HINGGA hari ini, banyak ormas atau yayasan yang berupaya membangun sebuah lembaga pendidikan Lumrah dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dan Al-Qur’an. Namanya pun Berbagai Jenis. Eksis sekolah Islam plus, sekolah Islam integral, sekolah Islam terpadu, sekolah terpadu tahfidz Al-Qur’an, Mendunia islamic school, islamic integrated school, Qur’anic integrated school, dan berbagai nama lain yang seolah menjadi tren baru di dunia pendidikan. Bahkan, pemerintah sendiri, seperti yang dilakukan Kemenag dan lingkungan Kemendikdasmen, melakukan hal yang sama.
Pada sisi yang lain, Eksis pula yang berusaha menyatukan sistem pendidikan Lumrah dengan model pendidikan pesantren. Karena itu, lahirlah boarding school (sekolah berasrama), pondok pesantren modern, pondok pesantren sains, dan sebagainya. Menariknya, sekolah-sekolah model itu (menggabungkan pengajaran Lumrah dan nilai-nilai Islam) cenderung berbiaya mahal dan selalu Eksis peminatnya, terutama di kota-kota besar. Bahkan, (seakan) semakin mahal semakin diminati.
Padahal, dalam lintasan sejarah, model pendidikan yang memasukkan materi Islam ke dalam dunia pendidikan (Lumrah) atau sebaliknya, sudah dilakukan KH Ahmad Dahlan sejak awal abad ke-20. Langkah sang pendiri Muhammadiyah itu pun menuai kritik keras dan tuduhan negatif. Tetapi, itulah yang Maju dilakukan Muhammadiyah hingga kini dan Rupanya menjadi kecenderungan kekinian di dunia pendidikan Indonesia.
Tetapi, dalam konteks kekinian, Eksis sebagian pengamat pendidikan yang mengatakan Muhammadiyah sendiri sebagai penggagas integrasi pendidikan Religi dan pendidikan Lumrah sudah mulai ketinggalan dan kalah inovatif dari sekolah-sekolah yang baru muncul. Pertanyaannya sekarang, apa sesungguhnya yang pernah dilakukan Muhammadiyah? Bagaimana realitas yang terjadi di internal pendidikan Muhammadiyah? Apa pula yang Dapat dilakukan Kalau memang Cocok-Cocok tertinggal?
MELAMPAUI ZAMANNYA
Jauh sebelum Ki Hadjar Dewantara mendirikan Sekolah Taman Siswa pada 1922, KH Ahmad Dahlan pada 1908 sudah merintis pendirian sekolah nonformal, Yakni Madrasah Diniyah. Sekolah itu kemudian diformalkan menjadi Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang didirikan pada 11 Desember 1911. Dengan bertempat di rumahnya sendiri, di Kampung Kauman Yogyakarta, sekolah itu sudah mengadopsi dan mengadaptasi model pendidikan Barat. Eksis meja, kursi, dan papan tulis. Muridnya Eksis yang bercelana dan berdasi. Sebuah kebiasaan yang sering dianggap ‘kafir’ oleh umat Islam Ketika itu.
Materi pembelajarannya pun bukan hanya ilmu Religi, melainkan juga materi pengajaran Lumrah sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah kolonial Belanda. Bukan hanya di sekolahnya sendiri, sang ‘Mujaddid dari Kauman’ itu mempercepat dan memperluas gagasannya dengan mengajarkan Religi di sekolah calon pamong praja (calon pejabat) di OSVIA Magelang, dan para calon guru di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Sebuah dekonstruksi atas sekularisme pendidikan (pemisahan ilmu Religi dan ilmu Lumrah) pada masa itu.
Bahkan, madrasahnya dikelola secara organisatoris modern dengan metode dan kurikulum yang terstruktur dan kontekstual, dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern abad XX. Murid-muridnya diajari ilmu hitung dan keterampilan life skill. Beliau juga menekankan pentingnya pemahaman Al-Qur’an yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sangat masyhur ketika beliau mengajarkan surah Al-Maun kepada murid-muridnya. Bahasa pengantar yang digunakan bukan bahasa Arab, melainkan bahasa Jawa dan Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat awam. Pendekatan itu Terang membedakannya dari metode pendidikan pesantren yang tradisional dan Tak terstruktur (sorogan dan lesehan).
