SAYA besar dalam tradisi masyarakat muslim yang cenderung Tunggal. Tetapi, semenjak mengenal sejarah Tuhan-nya Karen Armstrong, Katolik yang disebut oleh Romo Magnis sebagai NU-nya Kristen di Indonesia menarik minat saya Kepada memutuskan memilih konsentrasi sejarah Kristen Demi program S-2. Apalagi semenjak Paus Fransiskus yang dengan Persona teduhnya menuju takhta sucinya pada 2013. Bukan karena jubah putihnya, bukan pula karena tongkat sucinya. Tetapi, karena caranya memimpin: tenang, sederhana, tapi juga tegas dan bermakna.
Eksis adegan dalam Sinema The Two Popes yang Lalu teringat–Fransiskus (Demi itu Lagi Kardinal Bergoglio) duduk di Vatikan, makan piza bareng Paus Benediktus. Melalui adegan makan piza yang diiringi nobar World Cup, Sinema itu memperlihatkan sisi kemanusiaan dua tokoh besar Gereja Katolik yang sering diposisikan secara ideologis berseberangan: konservatisme teologis Benediktus dan progresivisme pastoral Bergoglio.
Saya melihatnya bukan sekadar soal makanan. Itu semacam isyarat kecil, tapi kuat–bahwa di tengah perbedaan Metode pandang, Lagi Eksis ruang Kepada duduk Serempak, Kepada menyambung hati.
Gereja yang selama ini dipersepsikan formal, megah, dan penuh protokol, mendadak terasa hangat. Bukan karena dogma yang dibahas, melainkan karena manusiawinya, dua pemimpinnya. Seolah bilang ke kita Seluruh: perbedaan itu Dapat dirangkul, asal Eksis kemauan Kepada mendengar dan saling menghormati. Kadang, jalan menuju rekonsiliasi itu, ya, cukup lewat sepiring piza.
Sebatas yang saya Paham, Kagak mudah menjadi pemimpin religius di Era sekarang. Dunia sudah berubah, batas-batas Religi sering kali jadi Argumen konflik, dan wibawa keagamaan pun kerap diragukan. Tetapi, Fransiskus–dengan gayanya yang membumi–membuktikan bahwa Religi tetap Dapat jadi pelita di tengah gelap. Ia bukan hanya pemimpin Katolik. Ia Punya Seluruh yang percaya bahwa kasih, dialog, dan perdamaian Lagi mungkin diperjuangkan. Ia bukan hanya pemimpin yang bicara dari altar tinggi, tapi yang turun, mendengar, dan memeluk.
FRANSISKUS DAN PERSAUDARAAN YANG Lurus
Fransiskus bukan orang yang suka pidato panjang soal toleransi. Tetapi, lihat tindakannya: dua minggu setelah jadi Paus, ia mencuci kaki narapidana–di antaranya dua muslim dan dua Perempuan. Pada 2019, ia terbang ke Jazirah Arab, Berjumpa Imam Besar Al-Azhar, dan menandatangani Arsip Persaudaraan Orang. Saya ingat waktu itu, banyak media menyebut itu peristiwa langka. Tetapi, bagi saya, itu bukan sekadar simbol. Ini Fransiskus yang menunjukkan bahwa Religi bukan soal tembok, tapi jembatan.
Demi mengunjungi Indonesia pada 2024, Fransiskus juga tak kehilangan gaya. Ia memuji Slogan Bhinneka tunggal ika. Bahkan Eksis momen tak terlupakan Demi dia Berjumpa Imam Besar Masjid Istiqal: Paus mencium tangan Imam Besar Masjid Istiqlal dan dibalas dengan ciuman kening oleh Imam Besar Masjid Istiqlal kepada Paus. Adegan itu viral dan saya Serius itu bukan setting-an kamera. Itu ketulusan yang memancar dari dua pemuka Religi yang percaya bahwa perbedaan bukan Kepada ditakuti, tapi dirayakan. Dialog ala Fransiskus bukan basa-basi diplomatik. Ia mengajarkan bahwa iman sejati Malah diuji Demi kita Berjumpa yang berbeda.
