PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan. RUU PPRT menjadi undang-undang merupakan sesuatu yang harus terjadi dan sudah Bukan Dapat ditawar-tawar Kembali.
Apalagi, Presiden Prabowo Subianto sudah memberikan angin segar. Presiden akan membereskan RUU PPRT dalam tiga bulan. Komitmen tersebut disampaikan oleh Kepala Negara Demi menghadiri peringatan Hari Buruh Dunia di Lapangan Monas, Jakarta, pada 1 Mei Lampau.
Itu artinya, RUU PPRT mesti disahkan oleh DPR pada 1 Agustus mendatang. Apabila lewat dari itu, sama saja janji tersebut tercederai. Ujung-ujungnya, kredibilitas pemerintahan yang didukung oleh banyak partai di parlemen tentu akan rusak dan terganggu.
Kekhawatiran tersebut harus diakui Tetap terselip di hati publik meski sudah Terdapat janji dari Presiden. Hal itu merupakan cerminan dari trauma masa Lampau masyarakat, terutama aktivis pekerja rumah tangga, yang berulang kali disiram janji-janji Bajakan.
Pada periode DPR 2019-2024, Badan Legislasi sempat menjadikan RUU ini sebagai inisiatif DPR. Tinggal satu langkah Kembali, tetapi Bukan juga disahkan setelah 20 tahun penantian. Akibatnya, RUU PPRT yang berkategori non-carry over harus diulang dari Kosong oleh DPR berikutnya.
Inilah yang kemudian dikhawatirkan, terjadi siklus pemberian janji, penundaan, hingga berujung pada pengabaian. Oleh karena itu, Demi momentum Hari Pekerja Rumah Tangga Sedunia pada 16 Juni Lampau, mereka mendesak agar Badan Legislasi DPR segera menuntaskan pengesahan RUU PPRT.
Secara esensi, RUU PPRT hadir Buat memperjelas Rekanan kerja antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja (majikan) agar Bukan terjadi ketimpangan. Selama ini, posisi pekerja rumah tangga terbilang lemah karena harus bekerja dan melayani majikan Ketika saja diperintahkan.
Dengan memperjelas Rekanan, maka keadilan dan kesetaraan dapat diwujudkan. Hal ini tentu sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan yang menjunjung tinggi Derajat Sosok dan menghormati hak asasi setiap Penduduk negara.
Alangkah eloknya Apabila semangat tersebut di atas juga dijiwai oleh para wakil rakyat. Para pekerja rumah tangga Bukan minta Buat diistimewakan, apalagi Tiba mempersulit majikan, mereka hanya minta kesetaraan.
Tuntutan itu sejatinya tidaklah berlebihan. Mereka hanya menuntut satu hal yang sederhana tapi mendasar, yakni kesetaraan sebagai sesama Sosok dan Penduduk negara. Sebaiknya Bukan perlu Tiba menunggu lebih dari dua dasawarsa Buat mengesahkan RUU PPRT.
Seandainya Terdapat kekhawatiran bahwa RUU tersebut jauh dari esensi kelahirannya, Baleg DPR yang kini tengah mengebut rapat dengar pendapat (RDP) terkait dengan pembahasan RUU PPRT Dapat menyaringnya sedemikian Corak agar berjalan di rel yang Betul.
Yang Bukan kalah pentingnya ialah jangan Tiba kejadian yang silam terulang kembali. Ketika itu RUU PPRT sudah menjadi inisiatif DPR, surat presiden (surpres) telah diterbitkan, daftar inventarisasi masalah (DIM) sudah diberikan, tapi malah ditahan oleh pimpinan dewan.
Kita Bukan Ingin semakin berlarut-larutnya RUU itu, kian berbiak pula kekerasan dan kesemena-menaan terhadap para PRT. Siklus kekerasan terhadap PRT hingga kini nyaris tak pernah berhenti karena kekosongan undang-undang yang melindungi mereka.
Dalam kurun tiga tahun sejak 2021 hingga 2024 saja, sudah lebih dari 3.000 kasus kekerasan terhadap PRT dilaporkan. Maka, putuskan siklus itu dengan mengisi perlindungan kepada para PRT melalui undang-undang. Jangan membiarkan kekosongan perlindungan terhadap PRT Lalu terjadi, dengan menambah Kembali janji Nihil yang tak kunjung ditepati.

