Holopis Kuntul Baris Gelombang Pasang Perubahan

Holopis Kuntul Baris: Gelombang Pasang Perubahan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

HOLOPIS kuntul baris kalimat slogan yang akrab di masyarakat Jawa pernah begitu Terkenal pada masa kemerdekaan. Bung Karno acapkali menggunakannya dalam pidato-pidato yang dikumandangkannya. Kalimat itu sebenarnya berasal dari Don Loppis Comte du Paris, seorang kapten Belanda yang mengawasi kerja rodi jalan Anyer-Panarukan.

Kapten yang berasal dari Paris, Prancis, ini sering meneriakkan kalimat ini Kepada ‘mendorong’ pekerja rodi lebih keras Kembali bekerja. Karena sering diteriakkan itulah, kalimat itu menjadi familier dan berubah menjadi holopis kuntul baris, yang diartikan dalam bahasa Indonesia holopis burung bangau berbaris.

Kalimat teriakan yang semula dipakai Kepada memaksa pekerja rodi bekerja lebih keras itu diubah oleh Soekarno menjadi teriakan semangat Kepada memperkuat semangat nasionalisme. Masa awal kemerdekaan, yakni muncul kecemasan dan keraguan atas Republik, Soekarno membakar semangat rakyat dan seluruh bangsa Indonesia Kepada bekerja sama dan bergotong royong dalam mengisi kemerdekaan. Presiden Republik Indonesia pertama ini menghindarkan disintegrasi nasional dengan melangkah mewujudkan janji-janji kemerdekaan. Eksis perubahan di sana.

 

Gelombang perubahan

“Sebanyak 81% responden menginginkan perubahan,” begitu rilis Utting Research sebuah lembaga survei independen Australia. Hasil ini mengejutkan karena selama ini mayoritas masyarakat Memperhatikan bahwa sebagian besar hasil survei lembaga survei nasional mengatakan masyarakat Tak menghendaki perubahan.

Perubahan dalam survei Utting Research ialah mereka yang menginginkan perubahan secara penuh sebanyak 20% dan keberlanjutan dengan perubahan sebanyak 61%.

Perubahan menjadi tema yang mengundang alergi bagi sebagian besar orang. Mereka menganggap perubahan itu mengubah tatanan yang sudah Berkualitas secara membabi buta. Pemahaman secara keliru ini dipertahankan dengan hendak mengabaikan bahwa perubahan merupakan keniscayaan dalam segala hal. Bagaimana Tak? Perubahan merupakan lokomotif peradaban.

Tonggak-tonggak sejarah nasional kita pun terdiri atas susunan semangat perubahan dari anak-anak Era itu.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 misalnya. Ini merupakan monumen Krusial bagi statement kebangsaan. Didasari semangat Kepada mengubah semangat yang kedaerahan menjadi lingkup nasional sebagai upaya pembebasan dari penjajahan. Pernyataan yang Tak hanya bersifat nasionalistik an-sich, tetapi lebih dari itu juga semangat berdikari.

Cek Artikel:  Antara Santri Tradisionalis dan Santri Modernis

Begitu pula Proklamasi Kemerdekaan 1945 merupakan titik awal rakyat Indonesia Kepada merdeka. Merdeka yang seperti apa? Merdeka sebagai hak segala bangsa Kepada keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan Lazim, dan seterusnya. Segala terdokumentasi dalam konstitusi kita.

Meminjam dari puisi Paul Fleming yang berjudul An Sich tahun 1641 itulah yang disebut dengan Wer sein selbst Meister ist und sich behherschen kann, dem ist die weite Welt und alles untertan. Semangat merdeka berdiri sendiri sehingga dapat berkuasa atas dirinya dalam kehidupan dunia yang terhampar luas.

Begitu pula berturut-turut fragmen perubahan nasional seperti peristiwa 1965-1966 yang membawa perubahan dari Orde lelet menjadi Orde Baru dan 1998 yang menutup Orde Baru dengan Reformasi. Inilah gerak sejarah yang Tak dapat dihalangi oleh siapa pun. Kehendaknya Tak Kembali Eksis pada penguasa, tetapi pada orang-orang Normal yang menyatukan diri dalam cita-cita yang sejalan. Hal-hal inilah yang kemudian secara general disebut dengan perubahan. Sesuatu yang oleh Demokritus (460-370 SM) didefinisikan sebagai ‘perubahan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain’.

Lantas mengapa Eksis yang alergi terhadap perubahan? Demokritis pun telah secara gamblang menjelaskan bahwa ‘watak alami Tak akan mengalami perubahan’. Watak alami penguasa tentu menginginkan langgeng dan lestarinya kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, bahwa Sosok dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak Kepada berkuasa (the will to power).

Dorongan ini, pada realitasnya akan bertabrakan satu dengan yang lain. Bernegara dengan demikian ialah memuarakan dorongan berkuasa pada kesepakatan Kepada memberikan hak mengelola kekuasaan pada sekelompok orang yang dipilih. Das sollen kekuasaan Eksis di tangan rakyat, tetapi das sein kekuasan di tangan sekelompok orang yang secara akumulatif dikelola Kepada mereka sendiri.

