DALAM Kitab Tractatus Logico Philosophicus, Ludwig Wittgenstein menulis, “Tentang apa yang Tak dapat kita bicarakan, kita harus berdiam diri.” Tetapi, di dunia Chairil Anwar, keheningan Malah dilawan dengan kata-kata. Puisi lahir dari keterdesakan Demi berbicara Begitu dunia membisu.
Di tengah krisis literasi, menulis menjadi bentuk perlawanan sunyi, menjaga kemanusiaan dalam bahasa yang kian kehilangan Arti di ruang pendidikan formal. Di sebuah kelas di Aceh, seorang siswa membacakan puisinya tentang ibu, gempa, dan Asa menjadi guru—dengan kejujuran yang menyentuh. Puisinya akan diterbitkan, bukti bahwa literasi Tetap Bisa menemukan ruang Demi bertumbuh.
Di Begitu yang sama, di banyak sekolah lain di negeri ini, siswa Tetap sibuk menyalin kalimat di papan tulis. Kitab yang mereka kenal hanyalah LKS, dan menulis berarti menyalin dan menjawab soal. Membaca? Kadang hanya tugas. Di negeri yang merayakan Hari Puisi Nasional, banyak anak yang bahkan tak Mengerti Langkah menikmati puisi.
Inilah paradoks kita hari ini: kata-kata diagungkan dalam Upacara, tapi sering diabaikan dalam praktik pendidikan. Kita mengenang Chairil Anwar dan puisi-puisi perjuangannya, tapi kita lupa bahwa perjuangan literasi hari ini jauh lebih senyap dan kompleks—berhadapan dengan sistem yang Tetap menomorduakan bacaan bermakna dan pembelajaran yang jarang memberi ruang Ungkapan.
Hari Puisi Nasional yang kita peringati setiap tahun Sepatutnya lebih dari sekadar nostalgia. Ia adalah alarm. Tanda bahwa bangsa ini sedang krisis dalam hal paling mendasar: kemampuan membaca, menulis, dan berpikir.
Tetapi, di tengah krisis ini, Tetap Terdapat ruang-ruang kecil yang menyalakan lentera Asa. Sekolah-sekolah seperti Sekolah Sukma Bangsa membuktikan bahwa menulis Bisa menjadi budaya. Bahwa membaca Bisa dirayakan. Dan bahwa puisi—seperti yang pernah ditulis Chairil—Tetap Bisa menjadi senjata perlawanan, bukan dengan amarah, tetapi dengan kesadaran.
LITERASI: TANTANGAN DAN PERJUANGAN ABAD 21
Literasi merupakan salah satu kunci Krusial dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi, Indonesia Tetap menghadapi tantangan besar. Berdasarkan hasil survei PISA 2018, kemampuan membaca siswa Indonesia Tetap sebatas menghafal, belum mencapai pemahaman. Ini bukan sekadar Bilangan PISA 2018 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara, melainkan potret Konkret ruang kelas yang kehilangan kepekaan terhadap Arti kata.
Literasi Tak Kembali cukup dipahami sebagai kemampuan membaca permukaan. Literasi modern mencakup kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, dan menyampaikan gagasan secara efektif (UNESCO, 2017). Maka, membangun budaya literasi adalah perjuangan Era ini—dan salah satu ujung tombaknya ialah guru.
Sekolah dan guru Tak Bisa hanya berfungsi sebagai penyampai materi. Mereka harus menjadi penggerak literasi. Bukan sekadar menugasi siswa membaca dan menulis, tetapi juga menciptakan ruang-ruang hidup di mana kata-kata Mempunyai Arti, Cerminan, dan kekuatan Demi mengubah Langkah berpikir.
SEKOLAH SUKMA BANGSA: BUDAYA LITERASI SEBAGAI GERAKAN
Dalam lanskap pendidikan yang Tetap didominasi oleh pengajaran hafalan dan capaian nilai kognitif, Sekolah Sukma Bangsa mengambil jalan berbeda. Sejak awal, sekolah ini membangun budaya belajar yang meletakkan literasi sebagai jantungnya. Bagi mereka, membaca dan menulis bukan sekadar keterampilan, tetapi Langkah berpikir dan bertumbuh.
