
MOMEN Ramadan dan Idul Fitri telah berlalu. Hiruk-pikuk tradisi mudik pun sudah berakhir. Pada momen hari raya keagamaan terbesar di Indonesia tersebut, perekonomian nasional selalu mendapatkan daya dorong ekstra dari belanja masyarakat. Selain didukung oleh kesempatan libur panjang, sebagian masyarakat juga mendapatkan tambahan pendapatan dari tunjangan hari raya. Tak heran, tingkat inflasi Dekat selalu melonjak pada momen Ramadan dan Idul Fitri setiap tahunnya.
Tetapi, Eksis yang menarik Apabila kita menengok kinerja inflasi pada Ramadan dan Idul Fitri tahun ini. Data yang dirilis BPS menunjukkan bahwa inflasi Lebaran yang Terperosok pada bulan April Rupanya hanya mencapai 0,33% secara bulanan. Tingkat inflasi ini, hanya sepertiga dari inflasi April 2022 yang mencapai 0,95%, dan juga lebih rendah Apabila dibanding dengan inflasi Ramadan dan Lebaran sebelum pandemi yang umumnya di atas 0,5%.
Jinaknya inflasi, sebenarnya sudah terjadi sejak awal tahun ini. Secara kumulatif inflasi pada Januari – Maret tahun ini hanya 0,68%, atau separuh dari inflasi pada periode yang sama tahun Lewat. Padahal, pada periode tersebut tahun Lewat belum Eksis dorongan inflasi Ramadan dan Lebaran.
Pelemahan konsumsi
Inflasi yang rendah memang dapat menjadi pertanda positif, khususnya apabila disebabkan oleh melimpahnya pasokan barang yang mendorong terkendalinya harga. Rendahnya inflasi April Buat bahan pangan, misalnya, juga dapat dipengaruhi oleh meningkatnya pasokan karena telah memasuki musim panen raya. Apalagi, akhir-akhir ini pemerintah juga mengimpor beras Buat memastikan pasokan di dalam negeri.
Akan tetapi, inflasi yang rendah juga dapat merupakan konsekuensi dari lemahnya daya dorong konsumsi, sebagaimana yang terjadi pada masa awal pandemi covid-19 di tahun 2020. Masalahnya, gejala pelemahan konsumsi pada tahun ini terlihat Terang pada beberapa indikator bersamaan dengan melemahnya inflasi.
Salah satunya ditunjukkan dari indeks penjualan retail hasil survei Bank Indonesia pada triwulan pertama tahun ini, yang Rupanya hanya tumbuh 1,6% secara tahunan. Sangat jauh di Dasar pertumbuhan pada triwulan pertama tahun 2022 yang mencapai 12,5%. Apabila ditelusuri lebih dalam, Rupanya mayoritas barang-barang mengalami penurunan penjualan secara tahunan, kecuali produk-produk makanan minuman. Buat makanan minuman pun, penjualan tahunannya pun hanya tumbuh 4%. Jauh di Dasar pertumbuhan triwulan pertama tahun Lewat yang menembus 20%.
Sejalan dengan itu, impor bahan baku dan penolong industri juga 6,6% pada triwulan pertama 2023. Padahal, impor kategori barang ini berkorelasi dengan pergerakan aktivitas produksi di Tanah Air, yang tentunya dipengaruhi oleh kekuatan konsumsi masyarakat. Fakta ini dikonfirmasi pula oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam PDB Triwulan Pertama tahun ini, yang hanya tumbuh 4,5% secara tahunan. Padahal, sebelum pandemi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu mencapai 5%.
Indikasi pelemahan daya beli masyarakat Demi ini terlihat lebih Terang pada masyarakat berpenghasilan Dasar. BPS melaporkan bahwa nilai Ganti petani pada April 2023 menurun 0,24% secara bulanan meskipun pada bulan-bulan sebelumnya mengalami kenaikan. Sementara Buat upah buruh, meskipun secara nominal Tetap meningkat tipis, secara riil Rupanya mengalami penurunan. Laporan BPS terakhir pada Desember 2022 menunjukkan bahwa upah riil buruh tani menurun 0,73%, sementara upah riil buruh bangunan terkontraksi 0,62%.
Setidaknya, Eksis tiga Unsur Krusial penyebab melemahnya konsumsi domestik pada tahun ini. Pertama, lonjakan harga barang-barang yang terjadi sepanjang tahun 2022 yang mengena terutama pada kebutuhan pokok, Bagus bahan pangan maupun Kekuatan, termasuk BBM bersubsidi. Inflasi yang lebih didorong oleh Unsur suplai ini telah menggerus daya beli masyarakat.
Kedua, luka akibat pandemi (scarring effect) yang belum sepenuhnya pulih, terutama yang menimpa masyarakat berpendapatan menengah Dasar serta usaha kecil dan mikro. Sejak awal pandemi covid-19 pada 2020, konsumsi rumah tangga nasional anjlok dan hingga kini pertumbuhannya belum Bisa menyamai level prapandemi yang mencapai 5%.
Ketiga, melemahnya permintaan Dunia yang menekan kinerja sektor-sektor yang mengandalkan pasar ekspor. Selain menurunnya harga komoditas andalan ekspor, sejumlah sektor manufaktur khususnya padat karya sejak akhir tahun Lewat, bahkan harus mengurangi jumlah karyawannya akibat anjloknya penjualan ekspor.
Kewaspadaan harus ditingkatkan
Mencermati beberapa indikasi pelemahan ekonomi domestik di atas, kewaspadaan pemerintah harus ditingkatkan. Apalagi, di tengah kekhawatiran resesi Dunia yang gejolaknya Demi ini sudah dirasakan di sejumlah negara. Intervensi kebijakan fiskal, moneter, serta kebijakan di sektor riil yang Betul Terang sangat dibutuhkan Buat meredam tekanan tersebut, khususnya bagi golongan masyarakat Dasar dan pelaku usaha kecil yang paling rentan.
Normalisasi kebijakan fiskal oleh pemerintah tahun ini harus dijalankan secara sangat hati-hati. Jangan Tiba Bahkan malah menambah tekanan terhadap daya beli masyarakat, dan meningkatkan kerentanan ekonomi domestik. Dari sisi belanja APBN, pemerintah perlu meningkatkan prioritas pada peningkatan income dan penciptaan lapangan kerja, termasuk program-program padat karya, khususnya bagi masyarakat berpendapatan Dasar. Pemberian Bonus pendanaan dan kemudahan akses pasar bagi pelaku usaha Bahkan perlu ditingkatkan, terutama bagi sektor-sektor yang paling rentan, serta usaha kecil dan mikro yang merupakan backbone ekonomi nasional.
Dari sisi penerimaan APBN, upaya menggenjot pajak harus dibedakan antara yang sektor-sektor yang sudah pulih dengan yang Tetap sukar pulih. Demikian pula, harus Eksis pembedaan antara usaha besar dan menengah, dengan usaha kecil dan mikro yang relatif lebih rentan.
Selain itu, langkah-langkah menjaga pasokan dan distribusi pangan perlu Lanjut diperkuat agar kebutuhan dasar masyarakat ini dapat terjangkau secara berkelanjutan.
Subsidi Kekuatan (BBM, gas, listik) yang ditargetkan Buat masyarakat kalangan Dasar juga harus Lanjut dipertahankan, dengan meminimalkan ketidaktepatan sasaran dalam distribusinya. Langkah-langkah tersebut Tetap sangat mungkin dilakukan di tengah upaya normalisasi fiskal Buat mencapai Sasaran defisit di Dasar 3% dari PDB tahun ini.