Netralitas Kekuasaan dan Keadilan Berdemokrasi

Netralitas Kekuasaan dan Keadilan Berdemokrasi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PEMILU merupakan ajang konflik politik yang bersifat Formal dan konstitusional Kepada meraih dan mempertahankan kekuasaan. Pemilu yang adil akan menjadi sistem manajemen konflik yang efektif Kepada meredam gejolak, instabilitas, dan kekacauan sosial-politik akibat benturan antarkekuatan.

Sebaliknya, Apabila dijalankan dengan Langkah-Langkah yang Bukan adil, pemilu Pandai memantik terjadinya konflik Berkualitas di tingkat elite maupun akar rumput. Karena itu, dibutuhkan netralitas kekuasaan Kepada mewujudkan pemilu yang adil dan demokratis.

Menjelang Pemilu 2024, sejumlah pihak mengkhawatirkan potensi terjadinya ketidakadilan berdemokrasi akibat keberpihakan kekuasaan negara. Persepsi itu salah satunya dipicu sikap dan statement politik Presiden Joko Widodo, yang dinilai sering memberikan dukungan terbuka (political endorsement) kepada pihak-pihak tertentu Kepada maju menjadi kontestan Pilpres 2024. Presiden juga melakukan konsolidasi Berbarengan para pemimpin partai politik (parpol) di Istana Negara, yang notabene merupakan ‘simbol politik kebangsaan’ yang seyogianya menaungi Segala elemen kekuatan politik di Tanah Air.

Merespons kekhawatiran itu, Presiden Jokowi, Kamis (4/5), menegaskan dirinya Bukan cawe-cawe (ikut Adonan) dalam urusan Pilpres 2024. Tetapi, belakangan Presiden Jokowi, Senin (29/5), menyatakan dirinya akan ikut cawe-cawe dalam Pemilu 2024. Meskipun pernyataan cawe-cawe presiden yang mutakhir diklaim sebagai komitmen Kepada Bukan ikut berpolitik praktis, sejumlah kalangan Malah mempertanyakan komitmennya dalam menjaga netralitas kekuasaan negara itu sendiri.

Pertanyaan kritis publik itu semakin kuat, ketika Presiden Jokowi dinilai telah melangkah lebih terlalu jauh. Ia dengan intens mengorkestrasi dan mengonsolidasikan berbagai kekuatan parpol serta jaringan relawan, yang diarahkan Kepada menyukseskan Kekasih capres-cawapres tertentu.

Cek Artikel:  Anies Baswedan Suar Oposisi Masa Depan Indonesia

 

Esensi Restriksi

Secara Formal formal, individu presiden Mempunyai hak politik, Berkualitas Kepada memilih maupun Kepada dipilih kembali di periode kedua pemerintahan. Karena itu, Pasal 299 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjelaskan dengan tegas bahwa presiden dan wakil presiden Mempunyai hak Kepada melaksanakan kampanye.

Dalam konteks itu, kampanye bagi presiden Mempunyai pengertian berkampanye bagi dirinya sendiri Berkualitas sebagai calon presiden (capres) selanjutnya maupun berkampanye Kepada pihak lain, Berkualitas Kepada parpol, calon Member legislatif (caleg), maupun capres lain yang ia dukung.

Kendati demikian, UU Pemilu juga mengatur Embargo tegas bagi presiden dan wakil presiden, agar dalam menjalankan kampanye Bukan menggunakan berbagai fasilitas negara yang dibiayai APBN, kecuali fasilitas yang sifatnya melekat, seperti pengamanan, kesehatan, dan protokoler. Penjelasan itu tertuang secara Jernih di Pasal 304 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UU Pemilu, meskipun di dalam teknis pelaksanaannya sering kali Bukan diatur secara rinci dalam Peraturan Komisi Pemilihan Lazim (PKPU).

Memang, batasan-batasan itu hanya mengatur ruang gerak presiden dan wakil presiden pada masa kampanye. Tetapi demikian, esensi Restriksi itu menyiratkan pesan kuat agar presiden dan juga wakil presiden Berkualitas selaku pemimpin negara maupun pemimpin politik-pemerintahan, Cocok-Cocok Pandai membedakan antara domain privat dan domain publik.