Bukan hanya itu, posisi Perempuan yang terpinggirkan mulai diangkat KH Ahmad Dahlan. Tak hanya didirikan langgar dan sekolah Tertentu Perempuan (1918) yang sekarang menjadi Madrasah Muallimat Muhammadiyah, tetapi Perempuan juga diajak aktif di dunia pergerakan. Serempak istrinya, beliau dirikan ‘Aisyiyah yang Konsentrasi pada pemberdayaan kaum Perempuan. Tentu saja, langkah itu tergolong revolusioner karena memberikan ruang bagi Perempuan Kepada berkontribusi dalam masyarakat.
KH Ahmad Dahlan juga menekankan pentingnya peran guru yang berkualitas. Beliau melakukan kaderisasi guru agar Mempunyai keilmuan yang Cakap Berkualitas dalam bidang Religi maupun Lumrah. Sang ‘Pencerah’ sangat memperhatikan kesejahteraan para guru, Tiba-Tiba pada suatu waktu beliau melelang seluruh isi rumahnya (hanya) Kepada membayar gaji guru yang sudah menunggak selama tiga bulan.
Apa yang dilakukan sang pendiri Muhammadiyah itu mencerminkan pembaruan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya memadukan nilai-nilai Islam dengan tuntutan modernisasi kehidupan. Gerakan itu pada gilirannya memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan pendidikan Islam di Indonesia dan menjadi inspirasi bagi model pendidikan Islam kontemporer.
TANTANGAN KE DEPAN
Meski telah menginspirasi dan menjadi pilar pendidikan Islam di Indonesia, Eksis beberapa tantangan yang harus dihadapi Muhammadiyah. Pertama, Eksis fenomena tragedy of commons, Yakni memudarnya Tanda khas pendidikan Muhammadiyah. Di beberapa sekolah malah Eksis yang sudah mulai meniru sekolah negeri yang secara perlahan menanggalkan identitas yang lekat dengan nilai-nilai Islam khas Muhammadiyah. Akibatnya, nilai-nilai yang diajarkan sering kali Tak tecermin pada perilaku masyarakat yang menjadi lulusannya. Eksis yang cenderung sekularis dan Eksis pula yang tekstualis-salafis.
Kedua, keterbatasan Penemuan pada era digital. Kalau mengacu pada sekolah-sekolah yang sudah maju dengan jumlah yang sangat amat sedikit itu, kita akan bangga. Tetapi, Bahkan sekolah-sekolah yang Eksis di daerah, cabang, dan ranting mengalami gejala itu. Banyak sekolah Muhammadiyah menghadapi kesulitan dalam mengadopsi dan mengadaptasi teknologi. Keterbatasan Biaya, sarana teknologi terkini, dan minimnya pelatihan guru dalam memanfaatkan teknologi menjadi kendala dalam menciptakan pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan generasi digital Ketika ini.
Ketiga, kurangnya pengembangan pendidikan berbasis keterampilan Mendunia. Menurunnya antusiasme masyarakat terhadap sekolah Muhammadiyah menjadi tanda betapa sekolah mereka dinilai belum cukup mempersiapkan siswa Kepada menjadi Anggota Mendunia. Misalnya, program pertukaran pelajar Dunia atau kolaborasi dengan lembaga pendidikan Mendunia yang dapat meningkatkan wawasan dan daya saing siswa di kancah Dunia baru dilakukan segelintir sekolah Muhammadiyah.
Keempat, Muhammadiyah perlu melakukan pendataan secara menyeluruh atas potensi dan kelemahan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Diperlukan langkah melampaui zamannya dalam mengatasi kesenjangan relevansi antara pendidikan Muhammadiyah dan kebutuhan ketenagakerjaan. Bahkan, Muhammadiyah sendiri belum Mempunyai database sekolah Muhammadiyah layaknya data pokok pendidikan (dapodik) Punya pemerintah. Itulah salah satu Elemen kesulitan Muhammadiyah dalam memetakan potensi kelemahan, Keistimewaan, tantangan, dan Kesempatan pendidikan Muhammadiyah ke depan
REINTERPRETASI KONSEP
Kepada Dapat Tiba pada lompatan paradigma pendidikan sebagaimana yang pernah dilakukan pendirinya, Muhammadiyah perlu mengambil langkah melampaui sekadar adopsi dan adaptasi teknis dengan mengubah Langkah pandang, nilai dasar, dan orientasi pendidikan ke arah yang lebih progresif-transformatif.
