Muhammadiyah, Politik Nilai, dan Politik Kekuasaan

Muhammadiyah, Politik Nilai, dan Politik Kekuasaan
(Dok. Pribadi)

DI tengah hiruk-pikuk kontestasi dan kandidasi jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, nama Muhadjir Effendy muncul ke permukaan sebagai salah satu nama yang dipertimbangkan sebagai calon wakil presiden di antara tiga calon presiden yang Dapat dikatakan definitif, Adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

Nama Muhadjir Effendy menyeruak ke permukaan meramaikan nama-nama yang lebih sering disebut sebagai bakal calon wakil presiden, antara lain, Agus Harimurti Yudhoyono, Erick Tohir, Muhaimin Iskandar, M Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Sandiaga Uno, Airlangga, dan Mahfud MD.

Kalangan internal Muhammadiyah merespons positif munculnya nama Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Insan dan Kebudayaan (Menko PMK) sebagai bakal calon wakil presiden. Menurut Haidar Nashir, Ketua Lazim PP Muhammadiyah, sebagaimana dikutip oleh beberapa media mengatakan bahwa masuknya nama Muhadjir Effendy menghadirkan pilihan sosok yang lebih variatif. Itu mendorong kemunculan figur-figur lain sebagai calon terbaik pemimpin bangsa. Sekretaris Lazim PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, berpandangan serupa. Katanya, dengan masuknya Muhadjir Effendy dapat dinilai sebagai respons dari partai politik atas usulan Muhammadiyah agar figur yang bakal bertanding di pilpres bukan orang yang itu-itu saja.

Kagak hanya kalangan pimpinan puncak, level menengah, bahkan hingga level akar rumput menyambut positif munculnya nama Muhadjir Effendy, yang juga salah satu ketua di jajaran PP Muhammadiyah. Muhadjir Effendy memenuhi kapabilitas pada posisi tersebut bila melacak rekam jejak sejak menjadi aktivis di beberapa organisasi pelajar dan mahasiswa; keaktifannya di Muhammadiyah hingga ke level puncak. Pengalaman akademiknya di Universitas Negeri Malang (UM) termasuk ‘sentuhan Midas’ (the touch Midas) terhadap Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang mengantarkannya menjadi menteri.

Tetapi, dalam politik Kagak cukup bila hanya mengandalkan kapabilitas. Yang paling krusial ialah akseptabilitas yang memerlukan modal dalam pengertian seluas-luasnya, dan dukungan dari berbagai pihak Bagus politik maupun nonpolitik. Di luar masalah krusial tersebut menyeruaknya nama Muhadjir Effendy menjadi suatu fenomena yang menarik di Muhammadiyah Demi ditelaah lebih lanjut tentang area artikulasi politik Muhammadiyah dalam konteks politik makro, lebih-lebih jelang perhelatan politik akbar pada 2024 nanti.

MI/Seno

 

Muhammadiyah dan politik

Terkait Rekanan dengan politik, Muhammadiyah perlu dipahami dari dua perspektif. Pertama, Muhammadiyah sebagai organisasi. Kedua, Muhammadiyah sebagai fenomena perorangan. Sebagai organisasi, Muhammadiyah bukan perkumpulan politik. Sedari awal pendiriannya, Muhammadiyah mendedikasikan dirinya Demi mewujudkan masyarakat yang berdaya dan sejahtera melalui pendirian berbagai institusi sosial seperti pendidikan, kesehatan, panti asuhan yang Dapat diakses oleh masyarakat luas, alih-alih hanya kalangan tertentu.

Kendati bukan perkumpulan politik, Muhammadiyah Kagak alergi dan anti terhadap politik. Terbukti, Muhammadiyah Berbarengan NU serta ormas Islam arus Istimewa lainnya menjadi penyokong Masyumi yang berdiri pada 1945. Keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi merupakan aktualisasi politik akomodatif Muhammadiyah setelah beberapa tahun sebelumnya, yakni pada 1918 Muhammadiyah nyaris terbawa oleh arus logika Agus Salim yang menginginkan Muhammadiyah sebagai organisasi politik.

Cek Artikel:  Anies Baswedan Suar Oposisi Masa Depan Indonesia

Agus Salim yang memang dikenal Lihai dalam agitasi dan retorika, pada akhirnya Dapat dipatahkan oleh logika keagamaan Ahmad Dahlan sehingga Muhammadiyah tetap dalam khitahnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang Rupanya lebih menjamin kebertahanan Muhammadiyah hingga Bisa merambah usia abad kedua.

Muhammadiyah kian Kagak terbebani dengan urusan politik praktis setelah melepaskan afiliasi politik formal dengan Masyumi pada 1959 sebagai implikasi dari Khittah Palembang 1956 yang dihasilkan oleh muktamar Muhammadiyah di Palembang.

