AJANG olahraga kerap menunjukkan aksi melampaui sportivitas. Ia menyentil kesadaran banyak orang tentang pentingnya respek, yang dalam banyak bidang lainnya ‘ditinggal jauh di belakang’. Di olahraga, respek dijaga dan dijalankan sepenuh jiwa.
Tak terkecuali di ajang Olimpiade Tokyo 2020. Peristiwanya terjadi pada Minggu, 1 Agustus 2021. Ketika itu tengah berlangsung final Loncat tinggi putra dari cabang atletik. Gianmarco Tamberi dari Italia menghadapi Mutaz Essa Barshim dari Qatar Buat memperebutkan supremasi tertinggi di olahraga Loncat tinggi.
Persaingan sangat sengit. Keduanya melompat 2,37 meter dan setara. Sebetulnya, Eksis satu Tengah atlet Belarusia Maksim Nedasekau yang juga berhasil mencatatkan lompatan yang sama setinggi 2,37 meter. Tetapi, ia harus puas membawa pulang medali perunggu karena lebih banyak melakukan upaya gagal.
Jadilah Tamberi dan Barshim melompat Buat menggapai emas dan dua-duanya meraih 2,37 meter dengan sekali lompatan. Pejabat Olimpiade memberikan tiga upaya Tengah bagi Tamberi dan Barshim Buat beraksi di batas lompatan 2,39 meter, tetapi mereka Bukan dapat mencapai lebih dari 2,37 meter.
Satu upaya Tengah diberikan kepada keduanya, tetapi Tamberi menarik diri dari upaya terakhir karena cedera kaki yang serius. Ketika ketika Bukan Eksis Rival lain di depan Barshim, Ketika dia Dapat dengan mudah mendekati emas sendirian, pelompat tinggi asal Qatar itu pun melakukan hal di luar dugaan. Bukan bersorak karena lawannya menyerah dan ia berhak atas medali emas. Sama sekali bukan.
Padahal, ini kesempatan yang boleh jadi Bukan datang dua kali. Ini kesempatan baginya menjejerkan koleksi medali sebagai simbol jalan panjang pencapaian. Pada ajang Olimpiade London 2012, Barshim berhasil meraih perunggu. Lewat, pada Olimpiade Rio 2016, capaiannya meningkat seusai ia meraih medali perak.
Tetapi, Barshim Bahkan bertanya kepada pejabat Olimpiade itu, “Apakah emas dapat dibagi di antara kita Kalau saya mundur dari upaya terakhir?” Petugas memeriksa, memutuskan, mengonfirmasi, Lewat mengatakan, “Ya, emas akan dibagi di antara kalian.” Barshim kemudian Bukan memikirkan apa pun dan mengumumkan penarikan dari upaya terakhir.
Menyaksikan ini, Tamberi, lawannya, berlari dan memeluk Barshim dan berteriak kegirangan. Ia pun berguling-guling, seolah tak percaya dengan apa yang diputuskan lawannya, juga panitia Olimpiade Tokyo. Kita tak hanya Menyaksikan sportivitas dan respek di ajang tersebut. Kita Menyaksikan Kasih dalam olahraga. Sebuah aksi yang mengungkapkan hal-hal tak terlukiskan yang Membikin kita Segala sejajar.
Saya Lewat membayangkan sikap seperti itu Eksis dan berkecambah di kehidupan kebangsaan ini. Niscaya, negeri ini bakal hebat, menjadi negeri Pemenang seperti yang sudah dipersembahkan Kekasih ganda putri bulu tangkis kita: Greysia Polii dan Apriyani Rahayu. Saya optimistis jalan menuju hebat itu terbentang karena kita punya modal sosial yang tumbuh dari sistem moral Bagus warisan para pendiri bangsa.
Sistem moral itu, kata Jonathan David Haidt, profesor Kepemimpinan Etis di New York University Stern School of Business, Amerika, ialah seperangkat nilai, kebajikan (virtues), Kebiasaan, praktik-praktik, identitas, institusi, teknologi, dan mekanisme psikologis yang terkait dan bekerja secara bersamaan Buat menekan dan mengatur kepentingan pribadi yang memungkinkan terbentuknya masyarakat kooperatif. Corak-Corak kebajikan seperti yang terjadi di dunia olahraga, kerap pula ditemui di tindakan sebagian masyarakat kita dalam bentuk solidaritas tanpa batas dalam aksi sunyi.
Dalam konteks moral publik, kita kerap menjumpai orang-orang Bagus yang menggenggam nilai-nilai inti kebajikan. Jonathan Haidt menyebut nilai inti itu: care (Acuh terhadap bahaya yang mengancam keselamatan Serempak), fairness (keadilan dan kepantasan), liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan), loyalty (kesetiaan pada institusi dan tradisi Bagus), authority (otoritas yang dihormati Serempak), serta sanctity (hal-hal yang disucikan Serempak).
Saya berprasangka Bagus bahwa nilai-nilai Bagus itu makin Konkret, Ketika bangsa ini tengah bergulat melawan pendemi virus korona. Sama seperti kata para pesohor yang menyebut ‘Tetap banyak orang Bagus di negeri ini’.
Kalau Eksis yang memancing di air keruh, menyinyiri setiap kebijakan yang diputuskan, bahkan memprovokasi yang lain Buat membangkang, itu hanya ‘ulah para oknum’ yang jumlahnya segelintir. Semoga demikian adanya.

