Masalah Perlindungan Hukum Sertifikat Tanah Elektronik

Masalah Perlindungan Hukum Sertifikat Tanah Elektronik
(MI/Seno)

SALAH satu tujuan Esensial dari kegiatan pendaftaran tanah ialah menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah bagi setiap orang atau badan hukum. Dengan pemberian sertifikat tanah, Krusial bagi pemegang hak atas tanah agar dengan mudah membuktikan bahwa dialah yang berhak atas suatu bidang tanah tertentu dan bebas dari segala gugatan pihak lain.

Sementara itu, dalam peralihan hak, bagi calon pembeli atau kreditur mendapat kepastian hukum dan keterbukaan informasi bahwa tanah tersebut terbebas dari klaim hak pihak lain. Keterbukaan informasi tersebut dapat dilihat melalui ketersediaan data fisik dan data yuridis yang disajikan di kantor pertanahan yang berlaku terbuka bagi Standar dengan keterangan diberikan dalam bentuk surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT).

Kepastian hukum yang dimaksud dalam kegiatan pendaftaran tanah di atas antara lain ialah kepastian hukum mengenai orang atau badan yang menjadi pemegang hak (subjek hak). Kepastian hukum mengenai Letak, batas, serta luas suatu bidang tanah hak (objek hak), dan kepastian hukum mengenai haknya.

Selama ini, informasi mengenai subjek, objek, riwayat peralihan hak atas tanah, dan peta Letak tanah sebagaimana yang disebut di atas, tercantum di dalam Naskah sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Naskah sertifikat tanah inilah yang menjadi alat bukti yang Absah di muka hukum bahwa seseorang atau badan hukum sebagai pemilik hak atas tanah.

Cek Artikel:  Membentuk Guru yang Nirkekerasan

 

TRANSISI SERTIFIKAT MANUAL KE ELEKTRONIK

Sudah menjadi persoalan Standar bahwa sertifikat tanah dalam bentuk fisik menimbulkan sengketa atau konflik pertanahan. Terlebih Tengah ketika sertifikat tersebut hilang, beralih hak secara ilegal, pemalsuan, atau tumpang tindih sertifikat yang mana kejadian-kejadian tersebut sering kali menyulitkan pengadilan dalam pembuktian siapa pemegang hak yang Absah.

Belum Tengah jalannya perkara yang memakan waktu bertahun-tahun, Segala ini Membangun para pihak yang bersengketa menghabiskan biaya, waktu, dan Kekuatan yang Kagak sedikit. Dengan demikian, sistem administrasi pertanahan di Indonesia Tetap mewariskan persoalan yang Kagak pernah selesai, Berkualitas dulu, kini, maupun masa mendatang.

Oleh karena itu, salah satu jalan keluar yang ditempuh pemerintah (Kementerian ATR/BPN) ialah mendorong digitalisasi layanan pertanahan Kepada meningkatkan efisiensi, transparansi, kepastian hukum, dan modernisasi sistem administrasi pertanahan.

Merujuk kepada peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hal ini mempunyai Kaitan dengan pendaftaran tanah yang bermakna pentingnya kepastian hukum hak atas tanah. Tetapi, dalam implementasinya, Kepada sertifikat manual sering terjadi tumpang tindih data, pemalsuan, dan kerusakan fisik.

Cek Artikel:  Krisis Literasi Digital

Oleh karena itu, dengan kemajuan teknologi informasi, mendorong digitalisasi layanan pendaftaran tanah dalam transformasi digital dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan pertanahan, menjamin keamanan, dan keaslian data hak atas tanah. Juga, mempermudah transaksi dan pencatatan hukum atas tanah serta mengurangi risiko kehilangan atau pemalsuan sertifikat.

Tetapi, kendala Esensial pemerintah dalam membangun sistem sertifikasi tanah elektronik ialah masalah kesiapan infrastruktur digital di seluruh Daerah Indonesia dan bagaimana perlindungan dan keamanan data pribadi maupun Berkas negara.

Di sisi lain, belum terbentuk kepercayaan masyarakat, terutama di perdesaan, terhadap sertifikat elektronik. Meskipun masyarakat perdesaan sudah melek digital, dalam hal sertifikat tanah, kepemilikan hak atas tanah harus ditunjukkan dengan sertifikat fisik.

Karena itu, harus diadakan sosialisasi Lalu-menerus kepada masyarakat dan juga integrasi dengan sistem yang lain seperti perpajakan, perbankan, dan perizinan. Dengan demikian, harus dilakukan penguasaan keamanan siber dan server nasional, pelatihan sumber daya Sosok Kepada literasi publik, regulasi yang adaptif, penguatan infrastruktur digital.

 

TANTANGAN KE DEPAN

Salah satu pertanyaan publik terkait dengan sertifikat elektronik, di luar dari kesiapan infrastruktur digital dan keamanan data, ialah masalah pembuktian hak Kalau sengketa tanah masuk ranah pengadilan. Sejauh ini payung hukum alat bukti elektronik di pengadilan menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Surat Edaran Mahkamah Mulia (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Berkas Elektronik, sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Cek Artikel:  Heterotopia dan Persona Baru Demi Perpustakaan Berkelanjutan

Tetapi, UU ITE berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20 Tahun 2016 diklasifikasi sebagai pembuktian dalam hukum pidana, bukan perdata. Demikian juga, SEMA Nomor 14 Tahun 2010 Kagak ditujukan mengatur tentang Berkas elektronik sebagai alat bukti di persidangan, tetapi sebagai Berkas elektronik berupa putusan atau dakwaan yang dimasukkan ke dalam perangkat penyimpan Berkas (soft file).

Dalam praktik peradilan perdata, Tiba Begitu ini belum tersedia hukum acara terkait dengan perlindungan hukum dan pembuktian pemilik sertifikat tanah elektronik, termasuk belum Terdapat pengaturan rinci tentang ganti rugi atas perlindungan pemilik sertifikat, Kalau sistem elektronik mengalami gangguan sehingga kehilangan data.

Selain itu, bagaimana dengan sengketa sertifikat elektronik terkait dengan keabsahan sertifikat elektronik di pengadilan. Penanganan kasus pemalsuan atau peretasan data (manipulasi digital) belum spesifik di atur dalam perlindungan hukum dan sanksinya.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah dan pembentuk undang-undang mulai mempersiapkan hukum acaranya secara terperinci dan pengawasan ekternal terkait dan bagaimana sistem ini diaudit secara berkala Kepada memastikan keabsahan data, serta perlu pembentukan peraturan (SOP) yang mencakup asas-asas transparansi, perlindungan hukum, dan kepastian hukum bagi pemegang hak, serta melakukan pengawasan independen terhadap sistim digitalisasi, yang menyediakan keamanan dan enkripsi data melalui teknologi blockchain Kepada transparansi dan pencatatan yang Kagak Bisa diubah.

 

Mungkin Anda Menyukai