Guru dan Kesejahteraan

Guru dan Kesejahteraan
(Dok. Pribadi)

MENGAJAR di abad 21 merupakan proses Elastis. Perubahan dalam dunia pendidikan,seperti Pengajaran, teori belajar, dan tujuan pendidikan, melahirkan berbagai tantangan bagi guru-pendidik (Zakaria, Don, Faiz, Yaakob, 2021:641). Di beberapa tempat, menurut Jepson & Forrest (2006), guru acap kali dihadapkan pada situasi yang menegangkan (Bukila dan Chen-Levi, 2021: 161). 

Keadaan tersebut disebabkan beberapa persoalan/konflik dalam pendidikan yang Tiba hari ini Tetap belum dapat diselesaikan, Yakni ketidakpuasan dan beban kerja. Banyak guru acapkali mengeluhkan ketidakpuasan dalam mengajar lantaran kebutuhan mereka Bukan dipenuhi. Lingkungan kerja yang Bukan sehat dapat memengaruhi bukan hanya motivasi, melainkan juga kepuasan, Rekanan sosial, performansi, dan kesehatan guru. 

Demi itu, di antara beberapa aspek yang dibutuhkan ialah mewujudkan lingkungan kerja yang dapat memenuhi persyaratan kesejahteraan guru di sekolah dan hal ini harus menjadi perhatian pimpinan sekolah (Zakakria, Son, Fariz, Yaakob, 2021: 641). Selain itu, praktik birokratis yang berlebihan, komunikasi Bukan Bagus, sikap menolak perubahan, budaya menyalahkan orang lain, menekan guru memperbaiki prestasi murid, Membikin guru Bukan merasa nyaman. 

Sementara itu, guru dituntut Membikin laporan harian dari pelbagai isu yang menambah beban guru, defisit pengetahuan, Kecewa dan menjadikan guru klerek. Menurut Buskila, Chen-Levi (2021:163) dan Holmes (2005:34), hal itu sebagai akibat dari Langkah pandang yang keliru, Yakni Menonton guru sebagai perpanjangan tangan fungsionaris birokrasi, bukan sebagai profesi, pekerja intelektual, pendidik, dan peneliti. 

Beberapa studi menunjukkan bahwa guru akan merasa puas apabila kesejahteraan dan lingkungan diperhatikan pimpinan agar guru merasa senang, gembira, dan menikmati mengajar di sekolah sehingga melahirkan mutu pembelajaran (Zakaria, Son, Fariz, Yaakob, 2021: 645). 

Cek Artikel:  Zakat dan RPJMN dari Ritual ke Revolusi Ekonomi, 80 Tahun RI Menuju Indonesia Emas 2045

 

Apa itu kesejahteraan? 

Riset tentang kesejahteraan orang menjadi momentum Demi pengembangan psikologi positif. Kajian kesejateraan dapat ditelusuri melalui tradisi kajian kemanusiaan dari tokoh psikologi seperti Abraham Maslow (1943), tentang hierarki kebutuhan dan Carl Rogers (1961) yang menekankan pada konsep menjadi Mahluk bermanfaat. Pusat perhatian kedua tokoh tersebut ialah pembangunan Mahluk yang sehat. 

Dua riset tersebut dilanjutkan Martin Seligman dengan meluncurkan Psikologi Positif sebagai subdisiplin ilmu psikologi dalam pidatonya di The American Psychological Association (APA) pada 1999. Gelombang pertama psikologi positif ialah menarik ilmu psikologi dari perhatian hanya Demi memperbaiki suatu yang terjelek dalam kehidupan ke membangun kualitas positif (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000: 5). 

Sementara itu, gelombang kedua, ilmu psikologi mengintegrasikan pengaruh positif dan negatif dari kehidupan dan Bangunan yang relevan secara budaya dalam mengkaji kesejahteraan (Wong, 2011). Jalan baru itu telah memungkinkan peneliti menjadi lebih terbuka dalam perspektif psikologi eksistensial, membuka jalan ke pembahasan lebih besar tentang pendekatan indigenos terhadap kesehatan dan pengobatan (Pasha-Zaidi, 2021; 27). 

Eksis dua pendekatan yang acap kali digunakan dalam riset kesejahteraan. Pertama, pendekatan hedonic yang Pusat perhatian pada kebahagiaan dan mendefinisikan kebahagiaan dalam istilah kesenangan dan terbebas dari kesakitan (hedonism). Kesejahteraan subjektif berkaitan dengan kondisi dari seluruh kehidupan yang memuaskan dan menyenangkan. 

