaji selanjutnya Buat menemukan esensi yang Berfaedah demi bangsa dan negara.

 

Mungkin Anda Menyukai