Pergumulan panjang serta melelahkan memberikan pelajaran berharga bagi Muhammadiyah Demi lebih bijak ketika menghadapi tarikan politik praktis pada fase-fase berikutnya, seperti ketika Amien Rais mendirikan PAN pada 1998. Amien Rais yang semula sebagai Ketua Lazim PP Muhammadiyah berdasarkan hasil muktamar di Aceh pada 1995, digantikan oleh Ahmad Syafii Maarif. Setelahnya, Kagak Terdapat kaitan secara formal antara Muhammadiyah dengan PAN kendati sebagian besar Kaum Muhammadiyah memberikan sokongan kepada PAN, terutama di awal-awal pendiriannya karena Argumen kultural dan moral kepada Amien Rais.

Afiliasi Kaum Muhammadiyah sebenarnya mencair, Kagak hanya kepada PAN, tetapi juga kepada partai-partai lain, bahkan yang Kagak tergolong sebagai partai Islam, suatu model afiliasi kosmopolit yang mengingatkan pada Ahmad Dahlan. Dengan begitu, menjadi Terang gambaran khitah Muhammadiyah terhadap politik.

William Shepard, seperti dikutip Haidar Nashir pada pengantar dalam Kitab Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah, menegaskan Kepribadian Muhammadiyah sebagai gerakan Islamic-Modernism yang lebih Menurunkan perhatian pada keterwujudan Islamic society, alih-alih Islamic state, yang Pusat perhatian gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, serta Kagak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya menyebar dan tersebar di berbagai partai politik.

Dengan Metode begitu, Muhammadiyah Mempunyai banyak kesempatan Demi memperkuat amal usaha yang telah dimilikinya. Bahkan, Muhammadiyah terlihat mulai merambah ke bidang yang dikesankan bukan inti amal usaha Muhammadiyah seperti ditunjukkan dengan diluncurkan hotel setara bintang empat dengan nama Bunyi Muhammadiyah (SM) Tower baru-baru ini.

Kemampuan Muhammadiyah merambah berbagai jenis amal usaha, pada gilirannya memperluas pula basis sosial Muhammadiyah, bahkan hingga pada kalangan yang disebut Mempunyai Metode berfikir atau state of mind Muhammadiyah kendati Kagak dirunjukkan dengan kepemilikan Arsip Formal sebagai Member Muhammadiyah. Mereka Dapat disebut pula sebagai simpatisan Muhammadiyah.

Seluruh itu, Lewat menjadi ‘kekuatan politik’ bagi Muhammadiyah dalam melakoni peran signifikan kendati krusial, yakni sebagai representasi masyarakat madani atau civil society. Sebagai salah satu unsur masyarakat madani, Muhammadiyah memosisikan dirinya sebagai Kenalan kritis bagi pemerintah. Muhammadiyah akan menyampaikan kritik kepada pemerintah dan advokasi terhadap masyarakat bila Terdapat kebijakan yang Kagak sejalan kepentingan publik.

Cek Artikel:  Ketahanan Kesehatan Dunia

Muhammadiyah menyadari, peran politik secara demikian perlu dukungan secara berlapis dari Kaum Muhammadiyah. Karena itu, Muhammadiyah memberi ruang artikulasi dan partisipasi kepada Kaum Muhammadiyah terlibat dalam politik praktis dengan Metode menceburkan dirinya dalam partai politik tertentu. Tetapi, saluran partai dipandang belum cukup. Muhammadiyah juga mendorong kepada para kadernya memanfatkan saluran mobilitas sosial agar Dapat berperan di lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Ungkapan sederhananya dan mudah dipahami, bagi Muhammadiyah, kadernya dipersilakan memasuki ‘politik kekuasaan’ karena sebagaimana jamaknya Insan, di antara mereka (kader Muhammadiyah) juga Mempunyai naluri politik yang melekat pada setiap political animal atau homo politicus Kalau meminjam ungkapan Aristoteles.

Yang terpenting, ditegaskan oleh Haidar Nashir pada bagian Epilog Kitab yang ditulis intelektual dan akademisi muda Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi, bertajuk Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis (2020), aktivitas politik mereka selalu terbingkai oleh politik nilai, atau politik kelas tinggi (high politics) seperti ditulis Amien Rais pada 1987 di Panji Masyarakat. Esensi politik nilai ialah politik yang dibingkai oleh nilai-nilai Istimewa seperti amanah, pertanggungjawaban, keadilan demi terwujudnya kebahagiaan autentik Kaum.

Politik nilai berlawanan dengan politik kualitas rendah (low politics) yang lebih mengajar kekuasaan (struggle for power) semata kendati diperoleh dengan menghalalkan segala Metode. Pada praktiknya, Kagak mudah dan Niscaya menghadapi kerumitan Demi mewujudkan politik nilai dalam realitas politik sehari-hari. Karena itu, Kagak jarang di antara mereka yang berada di ruang kekuasaan Kagak Dapat menghindari praktik culas seperti oligarki dan KKN kendati pada mulanya akrab dengan berbagai simbol keagamaan.

 

Jelang 2024

Politik elektoral, politik kekuasaan, atau apa pun namanya, adalah realitas politik yang Kagak Dapat dihindari oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah harus pandai dan bijak dalam memainkan peran politik di dua level sekaligus: institusional (Muhammadiyah sebagai organisasi) dan personal (Muhammadiyah sebagai entitas dari berbagai Member Muhammadiyah). Sebagai organisasi, Muhammadiyah menegaskan khitahnya, di samping Khitah Palembang yang dirumuskan pada 1956, juga khitah berikutnya Adalah Khitah Ponorogo (1969), Khitah Ujung Pandang (1971), Khitah Surabaya (1978), dan Khitah Denpasar (2002).

