‘GAGAL’ dan ‘berhasil’ kiranya bertetangga dekat. Penggunaan dua kata itu, walaupun berada di kutub yang bertolak belakang, bisa diterapkan dalam situasi yang sama. Itu tergantung perspektif apa yang digunakan.
Dalam memandang penurunan angka kemiskinan yang dilalukan pemerintahan Jokowi, misalnya, kata ‘berhasil’ dan ‘gagal’ bisa diterapkan sekaligus. Bila yang dimaksud ialah persentase orang miskin menurun selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, kata ‘berhasil’ boleh disematkan.
Fakta menunjukkan bahwa Jokowi berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 10,96% pada September 2014 (menjelang dilantik) menjadi 9,03% pada Maret 2024 (menjelang akhir masa jabatan). Secara jumlah, penduduk miskin juga berkurang jika bandingkan dengan satu dekade lalu, yakni berkurang 3,06 juta orang, dari 28,28 juta orang menjadi 25,26 juta orang.
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?
Tetapi, perjuangan Jokowi memerangi kemiskinan tetap ada yang menyebutnya dengan kata ‘gagal’. Apa tolok ukurnya? Barometernya target sebagaimana yang sudah dicanangkan dalam RPJMN (rencana pembangunan jangka menengah nasional). Kalau sudut pandang ukurannya target, fakta menunjukkan penurunan angka kemiskinan meleset, alias gagal mencapai target.
Mari kita kupas tahun demi tahun mengenai urusan target perang melawan kemiskinan itu. Berdasarkan data RPJMN dan Badan Pusat Tetaptik, angka kemiskinan ditargetkan turun menjadi 10% pada 2015. Tetapi, realisasinya angka kemiskinan masih 11,22%. Pada 2016, target penurunan angka kemiskinan menjadi 9,5%, tetapi realisasinya meleset dari target karena kemiskinan masih di angka 10,86%.
Pada 2017, angka kemiskinan di Indonesia masih 10,64%, tidak sesuai dengan yang ditargetkan di angka 9%. Kemudian pada tahun berikutnya pemerintah hanya mampu menekan angka kemiskinan di level 9,82%, gagal mencapai target yang sebesar 8%. Pada 2019, pemerintahan Jokowi juga gagal menekan angka kemiskinan sesuai dengan RPJMN. Dari target yang dipatok 7,5%, angka kemiskinan masih di angka 9,41%.
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Periode kedua kepemimpinan Jokowi juga gagal menurunkan angka kemiskinan sesuai dengan target. Pada RPJMN 2020-2024, pemerintah tidak meletakkan target angka kemiskinan secara per tahun, tapi mematok langsung ke akhir pemerintahan pada 2024, yakni di kisaran 6%-7%. Tetapi, sampai Maret 2024, angka kemiskinan di Indonesia masih 9,03%. Bilangan kemiskinan ekstrem yang ditargetkan lenyap pada akhir 2024 juga amat mungkin meleset dari target karena realisasinya hingga kini (tiga bulan menuju tutup tahun) masih ada lebih dari sejuta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Lewat, sebagian orang bertanya: jika demikian adanya, siapa yang salah? Kinerja atau targetnya? Kembali-lagi, seperti kata ‘berhasil’ dan ‘gagal’ yang bertetangga dekat, kata ‘salah’ dan ‘benar’ dalam konteks target capaian penurunan kemiskinan juga ‘bersaudara dekat’.
Soal salah dan benar itu kiranya selalu menjadi perdebatan sepanjang waktu, khususnya menjawab mana yang benar soal bagaimana cara pandang negara terhadap kemiskinan. Boleh jadi masih ada elemen negara yang berpandangan bahwa akar masalah kemiskinan di Republik ini ialah murni problem kultural. Padahal, dalam banyak riset disebutkan akar masalah kemiskinan di negeri ini ialah persoalan struktural.
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Dalam perspektif sosiologis, terjadinya kemiskinan bukanlah semata akibat seseorang itu kurang berusaha, pemalas, atau sekadar tidak beruntung sehingga jatuh miskin bahkan mewariskan kemiskinan. Kemiskinan acap kali berakar pada sebab struktural yang berada di luar kendali orang per orang.
Elemen penyebab itu bisa berwujud dalam regulasi yang tidak berpihak; diskriminasi yang membatasi akses terhadap pendidikan dan kesehatan; hingga kegagalan penciptaan lapangan kerja yang layak. Ditambah sumber daya ekonomi dan politik yang terkonsentrasi di segelintir orang, kian paripurnalah kemiskinan itu dilanggengkan oleh berbagai kebijakan yang bersifat struktural.
Dalam konteks itu, kegagalan menurunkan angka kemiskinan sesuai dengan target RPJMN yang dibikin sendiri oleh pemerintah lebih mengarah ke kegagalan mengatasi problem-problem struktural. Pun kemerosotan jumlah kelas menengah di Indonesia dalam lima tahun terakhir dan makin banyaknya orang yang turun kelas jadi masyarakat rentan miskin bisa dilihat sebagai fenomena pemiskinan struktural.
Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024
Kata Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin, penurunan kelas menengah ialah refleksi dari fondasi ekonomi Indonesia, yaitu kegagalan tranformasi struktural perekonomian, deindustrialisasi terlalu dini, dan ketidaktersambungan antara sektor pertanian, sektor industri, dan jasa.
Saya sepakat dengan penilaian itu. Persoalan struktural yang membelit kemiskinan di negeri ini mesti diatasi dengan cara-cara struktural. Kebijakan menahan agar orang tidak turun kelas saja masih rapuh, apalagi menaikkan kelas agar tidak menjadi miskin. Jadi, dibutuhkan upaya struktural yang ekstra dalam bentuk keberpihakan kebijakan bila mau target-target penurunan kemiskinan menjadi kenyataan.
Kalau bukan langkah seperti itu yang terjadi, wajar belaka bila banyak yang frustrasi, lalu menghibur diri, seperti tecermin dari seabrek syair lagu di negeri ini yang ‘membenarkan’ hidup dalam kemiskinan: ‘Biar miskin harta asal kaya hati’, ‘tidak apa jadi termiskin di dunia asal jadi yang paling mencintai dirimu’, ‘biarkan makan sepiring berdua asal selalu bersama’.