Menjadi Guru Punk

Menjadi Guru Punk
(Dok. Pribadi)

AKHIR-AKHIR ini kita disuguhi drama menarik terkait dengan penarikan Tembang yang menyinggung institusi hukum di negeri ini. Tembang tersebut ditulis dan dinyanyikan duo seniman yang salah satunya berprofesi sebagai guru. Menarik Demi mengamati respons yang beraneka ragam dari berbagai pihak–dari sekolah tempat guru/seniman bekerja, institusi hukum, organisasi guru, Kemendikdasmen, hingga masyarakat luas.

Respons yang muncul meliputi kecaman, pemecatan, pembelaan, hingga tuntutan agar guru/seniman diberikan perlindungan. Yang tak kalah menarik ialah Argumen pemecatan tersebut: gaya berpakaian guru ketika tampil sebagai seniman dianggap melanggar kode etik sekolahnya.

Demi menyalurkan hobinya sebagai seniman yang membawakan Tembang bergenre punk dengan lirik kritis, guru tersebut menyembunyikan identitasnya dengan mengenakan Pakaian Tertentu dan topeng Demi tampil pada waktu luangnya. Langkah Pandai itu diambil karena menggabungkan dua peran yang sangat berbeda dianggap sulit. Tetapi–sayangnya–strategi tersebut Bukan Pandai melindungi kariernya sebagai guru meskipun identitasnya sebagai seniman telah diakui oleh masyarakat luas.

Pertanyaan yang muncul ialah apakah guru harus menyembunyikan jati diri mereka di luar sekolah dan seberapa jauh profesi mendikte kehidupan pribadi mereka. Apakah guru hanya direduksi pada atribut tertentu sesuai dengan narasi dominan? Mungkin narasi Lamban yang menggambarkan guru sebagai sosok yang selalu dituntut secara berlebihan–dengan gaji kecil, sering terlambat, dan status yang Bukan Niscaya–sudah Bukan sesuai dengan realitas Demi ini sehingga perlu dipikirkan ulang seperti apa sosok guru yang sebenarnya kita butuhkan.

Kehadiran guru/seniman itu, menurut saya, memberikan angin segar dan Rona baru bagi narasi guru di Indonesia. Apalagi pilihan Jenis musik yang dimainkannya merupakan bagian dari gerakan Dunia yang identik dengan pemberontakan dan perlawanan terhadap budaya dominan. Hal itu Dapat jadi berdasarkan munculnya gerakan tersebut di Inggris. Punk konon ialah singkatan dari public united not kingdom pada 1970-an yang kemudian tersebar ke seluruh dunia. Jangan-jangan, menilik dari narasi mengenai profesi guru di atas, punk Malah diperlukan Demi melawan narasi dominan tersebut.

Cek Artikel:  KPK Jangan Tergagap Tangani Kaesang Pangarep Nebeng Jet Pribadi

 

PUNK SEBAGAI PRAKTIK SOSIAL

Dunn (2017) menggambarkan punk sebagai sekumpulan praktik sosial yang muncul dari imajinasi mengenai Metode baru Demi menjadi (new ways of being) sebagai Aktualisasi diri dari kemuakan mereka akan budaya arus Penting dan produk-produknya. Lebih jauh Kembali, Dunn menekankan proses itu sebagai dua arah: menolak status quo dan menerapkan etos do-it-yourself (2017). Tetapi, bagaimana pendekatan punk dapat digunakan Demi merumuskan narasi baru mengenai profesi guru?

Dalam tulisannya mengenai Dampak dari akuntabilitas berlebihan terhadap pendidikan guru, Vass (2023) menggambarkan bagaimana punk dapat digunakan sebagai praktik sosial kritis yang mempertanyakan budaya dominan dalam pendidikan guru, seperti mempertanyakan dan melakukan kritik terhadap kebijakan pendidikan yang mereproduksi ketimpangan sosial dan memperlebar kesenjangan.

Guru di Indonesia perlu Menyaksikan kembali posisi mereka sebagai bagian dari reproduksi tersebut. Misalnya, guru dapat menuntut agar pemerintah daerah dan pusat merumuskan pola rekrutmen yang adil, transparan, dan berimbang disertai pola dukungan yang sesuai dengan tantangan yang Berbagai Jenis di daerah.