Yang tak kalah mengesankan, selama di Jakarta, ia tak banyak bicara soal kesederhanaan. Tetapi, dari sikapnya kita belajar. Ia memilih naik Innova–mobil yang Biasa digunakan sebagai kendaraan travel di pelosok Sumatra, bukan limosin lapis baja. Mungkin buat Fransiskus kendaraan bukan simbol. Yang Krusial Tiba, dan Dapat menyapa. Seakan-akan ia Mau bilang: saya datang bukan Kepada memberikan tontonan kemewahan, melainkan Kepada menjalin perdamaian.
Dialog ala Fransiskus bukan basa-basi diplomatik. Ia mengajarkan bahwa iman sejati Malah diuji Demi kita Berjumpa yang berbeda. Yang paling saya suka dari gaya dialognya: ia Kagak buru-buru menasihati. Ia hadir dulu. Duduk dulu. Mendengar dulu. Lampau bicara Kalau sudah waktunya. Di Era yang Seluruh orang sibuk berteriak, Fransiskus mengajarkan kekuatan hadir dalam hening.
KETIKA Religi BICARA LEWAT NURANI
Fransiskus bukan politikus. Tetapi, ia Paham betul: Bunyi seorang Paus Dapat mengguncang dunia. Pada 2014, ia Hening-Hening menghubungi Obama dan Raul Castro. Hasilnya? AS dan Kuba yang dingin-dingin saja selama 50 tahun akhirnya berdamai. Lampau pada Kongres AS, ia berdiri dan bertanya: “Mengapa senjata Lalu dijual demi Doku yang berlumuran darah?” Pernyataan itu mengundang tepuk tangan, tapi juga Cerminan mendalam.
Saya lihat gaya Fransiskus itu bukan gaya berpolitik, melainkan gaya mengingatkan. Ia tak menggertak, tak menggurui. Tetapi, ucapannya punya daya: seperti senter kecil yang menyala di ruang gelap. Bahkan, Demi bicara soal konflik Ukraina, ia Kagak terjebak pada siapa salah siapa Pas. Ia Hanya bilang: beranilah angkat bendera putih–karena damai jauh lebih Krusial dari menang.
Yang menarik, dia bukan hanya bicara damai Demi Eksis kamera. Konsistensinya terasa, bahkan ketika ucapannya Kagak Terkenal. Ia Dapat saja memilih Terjamin–Hening saja soal perang atau genosida. Tetapi, Fransiskus Malah melangkah ke tengah, dan menyuarakan nurani. Hingga sebelum wafat, ia Lalu berkomunikasi dengan mereka yang terzalimi di Gaza. Ia mengajak kita Seluruh Kepada jujur pada hati sendiri: apa yang Pas, bukan apa yang nyaman.
INJIL YANG JALAN KAKI
Bagi Fransiskus, iman itu bukan hanya soal misa dan dogma. Ia percaya bahwa Tuhan Dapat hadir lewat tindakan sederhana: mencuci kaki, memeluk pengungsi, menyapa anak kecil. Ia juga pernah Mengucapkan: “Tuhan Kagak pernah lelah mengampuni. Kita saja yang sering lelah minta ampun.” Bahkan Demi lututnya sakit, ia Dapat bergurau: “Saya bukan Sepuh, hanya sedikit rusak di sana-sini.”
Gaya Fransiskus itu dekat dengan yang disebut para teolog sebagai teologi praksis. Itu bukan teologi yang tinggal di menara gading. Ini teologi yang mau turun ke jalan, duduk bareng rakyat kecil, dan menyeka air mata mereka. Beberapa menyebut pendekatannya mirip dengan teologi pembebasan. Mungkin Pas. Tetapi, saya rasa Fransiskus tak terlalu Acuh soal label. Ia lebih Acuh bagaimana Injil Dapat hadir di dapur orang miskin, di tenda pengungsi, atau bahkan di ruang tunggu rumah sakit.
