
MENTERI Keyakinan Republik Indonesia secara Formal meluncurkan Kurikulum Berbasis Kasih (24/7/2025). Sebuah terobosan monumental dalam peta pendidikan nasional. Peluncuran itu dapat dimaknai sebagai deklarasi komitmen negara Demi membangun masa depan pendidikan yang lebih inklusif, lembut, manusiawi, dan berakar pada Kasih.
Kurikulum Berbasis Kasih (KBC) merupakan respons atas pelbagai krisis Era yang semakin akut dan kompleks. Dunia Demi ini Kagak hanya dihantui disrupsi teknologi, tapi juga diseret dalam gelombang dehumanisasi yang menggerus nilai-nilai luhur.
Di tengah derasnya arus kebencian, intoleransi, dan kekerasan yang bahkan merambah ke ruang-ruang pendidikan, KBC hadir membawa pesan peradaban bahwa Kasih ialah pusat segalanya.
PERADABAN Kasih
Sejarah telah membuktikan bahwa setiap peradaban besar dibangun Kagak hanya dengan senjata dan strategi, tapi juga oleh nilai-nilai luhur yang hidup dalam jiwa manusianya.
Pendidikan ialah rahim dari nilai-nilai itu. Di sinilah KBC mengambil posisi strategis, yakni menanamkan Kasih sejak Awal, mulai raudhatul athfal hingga madrasah aliah.
KBC Kagak menafikan pentingnya ilmu, teknologi, dan logika, tapi Bahkan memberi penekanan bahwa Seluruh itu harus berpijak pada fondasi nilai kasih sayang, welas asih, dan penghormatan terhadap sesama dan alam.
Dalam pelbagai pernyataannya, Menteri Keyakinan menegaskan humanity is only one maka KBC ialah manifestasi kurikuler dari doktrin kemanusiaan universal itu.
Keyakinan Kagak Kembali diposisikan sebagai alat justifikasi kekuasaan atau pemisah identitas, tetapi sebagai Kekuatan spiritual Demi menyatukan dan memanusiakan. Di tengah dunia yang kian terfragmentasi, KBC hadir sebagai penawar, bukan pemicu konflik.
Di sisi lain, kurikulum konvensional cenderung normatif dan legalistik. Ia mengukur keberhasilan murid dari Bilangan-Bilangan kognitif, bukan pada keseimbangan mental, emosi, dan jiwa.
Di sinilah KBC mengambil langkah besar, yakni menggeser paradigma dari nomos-oriented ke eros-oriented. Ibadah bukan Kembali ketakutan atas dosa atau ketertarikan terhadap pahala, melainkan Aktualisasi diri Kasih kepada Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya.
Hal itu tecermin pula dalam pergeseran orientasi teologis dari Persona Tuhan yang murka dan menghukum (jalaliyah), menuju Tuhan yang penyayang dan pengasih (jamaliyah).
Dari sana, lahirlah praktik pendidikan yang humanistis. Madrasah menjadi ruang yang ramah anak, guru menjadi figur empatik, dan proses pembelajaran menjadi pengalaman yang membahagiakan.
KBC Mempunyai struktur yang kukuh dan operasional. Lima tema pokok yang dirumuskan sebagai Pancacinta menjadi kompas nilai, yakni Kasih kepada Allah dan rasul-Nya, Kasih ilmu, Kasih lingkungan, Kasih diri dan sesama, serta Kasih tanah air.
Dalam KBC, setiap nilai diterjemahkan ke dalam pembelajaran Konkret. Misalnya, Kasih kepada lingkungan Kagak hanya diajarkan melalui ceramah tentang ekologi, tapi juga melalui praktik menanam, memilah sampah, Irit Kekuatan, dan sebagainya.
Pendidikan Kagak Kembali diukur dari jumlah hafalan, tapi dari seberapa jauh nilai-nilai Kasih itu hidup dalam laku sehari-hari.
Dengan struktur yang transformatif itu, KBC memancarkan Asa besar. Ia bukan sekadar kurikulum alternatif, melainkan juga Dapat menjadi mainstream baru dalam pendidikan nasional.
Dalam jangka panjang, KBC diharapkan melahirkan generasi yang Kagak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berjiwa welas asih, resilien, dan toleran. Murid Kagak sekadar menjadi pemilik ijazah, tapi pengamal spiritual yang menebar manfaat.
Lebih jauh, madrasah sebagai pelaksana KBC akan bertransformasi menjadi madrasah ramah anak, ramah lingkungan, dan ramah spiritualitas.
Di era masyarakat 5.0, dengan kecanggihan digital Bahkan sering menggerus empati, KBC Dapat menjadi penyeimbang yang menyelamatkan kualitas kemanusiaan generasi masa depan.
TANTANGAN
Tetapi, tak Terdapat perubahan besar tanpa tantangan. Penerapan KBC tentu menghadapi sejumlah hambatan. Pertama, resistensi kultural dari sebagian pendidik dan birokrat yang terbiasa dengan pola pikir instruksional dan legalistik. Paradigma Kasih sering kali dianggap ‘terlalu lembut’, ‘kurang tegas’, bahkan ‘Kagak realistis’.
Kedua, ancaman reduksi implementatif. Terdapat kemungkinan KBC disimplifikasi sekadar menjadi program tambahan, bukan menjadi roh dari seluruh pembelajaran. Kalau KBC hanya diterjemahkan sebagai ‘tema mingguan’ tanpa menyentuh desain pembelajaran dan Pengkajian, ia berisiko kehilangan rohnya.
Ketiga, tantangan sumber daya Insan. Mengajar dengan Kasih bukan perkara teknis, melainkan sesuatu yang menyangkut kedewasaan emosional dan spiritual guru. Karena itu, program pelatihan dan pendampingan intensif menjadi keniscayaan agar guru tak hanya memahami substansi KBC, tapi juga Pandai menghidupkannya dalam laku.
Di tengah dunia yang kian riuh oleh kebencian dan polarisasi, KBC menjadi langkah radikal Demi mengembalikan Insan pada fitrahnya sebagai makhluk Kasih. Ia bukan kurikulum Normal, melainkan narasi besar Demi masa depan.
Kini tugas kita, para pendidik dan pemangku kebijakan, ialah menjaga bara Kasih itu tetap menyala di dalam kelas, di hati para murid, dan di relung-relung bangsa ini.

