SEJUMLAH pihak yang tergabung dalam Tim Advokasi Tolak Tambang akan melakukan uji materiil atau judicial review terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Mengertin 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Mengertin 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Permohonan judicial review ini akan dikirimkan kepada Mahkamah Mulia pada 1 Oktober mendatang.
Seperti diberitakan, PP 25 Mengertin 2024 itu memberikan landasan hukum bagi ormas keagamaan untuk dapat mengelola lahan pertambangan.
Baca juga : Sering Ubah Syarat Usia Pejabat Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Salah satu kuasa hukum Tim Advokasi Tolak Tambang, Muhammad Isnur, menyebut sejumlah poin yang menjadikan PP 25 ini bermasalah. Pertama, PP tersebut bertentangan dengan undang-undang di atasnya, yakni Undang-undang Nomor 3 Mengertin 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Mengertin 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Muhammad Isnur yang merupakan Ketua Standar Pengurus Yayasan Lembaga Sokongan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut di pasal 75 ayat 3 UU Minerba disebutkan prioritas dalam pemberian lzin Usaha Pertambangan Tertentu (IUPK). Di situ yang mendapat prioritas adalah badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD).
“Kalau badan usaha milik swasta caranya lelang. Dia (ormas keagamaan) badan usaha milik swasta yang menurut undang-undang harusnya mereka ikut lelang. Dan (dalam PP 25) ormasnya prioritas, karena sejak awal sudah disebutkan ada 6 ormas yang akan diberikan (IUPK). Harusnya kalau ada peraturan pemerintah yang bertentangan dengan undang-undang dia batal demi hukum,” papar Isnur.
Baca juga : Ambang Batas Pencalonan Presiden Abaikan Persebaran Bunyi
Permasalahan selanjutnya adalah perihal definisi ormas yang tidak dijelaskan dalam PP tersebut. Isnur mengatakan ketidakjelasan definisi ini adalah bagian dari pelanggaran prinsip menyusun undang-undang. “Ketidakjelasan definisi mengakibatkan potential abuse di mana-mana,” katanya.
Selain itu ada ketidaksesuaian makna prioritas dalam PP 25 dan UU Minerba. Isnur mencontohkan prioritas izin usaha tambang dalam UU Minerba diberikan kepada BUMN/BUMD karena perusahaan milik pemerintah itu dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Tetapi prioritas untuk sekelompok ormas seperti dalam PP 25 hanya bermanfaat untuk kelompok itu sendiri. “Di situlah kemudian terjadi praktik diskriminasi,” kata dia.
Baca juga : MK nyatakan banding atas putusan PTUN terkait gugatan Anwar Usman
Yang tak kalah penting adalah pemberian izin usaha tambang untuk ormas keagamaan ini justru bertentangan dengan prinsip atau semangat yang didirikan oleh ormas itu sendiri.
“Kalau kita baca semangat visi-misi masing-masing ormas, itu kan jelas apa tujuan, definisi, ketentuan. Sejatinya dia bukan untuk kepentingan mengeksploitasi dan dapat keuntungan sebesar-besarnya. Makanya banyak dialektika yang terjadi dalam masing-masing ormas keagamaan karena tidak sesuai dengan semangat pendirian ormas itu sendiri. Sekarang tambang, ekstraksi, semangatnya adalah mengekploitasi dan merusak lingkungan,” beber Isnur.
Kuasa hukum lainnya Wasingatu Zakiyah menyatakan keputusan judicial review ini juga merupakan hasil diskusi dengan berbagai elemen, termasuk kelompok ormas keagamaan itu sendiri.
Baca juga : MK: Anwar Usman tak Akan Putus Uji Materi Syarat Usia Calon Kepala Daerah
“Krusial bagi masyarakat sipil untuk bersuara supaya keadilan ekologis, keadilan di muka bumi ini bisa kita wujudkan sama-sama dari regulasi yang benar. Mitra-teman kuasa hukum, pemohon, tim ahli, dan yang akan jadi sahabat peradilan pun sudah cukup solid untuk melakukan ini,” ungkap Zakiyah.
Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Hema Situmorang sebagai salah satu pemohon menganggap pemberian izin tambang untuk ormas ini seolah-olah menghilangkan watak industri ekstraktif yang eksploitatif dan merusak alam.
“Seluruh ilmu pengetahuan, para peneliti, akademisi, para jurnalis, aktivis lingkungan, generasi muda, khawatir generasi selanjutnya tidak bisa menikmati air, tanah, dan udara yang bersih. Seolah-olah kalau tata pengelolaannya diberikan kepada ormas agama, akan jadi lebih baik,” katanya.
“Padahal cara kerja industri ekstraktif itu pasti menghancurkan bentang alam karena dia membutuhkan lahan yang luas. Dia mengakibatkan deforestasi, bahkan alih fungsi lahan termasuk pertanian yang mengakibatkan krisis pangan,” pungkasnya. (H-3)