Ia lebih suka mobil kecil Fiat daripada limosin mewah. Ia bawa sendiri tas kerjanya. Ia berseloroh bahwa para uskup harus ‘berbau seperti domba’–karena tugas mereka bukan hanya mengajar, tapi hadir di tengah umat. Gurauan-gurauan ringan itu bukan sekadar Kocak. Mereka ialah Metode Fransiskus menyampaikan teologi dalam bahasa rakyat. Ia tak bicara berat-berat, tapi setiap kata dan tindakannya menggugah.
Ensikliknya, Laudato Si’, yang membahas tentang lingkungan, juga jadi bukti. Fransiskus Kagak Mau Religi bicara surga saja, tapi juga bumi. Ia ajak Seluruh orang, lintas Religi, Kepada menjaga rumah Serempak: planet ini. Bahkan, dalam isunya soal iklim, ia Kagak Guna bahasa langit. Ia Guna bahasa sehari-hari: tentang sampah, soal sungai yang tercemar, dan udara yang makin panas. Itu yang membuatnya dekat: karena ia Kagak bicara dari atas mimbar, tapi dari tempat kita duduk Serempak.
Ia juga sering mengingatkan soal ‘budaya membuang’–budaya yang menyingkirkan yang lemah, yang tak berdaya, yang tak menguntungkan. Ia menyebut kapitalisme tak terkendali sebagai ‘tirani baru’. Tetapi, ia juga Paham: perubahan harus dilakukan pelan-pelan. Iman, baginya, bukan dogma yang dibekukan, tapi kompas yang Lalu bergerak. “Tuhan itu Tuhan kejutan,” ujarnya. Maka itu, tak heran kalau dalam setiap ucapannya, kita selalu diajak siap membuka diri. Fransiskus mengingatkan: moderasi bukan berarti kehilangan prinsip, melainkan Metode menjaga agar prinsip tak menjelma jadi tembok.
MENGANTAR PULANG SANG SAHABAT
Sekarang, Fransiskus sudah tiada. Dunia kehilangan sosok yang Dapat menatap mata siapa pun tanpa curiga, yang Dapat memimpin dengan senyum dan kesederhanaan. Saya Serius, banyak orang–termasuk yang tak pernah masuk gereja–ikut merasakan duka.
Tetapi, saya juga Serius: warisan Fransiskus tak akan habis. Ia tinggalkan kita dengan Teladan. Bahwa menjadi religius bukan soal menghakimi, melainkan memahami. Bukan soal menang debat, melainkan merangkul dengan empati. Bahkan di dunia yang makin bising ini, kehadirannya ialah ruang sunyi yang menyegarkan.
Mungkin, seperti dalam adegan dalam The Two Popes, kita Seluruh butuh duduk di taman. Makan piza, mengobrol jujur, dan saling mengingatkan bahwa di balik dogma dan doktrin, Eksis satu hal yang tak boleh hilang: Kasih. Mungkin itu yang akan selalu kita kenang dari Fransiskus–bahwa di tengah dunia yang sering lupa Metode mencinta, ia datang sebagai pengingat yang lembut, dan pergi sebagai sahabat yang dirindukan.
“Truth may be vital, but without love, it is unbearable,” kata Sinema The Two Popes. Fransiskus telah menunjukkan bahwa kebenaran iman, Kalau disampaikan dengan Kasih dan kerendahan hati, akan Tiba lebih jauh.
Warisan beliau ialah pelajaran bagi kita Seluruh bahwa dalam membangun dunia yang lebih Bagus, kita tak selalu butuh Bunyi keras. Kadang cukup satu senyum, satu pelukan, atau satu kehadiran yang sungguh-sungguh. Itulah gaya Fransiskus: sederhana, tapi dalam.

