Jemput Paksa

MENJEMPUT kiranya urusan menyenangkan. Di antaranya ialah menjemput Keluarga yang pulang ke Tanah Air setelah menunaikan ibadah haji.

Menjemput juga punya pengertian mengambil seseorang akan dijadikan menantu. Ini pun urusan menyenangkan.

Gambaran lain ialah anak sekolah gembira menanti jemputan pulang atau pergi sekolah. Jemputan terlambat datang Membangun anak Resah.

‘Jemput bola’ kiasan menunjukkan sikap proaktif. Mengambil inisiatif. Bukan menunggu. Ini produk kejiwaan positif.

Yang terjadi pekan Lampau hal ihwal sebaliknya, yakni terjadi ‘jemput paksa’. Yang ‘menjemput’ terpaksa melakukannya akibat yang ‘dijemput’ tak datang. Dia menunggu ‘dipaksa’. Apa hebatnya dipaksa sehingga Terdapat yang memilih ‘dijemput paksa’ oleh penegak hukum seperti KPK? Celakanya yang memilih dirinya dijemput paksa itu Wakil Ketua DPR.

Kata konstitusi, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Akan halnya perihal ‘jemput paksa’ itu termaktub di dalam undang-undang. Yang dijemput paksa KPK itu bergelar doktor di bidang hukum sehingga sempurnalah pengetahuan dan pengertiannya mengenai ‘jemput paksa’.

Cek Artikel:  CCTV dan Poligami

Publik mungkin tak terkejut Tengah akan fakta Terdapat Wakil Ketua DPR bergelar doktor di bidang hukum berkelakuan melanggar hukum. Enggak terkejut karena sebelumnya Terdapat Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga bergelar doktor di bidang hukum ditangkap KPK dan malah dihukum seumur hidup.

Demikianlah Terdapat unsur pimpinan DPR (pembentuk undang-undang) dan pimpinan MK (penguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar) yang memenuhi seluruh persyaratan Buat terhormat di bidang hukum menjadi pelanggar hukum. Demi menghormati kedua lembaga itu (lembaganya tak ‘berdosa’), orang membahasakannya sebagai ‘oknum’. Apa artinya ‘oknum’? Inilah Insan yang telah ‘dibendakan’ di lembaganya. Dia bukan Tengah ‘orang di dalam jabatannya’, melainkan ‘benda’.

Nyatalah rasa hormat kita pada seseorang sejatinya perlu dikoreksi. Tinjaulah ulang bila rasa hormat itu disebabkan status tinggi dan gelar kesarjanaan tertinggi sekalipun. Buanglah Seluruh atribusi itu karena orang itu seketika dapat menjadi oknum, Insan yang dibendakan di dalam jabatannya yang terhormat sekalipun. Kiranya lihatlah seseorang di dalam jabatannya dengan seluruh gelarnya sebagai ‘orang’ bukan ‘orang-orangan’ dengan ‘seonggok predikat’ yang entah Ketika seketika dapat menjadi ‘oknum’.

Cek Artikel:  Kekuasaan Membikin Bodoh

Orang-orangan dengan seonggok status itu biarlah menjadi kehormatan protokoler formal saja. Bukan protokol substansial seperti kita Taat protokol kesehatan karena menyangkut keselamatan hidup orang banyak.

Di masa depan apakah Tetap akan Terdapat Tengah petinggi di Republik ini dijemput paksa oleh KPK? Kiranya semakin banyak pejabat yang dijemput paksa semakin Berkualitas Buat menunjukkan Enggak Terdapat elite yang tak dapat disentuh hukum. Juga semakin Berkualitas Buat memperlihatkan bahwa di negeri ini memang banyak elite yang tak punya malu. Juga semakin Berkualitas Buat memperkuat Fakta bahwa Pengaruh jera hanya teori.

Malah sepatutnyalah kita boleh menduga mungkin jemput paksa itu dinilai Berkualitas Buat riwayat hidup yang bersangkutan karena itu menunggu dipanggil paksa daripada datang sendiri. Isinya kira-kira menjadi begini: ‘Jabatan terakhir Wakil Ketua DPR (2019-2021). Di dalam jabatan itu dijemput paksa oleh KPK (September 2021)’. Di situ jemput paksa berubah ‘nada’ menjadi kebanggaan.

Cek Artikel:  Gendermu Hukumanmu

Yang bikin ‘terharu’ ialah Argumen tak memenuhi panggilan KPK karena sedang isoman, isolasi Independen di rumah. Semoga yang bersangkutan tetap sehat diisolasi di rumah tahanan KPK.

Mungkin Anda Menyukai