Budaya literasi di sekolah ini Tak hadir sebagai program tambahan, melainkan ditanamkan dalam denyut harian kehidupan sekolah. Program seperti Reading Day
menjadi momen mingguan yang dinantikan siswa. Bukan hanya karena mereka membaca Kitab, tetapi karena mereka membaca dalam suasana yang hidup dan penuh dialog. Siswa boleh memilih Kitab yang mereka suka, mendiskusikannya, bahkan mengadaptasinya ke dalam puisi, drama, atau cerita gambar.
Dari budaya membaca, siswa kemudian didorong menulis. Bukan sekadar menulis karena tugas, tapi karena mereka punya cerita. Program Siswa Menulis memberikan ruang bagi anak-anak Demi mengekspresikan pengalaman, imajinasi, dan keresahan mereka. Yang lebih luar Standar, karya-karya ini Tak berhenti di laci atau map portofolio—mereka diterbitkan dan dirayakan melalui acara tahunan bernama Kenduri Kitab.
Di sinilah pendidikan literasi mencapai bentuk idealnya: ketika membaca menjadi kebiasaan dan menulis menjadi Ungkapan jati diri. Tetapi, transformasi semacam ini Tak mungkin terjadi tanpa peran sentral guru.
GURU MENULIS: GURU SEBAGAI PEMIKIR DAN PRODUSEN PENGETAHUAN
Di Sekolah Sukma Bangsa, guru Tak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai penulis dan pemikir dalam dunia pendidikan. Melalui Program Guru Menulis, para pendidik didorong menulis esai, opini, Cerminan pembelajaran, hingga artikel ilmiah yang dipublikasikan di media massa dan Jurnal Sukma, yang menjadi wadah bagi mereka Demi berbagi praktik Bagus, studi kasus, dan hasil penelitian tindakan kelas, memperkuat peran mereka sebagai praktisi reflektif.
Aktivitas ini membangun kepercayaan diri mereka, menguatkan identitas sebagai praktisi reflektif, dan menjadikan mereka produsen pengetahuan, bukan sekadar pelaksana kebijakan.
Selain itu, guru-guru di sekolah ini juga terlibat dalam pengembangan Kitab ajar lintas disiplin, yang ditulis dengan pendekatan kontekstual dan humanis, memastikan materi ajar sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman siswa, bukan sekadar terjemahan kurikulum.
Dengan demikian, Program Guru Menulis Tak hanya menghasilkan karya-karya bermutu, tetapi juga mengubah Langkah guru Memperhatikan diri mereka, dari sekadar pelaksana kebijakan menjadi agen perubahan yang membangun warisan berpikir bagi siswa dan masyarakat.
Di tengah krisis literasi, tantangan terbesar bukan hanya rendahnya kemampuan membaca, tetapi juga ketidaksiapan sistem pendidikan Demi memberi ruang Ungkapan yang bermakna. Program literasi di Sekolah Sukma Bangsa menunjukkan bahwa menulis bukan sekadar keterampilan, tetapi juga Langkah Demi berbicara, mengungkapkan pengalaman, dan membangun dunia baru.
Tetapi, kita harus bertanya, apakah kita sudah menciptakan lingkungan di mana kata-kata Mempunyai kekuatan Demi mengubah? Guru dan sekolah harus berperan sebagai agen perubahan, memastikan literasi bukan hanya tugas, tetapi juga perlawanan sunyi yang mempertahankan hakikat berpikir dan merasa.
Sekolah dan guru harus memilih: menjadi penggerak yang menumbuhkan dunia baru atau membiarkan ruang-ruang belajar Lanjut membisu. Karena, di dunia yang kian bising, menulis tetaplah Langkah paling sunyi Demi bertahan.