Cek Artikel:  Maksudficial Intelligence Solusi Cerdas dalam Bingungkatan Efisiensi dan Keadilan Sistem Perpajakan di Indonesia

Kedua, pendekatan eudemonis Pusat perhatian pada Maksud dan realisasi/aktualisasi diri serta mendefinisikan kesejahteraan dalam tingkat seseorang memfungsikan dirinya. Kesejahteraan psikologi menggunakan pendekatan pembangunan Mahluk secara utuh, Yakni merealisasikan/mengaktualkan potensi dan menjadi Mahluk Bermanfaat (Akfirat, 2020: 287). 

Lebih lanjut Akfirat (2020: 287)–dengan mengutip Reff–mendefinisikan kesejahteraan bukan hanya dalam pengertian menikmati atau senang Tetapi usaha keras Demi mencapai tingkat terbaik dalam mewujudkan potensi yang sebenarnya dari seseorang. 

Eksis enam dimensi dalam kesejahteraan psikologi Yakni: (1) sikap positif terhadap dirinya sendiri dan masa lalunya; (2) Rekanan positif dengan orang lain, dapat dipercaya, dan positif dalam Rekanan dengan orang lain; (3) otonomi ialah kesadaran atau kemampuan Membikin keputusan sendiri, bebas, Pusat perhatian mengendalikan diri; (4) kemampuan menciptakan lingkungan yang Betul sesuai dengan kondisi personal dan spiritual orang; (5) Mempunyai rasa atau pemikiran bahwa seseorang secara konstan tumbuh dan berkembang sebagai individu; dan (6) tujuan hidup, yakni mempunyai pemikiran Demi mendapatkan kehidupan yang berarti.

 

Kesejahteraan guru 

Kesejahteraan bagi Seligman (2011) ialah memberdayakan Mahluk agar berhasil dan memenuhi tujuan tertinggi kehidupannya. Motivasi dan kesejahteraan diperlukan Demi mengajar. Adeka, Mede (2020: 25)–dengan mengutip Aelterman et al–mengartikan kesejahteraan guru dengan keadaan emosi yang positif sebagai hasil Selaras antara Unsur lingkungan Spesifik di satu sisi dengan kebutuhan dan Asa pribadi guru di sisi lain.

Dengan kata lain, kesejahteraan guru dipengaruhi Tanda khas pribadi, seperti pola pengendalian diri, kepercayaan akan motivasi diri dan strategi mengendalikan emosi dan Unsur eksternal seperti beban kerja, dukungan dari kolega dan pimpinan, iklim sekolah, penilaian dan masukan, kerja sama antarstaf, serta suasana kelas. 

Cek Artikel:  Akibat Polusi Udara pada Kesehatan

Di sekolah, kesejahteraan emosi guru dilakukan dengan mengembangkan lima kemampuan kognitif dan sikap: wawas diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, berinteraksi, dan Membikin keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Kesejahteraan guru di sekolah berkaitan erat dengan performansi murid. Praktik yang sehat mengangkat kesejahteraan perlu ditanamkan secara kuat dalam budaya sekolah (Holmes, 2005:4). Kesejahteraan murid yang Bukan Bagus dapat memengaruhi capaian akademik murid. Daya tahan yang rendah Demi melindungi kesejahteraan akan menjadi penghalang kemampuan belajar murid dan partisipasi dalam belajar yang dapat memengaruhi capaian belajar murid (Riva et al, 2020:103-104). Guru yang Mempunyai kepuasan tinggi dalam mengajar, Mempunyai moral positif dan sehat, Dapat dipastikan akan mengajar secara kreatif, menantang, dan efektif sebagaimana dikutip Adeka, Mede (2020: 26) dari Bajorek et al.

Dalam konteks sekolah, kesejahteraan menunjuk kepada hasil dari suatu proses mengenal emosi, mengelolanya, menetapkan dan mencapai tujuan positif, menghargai perspektif orang lain, membangun dan memelihara Rekanan yang positif, Membikin keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan menangani situasi antarpersonal secara konstruktif (Buskila, Chen-Levi, 2021:165). 

Segala hal itu akan terjadi Kalau kepala sekolah terlibat dalam mengembangkan kesejahteraan guru dengan mendorong guru melaksanakan tugas secara efektif, komitmen dan percaya diri yang tinggi, meningkatkan produktivitas, hasil belajar murid, serta membantu guru mengatasi stres (Buskila, Chen-Levi, 2021:165). Wallahualam bissawab.

Mungkin Anda Menyukai