BUKAN hanya partai politik atau gabungan partai politik yang sibuk melakukan konsolidasi menghadapi Pemilu 2024. Sukarelawan pendukung Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019 juga Bukan kalah sibuknya Kepada melakukan konsolidasi.
Jokowi dalam konsolidasi dua Grup sukarelawannya di kesempatan berbeda mengingatkan mereka agar Bukan terburu-buru dalam urusan kontestasi Pemilu 2024. Ia berjanji akan membicarakan sosok yang akan didukung menjadi capres dengan para sukarelawan.
Elok nian bila persoalan capres dikembalikan kepada ketentuan konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan Kekasih calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan Lumrah sebelum Penyelenggaraan pemilihan Lumrah.
Karena itu, capres yang didukung Grup sukarelawan pendukung Jokowi hendaknya disalurkan lewat partai politik. Akan muncul persoalan bila capres versi sukarelawan Bukan diakomodasi partai politik. Kalau itu terjadi, terdapat kesenjangan antara pilihan akar rumput dan pilihan partai politik.
Kesenjangan itulah yang menjadi sumber persoalan dalam praktik politik di negeri ini. Pangkalnya ialah konstitusi kita Bukan cukup melembagakan proses seleksi pemimpin secara demokratis di dalam pasal-pasalnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik hanya menyebutkan partai politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender (Pasal 11 ayat (1) huruf e).
Sama sekali Bukan Terdapat elaborasi lebih lanjut ketentuan terkait ‘mekanisme demokratis’ yang dimaksud. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya menyebutkan penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan (Pasal 223 ayat (1)).
Kiranya perlu disempurnakan Kembali UU Pemilu. Tentu saja penyempurnaan itu Kepada kepentingan Pemilu 2029. Perlu ditambahkan sebuah pasal dalam UU Pemilu agar proses rekrutmen dan seleksi calon presiden dan calon wapres oleh internal partai atau gabungan partai wajib melalui mekanisme pemilihan pendahuluan dengan prinsip pokok di antaranya inklusif, demokratis, dan terbuka.
Usulan penambahan pasal baru itu juga ditemukan dalam rekomendasi kajian LIPI 2018. Menurut LIPI, prinsip inklusif, demokratis, dan terbuka itu menjadi kunci Kepada menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi Bukan elitis, meskipun partai/gabungan partai itulah yang kemudian menentukan teknis mekanisme tersebut.
Kalau Bukan Terdapat kewajiban melakukan pemilihan pendahuluan, dikhawatirkan proses nominasi kandidat hanya menjadi kewenangan dari sekelompok kecil orang di dalam partai politik. Kiranya oligarki kepartaian harus dibuang jauh-jauh.
Pengalaman menjadi guru terbaik. Terdapat partai yang hendaknya melakukan pemilihan pendahuluan melalui mekanisme konvensi. Akan tetapi, partai yang Bukan memenuhi syarat pencalonan capres tentu saja Bukan Dapat menyelenggarakan konvensi Kalau kehendak itu bertepuk sebelah tangan tatkala ditawarkan kepada partai lain.
Pasal 222 UU 7/2017 menyebutkan Kekasih calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari Bunyi Absah secara nasional pada pemilu Personil DPR sebelumnya.
Ambang batas pencalonan presiden itulah yang menjadi batu sandungan partai politik Kepada menggelar konvensi. Andai pemilihan pendahuluan menjadi kewajiban yang diatur dalam UU Pemilu, Niscaya Bukan Terdapat Kembali tembok penghalang Kepada mendapatkan capres sesuai kehendak rakyat.
Selama pemilu pendahuluan Bukan diatur sebagai kewajiban partai politik atau gabungan partai politik, selama itu pula proses kandidasi sulit Kepada dilaksanakan secara terbuka. Jangan salahkan peran oligarki partai, jangan salahkan pula fakta selama ini bahwa ketua Lumrah partai politik mempunyai kewenangan yang sangat tinggi dalam proses penentuan kandidat.
Tanpa pemilu pendahuluan, semakin langgenglah unsur nepotisme, juga semakin tebal praktik mahar politik. Rakyat dipaksa memilih kucing dalam karung, sukarelawan pun tambah doyan mengambil alih peran partai politik.
Tegas dikatakan bahwa pemilu pendahuluan itu sebuah opened Formal policy yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang. Maukah pembuat undang-undang Membangun regulasi yang membatasi kenikmatan yang didapatkan selama ini?