Dalam konteks ini, Presiden harus Pandai memilah secara arif dan bijaksana, mana agenda kerja Berkualitas yang merujuk pada kepentingan kolektif pemerintahan, kebangsaan, maupun kenegaraan (public domain), dan mana agenda kerja yang ditujukan Kepada kepentingan politik pribadi, Golongan, golongan, dan partainya (private domain).

Cek Artikel:  Peningkatan Program Cek Kesehatan Gratis

Ketika Presiden tengah bergerak dalam domain publik, kekuasaan negara dan fasilitas yang menyertainya Pandai dimanfatkan secara optimal, dan vice versa. Ketika Presiden sedang bergerak dalam ranah domain privat, seyogianya Bukan menggunakan kekuasaan negara, termasuk fasilitas dan logistik yang dibiayai negara.

Bukan sedikit pihak di lingkaran kekuasaan yang Pandai menjustifikasi dengan mengeklaim bahwa kerja-kerja politik privat yang presiden jalankan juga bertalian dengan domain kepentingan Lazim dan kenegaraan. Karena itu, dibutuhkan kesadaran moral dan rumusan moral-etik yang tinggi Kepada mengantisipasi ‘ruang Serbuk-Serbuk’ yang sering menjadi ruang perdebatan akibat pencampuradukan domain privat dan domain publik tersebut. Karena itu, orientasi tugas politik kebangsaan yang diemban presiden harus senantiasa mengedepankan Intelek budi dan hati nurani, Kepada memastikan kepentingan Lazim berada di atas kepentingan pribadi dan golongan.

 

Pengaruh

Dalam konteks Pemilu 2024, dukungan Presiden Jokowi terhadap capres-cawapres tertentu tentu Mempunyai bobot politik yang patut diperhitungkan. Selain karena tingkat kepuasan publik (approval rate) pemerintah yang relatif terjaga, dukungan politik Presiden Jokowi juga berpeluang disalahtafsirkan dan disalahgunakan pihak-pihak tertentu Kepada memobilisasi instrumen dan sumber daya negara yang Sebaiknya independen dan Independen.

Apabila kekuasaan negara Bukan Independen, politisasi lembaga-lembaga negara, seperti lembaga penegak hukum, jaringan militer, lembaga intelijen, lembaga penyelenggara pemilu, hingga aparatur sipil negara Pandai disalahgunakan Kepada menjadi ‘alat pemenangan politik’. Bukan netralnya kekuasaan negara Pandai memfasilitasi terjadinya konflik kepentingan dan juga penyalahgunaan kekuasaan dalam skala besar.

Cek Artikel:  Perawat Indonesia Merawat Dunia

Belajar dari riset Alyena Batura (2022) di sejumlah pengalaman demokrasi mutakhir di Aljazair, Belarusia, Serbia, Tunisia, Kenya, Venezuela, dan Zimbabwe, ketika netralitas kekuasaan negara dipertanyakan, hal itu Pandai memantik persepsi adanya pemilu yang Bukan adil (unfair election). Situasi yang selanjutnya memicu ketidakpercayaan politik publik (political distrust), membuka potensi chaos, serta melemahkan legitimasi kekuasaan pemerintahan yang terpilih.

Kepada menghindari itu, Krusial bagi kekuasaan negara Kepada senantiasa berada di tengah. Hak politik presiden seyogianya Pandai tetap dijalankan secara terukur, di atas basis kesadaran bahwa presiden juga berkewajiban menjaga kepercayaan publik pada hadirnya kekuasaan negara yang Independen.

Sebagai pemimpin negara, Presiden diharapkan Pandai menjadi orangtua yang adil dan Pandai mengayomi Segala anak bangsa yang tengah berkompetisi dan berikhtiar Kepada ikut melanjutkan pembangunan bangsa. Netralitas kekuasan negara merupakan salah satu kunci bagi hadirnya proses demokrasi yang kompetitif, berintegritas, dan adil. Itulah amanah konstitusi yang tertuang dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945.

Huntington (1991) dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century mengingatkan, Apabila prinsip dasar keadilan berdemokrasi Bukan dirawat dengan Berkualitas, proses pemilu Malah berpeluang mengonsolidasikan prasangka dan ketidakpercayaan politik publik, yang notabene menjadi akar pembelahan, konflik, dan perpecahan di tengah masyarakat. Menuju Pemilu 2024, rakyat membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan pemimpin Kepada menjaga netralitas kekuasaan negara.

Mungkin Anda Menyukai