FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air. Republik yang Lagi mengeja sebagai negara hukum (rechtsstaat).
Presiden Prabowo Subianto belakangan kerap mengumandangkan fenomena keserakahan atau serakahnomics yang dilakukan sejumlah pengusaha Buat mendulang keuntungan secara haram, seperti mengoplos beras.
Akibatnya, katanya, rakyat mengalami kerugian setiap tahunnya Sekeliling Rp100 triliun. “Rp100 triliun tiap tahun berarti lima tahun Rp1.000 triliun. Ini kejahatan ekonomi yang luar Lazim,” ujar Prabowo dalam pidatonya Demi penutupan Kongres PSI di Solo, Jawa Tengah, Minggu (20/7).
Fenomena keserakahan ekonomi sudah mencuat sejak Orde Baru. Aktornya Eksis yang berganti sesuai dengan patronase politik, Eksis pula yang tetap kukuh membangun kerajaan ekonomi. Tak tergoyahkan meski rezim berganti, bahkan makin menggurita karena sejumlah privilese diberikan kepada mereka.
Ungkapan klasik no free lunch alias tak Eksis makan siang gratis tentu berlaku bagi para pengusaha tersebut. Mereka diberikan segala keistimewaan dalam melebarkan sayap asalkan mereka mendukung kebutuhan finansial atau program-program mercusuar penguasa.
Eksis dua model penguasaan ekonomi di Tanah Air. Pertama, penguasaan ekonomi secara Absah melalui regulasi. Peraturan dibuat Buat menguntungkan Golongan pengusaha dengan menegasikan aspek sosial dan lingkungan. Kedua, pengusaha hitam yang menguasai sumber daya ekonomi secara ilegal (black economy).
Tetapi, dari dua pola penguasaan itu, Eksis benang merah yang sama: mereka bukan pemain tunggal, bukan one man show. Aktor-aktor yang menguasai sumber daya ekonomi tidak Dapat bekerja sendirian, tapi mereka berkelindan dengan para pemain kunci dalam bidang politik, Bagus eksekutif maupun legislatif.
Mereka pun Dapat menerobos pagar yudikatif, cabang kekuasaan yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan. Aparat penegakan hukum dan keamanan yang berada di garis depan pun, di lapangan, Bisa mereka lumpuhkan Bagus secara halus dengan penyuapan maupun mencopot komandan melalui ‘tangan kekuasaan’.
Alhasil, paripurnalah para aktor itu mencengkeram kuku mereka Buat menjarah sumber daya ekonomi. Padahal, cabang-cabang produksi yang Krusial bagi negara dan menguasai hajat hidup orang sejatinya dikuasai negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Penguasaan ekonomi yang hanya memperkaya pundi-pundi keuangan Golongan tertentu Semestinya Tak terjadi ketika rezim yang berkuasa menegakkan ayat (4) dalam Pasal 33 UUD 1945 bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sejarah mencatat Indonesia terpuruk dengan krisis yang bersifat multidimensional pada 1998 karena tata kelola penyelenggaraan negara yang Jelek, praktik lancung berbangsa dan bernegara yang berlumur dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Tata kelola yang menyimpang dari semangat Pembukaan UUD 1945 bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan Lazim, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, Membangun Indonesia terjun bebas dalam jurang krisis.
Trilogi pembangunan yang diusung Soeharto selama 32 tahun berkuasa, yakni stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan yang disokong ‘Mafia Berkeley’, geng ekonom Indonesia yang dididik di Universitas California, Berkeley, AS, gagal membawa negeri ini kepada pemerataan dan kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, rezim Soeharto malah menyuburkan KKN, memperkaya keluarga dan kroninya. Dengan prinsip gebuk bagi siapa pun yang menentang kebijakannya pada era Orba, the smiling general itu menghalalkan segala Metode Buat ‘melenyapkan’ para penentangnya.
Jurus Soeharto dengan dukungan militer (dwifungsi ABRI) menghadapi Golongan kritis dilakukan dengan segala Metode. Pertama, menjerat dengan delik subversif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kedua, mengintimidasi, meneror, penculikan, hingga penghilangan secara paksa.
Rakyat mendukung upaya Presiden Prabowo memberantas serakahnomics. Rakyat pun sepakat dengan apa yang dikatakan mantan Danjen Kopassus itu bahwa serakahnomics ialah vampir ekonomi yang menghisap ekonomi rakyat.
Walakin, pemberantasan serakahnomics Tak efektif apabila Prabowo hanya bekerja di hilir dengan mengerahkan aparat penegak hukum (Polri dan Kejaksaan Akbar).
Pasalnya, hal itu memerlukan upaya terstruktur, sistematis, dan masif dari hulu Tamat hilir dengan menguatkan aspek pengawasan dan pencegahan.
Terpenting, Prabowo harus membangun watak politik yang menolak keserakahan dalam berbagai bentuk. Seluruh kebijakan publik jangan dilakukan dengan gaya komando, top down, atau coba-coba, tetapi berbasiskan kajian akademis, akuntabilitas, tranparansi dan partisipasi publik yang berMaksud (meaningful partisipation).
Sikap Prabowo menolak keserakahan mestinya dimulai dari lingkungan terdekat. Pola hidup Prabowo dan para pembantunya yang sederhana dan merakyat harus ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari.
Program efisiensi anggaran harus dilanjutkan. Jangan omon-omon sehingga Tak Eksis kesenjangan antara das sollen dan das sein. Terlebih akhir-akhir sejumlah kementerian/lembaga ramai-ramai merengek meminta penambahan anggaran ke DPR RI.
Begitu pun pengangkatan 30 wakil menteri menjadi komisaris BUMN seyogianya ditinjau kembali meskipun Pelarangan Mahkamah Konstitusi Buat wakil menteri merangkap jabatan dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XXIII/2025 Lagi debatable karena bersifat pertimbangan hukum, bukan amar putusan.
Di tengah berbagai permasalahan domestik dan Dunia yang memukul ekonomi Indonesia, rakyat membutuhkan kepemimpinan yang autentik, Mempunyai sense of crisis. Juga kepemimpinan yang berintegriras, yakni satunya kata dan perbuatan. Tabik!