Pertama, reinterpretasi konsep berkemajuan. Paradigma pendidikan Muhammadiyah berakar pada konsep ‘Islam berkemajuan’. Tetapi, tantangan era digital, globalisasi, dan krisis multidimensi seperti lingkungan dan kemanusiaan, menuntut redefinisi berkemajuan dengan pendidikan yang human-islami, Yakni menempatkan nilai-nilai Islam dalam konteks kemanusiaan universal. Pendidikan Tak hanya Konsentrasi pada kepatuhan doctrinal-ideologis, tetapi juga mengembangkan empati, keadilan sosial, dan keberlanjutan.
Kedua, mengembangkan model paradigma pendidikan yang inovatif-progresif. Artinya, berkemajuan Tak sekadar mempertahankan kemajuan dan bangga dengan ‘pelampauan Era’ ala KH Ahmad Dahlan, tetapi juga melibatkan terobosan dalam teknologi, Pengajaran, dan pengelolaan pendidikan di atas sekolah pada umumnya.
Ketiga, perlu dilakukan transformasi model pendidikan dari kognitif ke holistis. Belakangan, sekolah Muhammadiyah sering terjebak pada prestasi akademik (kognitif) karena mengikuti tuntutan persaingan dengan sekolah lain. Selama ini, banyak sekolah Muhammadiyah memilih Konsentrasi pembangunan Kepribadian. Ironisnya, sekolah kita sering (hanya) dianggap sebagai bengkel Kepada memperbaiki anak-anak bermasalah. Sementara itu, masyarakat dan gen Z lebih tertarik pada prestasi dan lolos PTN.
Hingga di sini, paradigma baru mengharuskan pendekatan yang lebih holistis dengan pendekatan spiritualitas aktif, Yakni pendidikan Religi Tak sebatas hafalan, tetapi juga pendorong atas diri siswa sebagai agen perubahan yang membawa misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Selain itu, perlu pengembangan soft skill, seperti kolaborasi, komunikasi, pemikiran kritis, dan kreativitas. Itulah yang akan menjadi inti kurikulum, yang mengontekstualisasi dan mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai Islam Kepada menciptakan Penemuan yang lebih bermakna.
Keempat, melakukan digitalisasi pendidikan berbasis teknologi. Pada era digital, lompatan paradigma juga berarti mengintegrasikan teknologi secara strategis. Karena itu, Muhammadiyah perlu membangun platform edukasi digital, Yakni dengan menyediakan pembelajaran daring yang berkualitas, interaktif, dan terjangkau.
Dalam hal AI dan big data pendidikan, misalnya, Muhammadiyah Krusial memperhatikan kecerdasan buatan Kepada personalisasi pembelajaran dan pengelolaan data siswa. Pun mengajarkan literasi digital dengan membekali siswa dengan keterampilan literasi digital Kepada menghadapi tantangan dunia maya.
Kelima, meneruskan paradigma pendidikan Kepada Seluruh. Sebagai organisasi yang berakar kuat pada gerakan sosial-keagamaan, selama ini pendidikan Muhammadiyah telah menjangkau Seluruh kalangan. Muhammadiyah Tak pernah menutup diri kepada masyarakat miskin, Golongan Religi lain, dan penganut pemahaman keagamaan lain. Ketika banyak orang baru berbicara tentang moderasi beragama dan ‘NKRI harga Tewas’, Muhammadiyah sudah melakukannya. Lebih daripada sekadar berbicara.
Muhammadiyah juga telah membuka lebih lebar dengan pendidikan inklusif. Sekolah mereka menerima siswa dengan kebutuhan Tertentu dengan lingkungan belajar yang ramah. Ketika sekolah lain menolak siswa difabel, Muhammadiyah Bahkan menerimanya, sebagaimana kasus Puteri Herlina dulu.
Keenam, yang Tak kalah Krusial ialah membangun kepemimpinan dan pengelolaan sekolah berkemajuan. Lompatan paradigma pendidikan membutuhkan kepemimpinan yang transformatif. Kepala sekolah dan guru Muhammadiyah harus berjiwa visioner dengan Maju membaca tren Mendunia, kompeten dan adaptif, dan memimpin perubahan. Selain itu, harus kolaboratif-sinergis, Yakni menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Dengan demikian, Muhammadiyah dapat Maju menjadi lokomotif perubahan pendidikan di Indonesia. Inilah saatnya pendidikan Muhammadiyah Tak hanya melahirkan individu cerdas, tetapi juga pemimpin dunia yang bermoral, inovatif, dan transformatif. Wallahu a’lamu.