Dalam hal keharusan dan Fakta yang Berjumpa Eksis dalil perubahan di sana. Setidaknya, Eksis titik Berjumpa dari sebuah kesepakatan agar yang Fakta mendekati yang Semestinya. Titik pertemuan ini sedikit atau besar, sebagian atau seluruhnya merupakan perubahan. Term yang begitu diametral bagi pelanggengan dan keberlanjutan kepentingan-kepentingan penguasa.

Cek Artikel:  Narasi Nihil Kepemimpinan Pemuda dalam Politik Indonesia Kontemporer

Dalam bukunya Homo Deus, Yuval Noah Harari menulis, “Orang-orang biasanya takut akan perubahan karena mereka takut pada hal yang Tak diketahui. Tetapi, satu-satunya hal yang konstan dalam sejarah ialah bahwa segala sesuatu berubah.”

Apa yang harus diubah? Dalam janji kemerdekaan kita yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 terbentuknya suatu ‘…Pemerintah Negara Indonesia…’ yang salah satunya bertujuan Kepada memajukan kesejahteraan Lazim. Nyatanya Demi ini, Maret 2023, Nomor kemiskinan di Indonesia mencapai 9,36% dari total populasi Indonesia yang artinya setara dengan 25,90 juta orang. Dengan Nomor kemiskinan sebesar ini ditambah dengan Nomor gini rasio 0,381 berarti semakin banyak jumlah rakyat miskin dengan ketimpangan yang semakin melebar.

Di lain pihak, jumlah pengangguran yang mencapai 7,99 juta orang per Februari 2023 merupakan Nomor yang sangat besar bila dibandingkan Demi Februari 2019 yang hanya 6,79 juta orang. Nomor pengangguran ini juga semakin Tak baik dengan ketersediaan lapangan kerja yang Tak memadai. Artinya, sebagian besar lapangan pekerja didominasi oleh sektor informal. Sebanyak 60,23% pekerja bekerja di sektor informal. Banyaknya pekerja di sektor informal ini menjelaskan kenapa pertumbuhan ekonomi di Indonesia stagnan di Nomor 5%.

Nomor-Nomor ini mengonfirmasi hasil survei Utting Research, yang menyatakan sebanyak 51% responden menilai situasi ekonomi Indonesia Demi ini Tak baik. Ditambah Kembali dengan harga-harga kebutuhan pokok yang Lalu naik.

Bahkan, yang paling mencemaskan ialah kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok. Setidaknya Eksis 6 komoditas dari 9 kebutuhan pokok yang pemerintah Indonesia Lagi mengimpornya, Merukapan beras, susu, garam, bawang, daging, dan gula. Kita sebagai bangsa yang kondang dengan negeri yang gemah ripah loh jinawi Rupanya harus kebingungan mencari bahan pokok makanan dari negeri lain.

Kondisi-kondisi di atas, secara realitas, harus berhadapan dengan tingginya korupsi. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 ini di Nomor 34 merosot tajam dari tahun 2021 di Nomor 38. Situasi ini diperburuk oleh penegakan hukum yang Tak adil pada masyarakat Rendah, tajam ke Rendah tumpul ke atas sehingga kemudian muncul istilah: no viral no justice, penegakan hukum yang dikomando oleh gerakan Penduduk internet.

Cek Artikel:  Menanti Keberanian Pemerintah Mengusir Setan Pinjol

Dengan kondisi dan situasi yang Eksis tersebut, apakah Lagi kita bersandar pada kekeraskepalaan Kepada menolak perubahan. Perubahan disingkirkan dari ruang-ruang publik kita karena dianggap sebagai perilaku pesimistis, delusif, dan bahkan destruktif.

Padahal, semangat perubahan ialah semangat memperbaiki, sebuah semangat konstruktif juga mengembalikan nilai-nilai Berkualitas pada tempatnya. Kita mengenalnya sebagai semangat restorasi. Rakyat menyandarkan dirinya pada kekayaan pengetahuan dan kuatnya pikiran bahwa perubahan merupakan jalan bagi lestarinya bangunan bangsa dan negara Indonesia.

 

Penutup

Dalam sebuah pertunjukan wayang kulit yang bertajuk Ruwatan Kebangsaan yang digelar di Pantai Parangkusumo, Bantul, D.I. Yogyakarta pada 20 Juli 2023 tembang Gugur Gunung gubahan Ki Anom Suroto didendangkan oleh Anies Rasyid Baswedan, Sugeng Suparwoto, Yati Pesek, dan Dalijo Angkringan. Pesan kuat yang disampaikan dalam tembang itu ialah teriakan holopis kuntul baris, semangat bercancut tali wanda mengerjakan apa yang harus dan Dapat dikerjakan secara Serempak-sama.

Semangat gugur gunung nyambut gawe, gotong royong bekerja, membangun bangsa. Semangat perubahan ialah semangat membangun bangsa mewujudkan kesejahteraan Lazim, keadilan sosial, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perubahan dengan demikian bukan hal yang dapat ditolak, dia berada di tengah-tengah denyut jantung rakyat Indonesia. Semangat yang tumbuh dalam diri para pendiri bangsa juga. Sebagai sebuah denyut yang telah pasang menjadi gelombang, maka perubahan Tak perlu mencari orang atau waktu: datang pada Demi dan orang yang Cocok. Mengutip Barack Obama, “Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we’ve been waiting for. We are the change that we seek.”

Mungkin Anda Menyukai