Cek Artikel:  Arus Balik Kolonialisme Hak Penguasaan Tanah di IKN

Kesetaraan dalam rekrutmen dan distribusi guru dapat memastikan ketersediaan guru berkualitas di daerah terpencil dan daerah perkotaan yang mempersempit kesenjangan. Tentu Terdapat banyak Misalnya lain karena memang–sayangnya–sistem pendidikan kita Lagi jauh dari kata adil, setara, dan inklusif.

Dalam konteks ini, guru juga harus melakukan Cerminan diri dengan menerapkan empat nilai dasar dari gerakan punk sebagai Panduan awal. Menurut Way (2021), nilai-nilai tersebut meliputi pendekatan do-it-yourself, perlawanan, kesadaran politik, dan praktik komunitas.

Sebagai Misalnya, guru harus berani melakukan penyesuaian yang bertanggung jawab dalam metode pengajaran mereka agar dapat memenuhi kebutuhan siswa. Bila terdapat strategi yang berorientasi pada kehidupan perkotaan, misalnya kegiatan mengunjungi pusat kota sebagaimana tercantum dalam Naskah teks, guru harus mencari Metode Demi mengadaptasi atau mengganti kegiatan tersebut dengan alternatif yang sesuai dalam konteks pedesaan, terutama di lingkungan yang mungkin Bukan Mempunyai fasilitas serupa dan menghindari nilai-nilai konsumerisme.

Pada Demi yang sama, guru harus mengkritisi kecenderungan penulis Naskah dan bahan ajar yang sering mengabaikan keberagaman realitas hidup anak-anak Indonesia. Mereka dapat menyalurkan opini melalui media massa, Naskah, atau outlet lainnya terkait dengan isu tersebut. Guru-guru dengan keprihatinan yang sama Dapat Serempak-sama mengevaluasi, menelaah ulang, dan memodifikasi bahan ajar yang Terdapat. Menjadi guru yang berlandaskan nilai-nilai punk berarti Mempunyai kesadaran, melawan dengan kecerdasan, bertindak secara sistematis, serta membangun komunitas yang merumuskan praktik pedagogis dan mengubah pengalaman belajar siswa di sekolah.

Cek Artikel:  Menggugat Sistem Informasi KPU

 

Pengajaran PUNK

Berdasarkan penjelasan di atas, budaya punk Bukan selalu identik dengan penampilan yang mencolok, tato, atau musik yang bising. Walaupun unsur-unsur itu memang mencerminkan Aktualisasi diri khas dari gerakan punk yang bersifat disruptif, inti utamanya ialah memetik pelajaran dari perspektif dan kepekaan yang melekat pada punk.

Guru perlu menerapkan sikap kritis dalam Rekanan sehari-hari dengan siswa, rekan sejawat, dan komunitas agar mereka Bukan ikut memperpetuasi ketidakadilan, kesenjangan, dan ketidaksetaraan. Dalam konteks ini, Smith dkk (2017) menyatakan bahwa punk Mempunyai kemiripan dengan praktik Pengajaran yang Bagus yant mana keduanya bersifat Luwes dan responsif.

Dalam hal ini, Pengajaran punk juga Mempunyai akar yang sama dengan Kategori pendidikan kritis. Tetapi, berbeda dari pendidikan kritis, Kahn-Egan (1998) lebih jauh Kembali menggambarkan Pengajaran punk sebagai pendekatan yang mendorong siswa Demi melakukan perlawanan karena berdiri Tenang ialah sia-sia, demikian juga pemberontakan yang tanpa Arti, sehingga pembelajaran seyogianya mendorong siswa Demi mempertanyakan otoritas melalui pola pikir kritis dan perdebatan.

Pada Demi bersamaan, dengan menggunakan punk Pengajaran, guru perlu melakukan Cerminan atas kecenderungan praktik pengajaran mereka yang mungkin menghilangkan individualitas siswa dan hanya menjadikan mereka bagian tak bernama dan tak berwajah dalam sebuah institusi.

Harapannya, Bagus guru maupun siswa dapat hadir sepenuh jiwa, dan diterima sepenuh hati dengan keseluruhan identitas mereka di sekolah-sekolah kita tanpa perlu bersembunyi di balik atribut topeng dan baju yang berbeda.

 

Mungkin Anda Menyukai