Tentu Terdapat konteks yang melatarbelakangi pada tiap-tiap khitah sehingga terdapat keunikan dan penekanan pada aspek tertentu. Tetapi demikian, terdapat semangat moral yang sama, yakni Muhammadiyah secara formal keorganisasian tetap Independen dan menjaga jarak dengan berbagai institusi kepartaian, tetapi tetap aktif melakoni peran sebagai civil society yang kritis terhadap lebijakan pemerintah.

Sementara itu, terhadap Kaum atau anggotanya, Muhammadiyah memberikan keleluasaan berafiliasi kepada institusi kepartaian tertentu, serta ikut membuka jalan bagi mobilitas sosial menuju politik kekuasaan. Posisi Muhammadiyah yang demikian disebut netralitas aktif oleh Haidar Nashir. Jelang perhelatan akbar pada 2024, Muhammadiyah Kagak boleh gagap atau malu-malu menjalankan peran di bidang politik.

Cek Artikel:  Vonis Sambo dan Keadilan Masyarakat

Apa saja yang perlu dilakukan Muhammadiyah? Pertama, Muhammadiyah harus lebih aktif menyuarakan keadaban politik atau politik berkeadaban dengan memanfatkan berbagai media dan Perhimpunan termasuk platform digital. Aktivitas ini, Dapat disebut juga dengan ‘syiar politik berkeadaban’.

Kita perlu belajar dari perpolitikan pada lima tahun sebelumnya (2019), yang kendati pemilu berhasil dilaksanakan, tetapi baru sebatas demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial. Praktik politik kita Tetap diwarnai dengan politik Dana dan instrumentasi terhadap unsur-unsur primordial yang berakibat pada terjadinya pembelahan masyarakat. Dampaknya Tetap terasa hingga Begitu ini, bahkan dikhawatirkan menguat kembali.

Muhammadiyah Dapat memprioritaskan warganya sebagai sasaran syiar politik berkeadaban. Luarannya (output) adalah Kaum Muhammadiyah yang di samping Bagus atau beradab, juga cerdas sebagai Kaum negara (good and smart citizen). Kaum Muhammadiyah Kagak mudah terprovokasi dan terbelah dalam menghadap banjir bahkan tsunami informasi terkait politik, terutama di medsos yang potensial menggiring pembacanya kepada post-truth dan pembelahan. Jelang perhelatan akbar 2024, Muhammadiyah perlu mengintensifkan Dialog Ideopolitor (Ideologi, Politik, dan Organisasi) pada Seluruh level dari atas hingga ke Rendah agar Kaum Muhammadiyah Mempunyai keluasan pengetahuan dan kedewasaan perilaku politik.

Kedua, bagi Kaum Muhammadiyah yang berafiliasi pada institusi kepartaian tertentu, dan memasuki saluran mobilitas sosial politik kekuasaan, harus dipastikan terbingkai oleh politik nilai. Karena itu Krusial bagi Muhammadiyah memperkuat dan menyegarkan komitmen mereka kepada politik nilai.

Politisi dan pejabat publik yang berakar dan berasal dari Muhammadiyah harus menampilkan diri sebagai sosok yang Mempunyai Kepribadian Muhammadiyah. Kepribadian Muhammadiyah, dirumuskan pada 1962 sewaktu Muhammadiyah di Rendah kepemimpinan HM Yunus Anis (1959-1962). Muhammadiyah Menyantap urgen merumuskan Kepribadian Muhammadiyah karena setelah pembubaran Masyumi pada 1960 dikhawatirkan Muhammadiyah terkontaminasi oleh wabah politik praktis, yang dibawa oleh mantan aktivis Masyumi.

Pada Kepribadian Muhammadiyah terdapat sepuluh pernyataan yang sarat nilai, yang sekaligus mempertegas Kepribadian Muhammadiyah yang Kalau diwujudkan dalam politik ialah politik yang ditujukan kepada terciptanya kesejahteraan, persaudaraan, keadilan, kerja sama dengan pemerintah, tetapi tetap bersikap kritis, kepastian hukum, serta menjamin keberlanjutan NKRI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.

Yang ketiga, the last but not least, dalam konteks kontestasi selalu Terdapat pihak yang pada akhirnya mendapatkan dukungan mayoritas, sebaliknya, Terdapat pihak yang harus puas dengan dukungan minoritas. Terkadang muncul ketegangan, yang bahkan berkembang ke arah konflik yang dibumbui kekerasan.

Siapa pun dan Golongan mana pun, yang nantinya menduduki posisi mayoritas atau sebaliknya pada perhelatan politik tahun 2024 harus Dapat menjamin Serasi sosial. Dalam konteks ini, syiar politik berkeadaban Krusial didengungkan secara Lanjut-menerus oleh Muhammadiyah.

Mungkin Anda Menyukai