PADA Demi udara serbaabu-Serbuk, ketika polusi knalpot dan asap batu bara berkelindan dengan gas air mata, ketika pekik tuntutan bergelut dengan permintaan Ampun, saya teringat dengan sajak Taufik Ismail berjudul Membaca Tanda-Tanda. Bedanya, tanda-tanda yang disebutkan Taufik Ismail dalam sajaknya itu terkait erat dengan bencana, sedangkan tanda-tanda yang saya kenali akhir-akhir ini ialah tumpukan keresahan sebagian besar publik yang Maju disangkal para pengemban amanatnya.
Tumpukan keresahan itu seperti membentur dinding. Maju menatap tembok, Nyaris Kagak menemukan pintu kanalisasi. Karena itu, tumpukan itu pun menjelma menjadi bisul yang membengkak. Ia menunggu senggolan sedikit saja Buat pecah. Dalam situasi seperti itu, banyak pula yang mulai mengambil peran Ragam-Ragam, tapi Nyaris tak Terdapat yang berusaha mengobati sang bisul bengkak. Malah, yang Terdapat ialah para Pemandu jarum yang Tenang-Tenang menusuk bisul itu hingga akhirnya Betul-Betul pecah.
Laiknya bisul yang pecah, perihnya pun minta ampun. Sakitnya menembus saraf-saraf yang paling halus. Alih-alih diobati, luka bisul itu malah ditusuk-tusuk. Jadilah orkestrasi rasa sakit. Muncullah perasaan terluka di mana-mana. Para penusuk itu Kagak dikenali orang-orangnya, tapi Bisa samar-samar dieja tanda-tandanya.
Ingatan saya kembali seperti Demi gunung berapi meletus, dan Taufik Ismail mengingatkan adanya tanda-tanda lewat sajaknya. Ia pun menulis:
‘Terdapat sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Terdapat sesuatu yang mulanya Kagak begitu Terang
tapi kita kini mulai merindukannya
Kita saksikan udara Serbuk-Serbuk warnanya
Kita saksikan air Situ yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak Kembali berkicau pergi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak asam arang
dan karbon dioksida itu menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung membawa Serbuk
Serbuk membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Demikianlah, ketika tumpukan keresahan rakyat itu menggunung, membengkak menjadi bisul pecah, sebagian dari sajak Taufik Ismail itu sepertinya Bisa kita sadur dengan tulisan serupa:
Kita saksikan rakyat bersuara lantang ‘mana beras kami?’ Lewat, pejabat menjawab: beras kita surplus, makanan kita melimpah, kita sedang swasembada.
Kita saksikan sebagian rakyat berteriak, ‘beras raib dari rak-rak toko’. Pejabat menjawab: kami akan banjiri pasar-pasar, toko-toko dengan stok beras kami. Demi rakyat bertanya ‘mengapa harga beras melambung tinggi?’ Pejabat menjawab: kita Kagak sendiri. Di negara tetangga sebelah, harga beras lebih tinggi.
Kita saksikan ketika banyak orang mengeluhkan daya beli dan seretnya ekonomi, pejabatnya bilang: ekonomi kita cukup resilien, daya beli Tetap terjaga, pertumbuhan Tetap Kukuh, Nomor kemiskinan menurun, tenaga kerja Tetap terserap, rasio utang kita Tetap Terjamin, fiskal kita terjaga. Karena fiskal terjaga, tunjangan Bisa diberikan.
Andaikan Macam-macam-Macam-macam keresahan itu ditangkap sebagai tanda-tanda, Lewat dijawab dengan tindakan Konkret secepatnya, mungkin kita Kagak akan mendapati tensi saling merusak seperti sekarang ini. Jadi, apa yang saya saksikan hari-hari ini sepertinya merupakan cermin kegagapan pengemban amanat dalam membaca tanda-tanda. Banyak yang menyangkal bahwa bisul sudah membengkak, sembari Berbicara, “Ah, itu Tetap Bisa dioles Mengenakan salep.”
Begitu Rupanya yang Terdapat adalah bisul bengkak yang pecah, kita baru meratapi sembari bertanya, “Mengapa kami Kagak mengenali bisul itu?” Taufik Ismail melanjutkan sajaknya:
‘Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda
Karena Terdapat sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari
Karena Terdapat sesuatu yang mulanya tak begitu Terang
tapi kini kami mulai merindukannya’.
Kiranya peristiwa akhir-akhir ini mestinya cukup Buat jadi Penilaian: apakah kita Tetap akan gagap membaca tanda-tanda? Apakah penyangkalan akan diteruskan menjadi gaya dan irama, tapi dimodifikasi sedemikian Macam-macam? Apakah bisul-bisul yang pecah itu kita biarkan bernanah Lewat menjadi infeksi?

