
PEMILIHAN Biasa Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2024 di Area Jakarta diwarnai dengan tingginya Bilangan golongan putih (golput) atau masyarakat yang Kagak menggunakan hak pilihnya. Fenomena ini disebut sebagai golput tertinggi dalam sejarah Pilkada Jakarta sejak 2007 silam.
Bilangan partisipasi pemilih pada Pilgub DKI Jakarta 2024 hanya mencapai 4.357.512. Sementara itu, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 8.214.007. Artinya, partisipasi pemilih di Ibu Kota Terdapat di Bilangan 53,05 persen atau yang golput mencapai 46,95 persen.
Peneliti Perkumpulan Kepada Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal mengatakan Terdapat beberapa Elemen penyebab rendahnya partisipasi Anggota Jakarta dalam Pilkada. Salah satunya karena Terdapat kejenuhan yang timbul di masyarakat lantaran dihadapkan pada dua pemilihan dalam rentang waktu berdekatan.
“Artinya pemilih yang menyuarakan hak pilihannya itu kemudian Kagak menjadi mayoritas. Menurut analisis kami, salah satu faktornya adalah adanya kejenuhan yang mungkin terjadi. Kejenuhan itu disebabkan karena jarak waktu pemilihan Pilpres-Pileg dan Pilkada terlalu berdekatan,” ujarnya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Kamis (28/11).
Menurut Haykal, penurunan partisipasi tersebut juga semakin diperparah karena perilaku dan moral elite politik hingga pejabat negara yang sudah Kagak Mempunyai rasa segan, malu atau takut dalam cawe-cawe dan secara terang-terangan menunjukkan keberpihakan terhadap salah satu kandidat atau paslon di Pilkada 2024.
Selain itu, Haykal menilai bahwa tingginya Bilangan golput di Jakarta menandakan adanya kegagalan mesin partai politik dalam menyuguhkan para calon yang dibutuhkan masyarakat. Menurutnya, pola itu sudah terbaca sejak awal pendaftaran paslon.
“Apalagi pasca penetapan Kekasih calon di DKI Jakarta, muncul gerakan coblos tiga paslon. Artinya Terdapat gerakan-gerakan di masyarakat yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap calon-calon yang tersedia, sehingga masyarakat Menyaksikan Kagak Terdapat yang Dapat dipilih di dalam calon-calon yang tersedia,” jelasnya.
Lebih lanjut, Haykal menjelaskan bahwa Elemen teknis seperti pengurangan TPS dalam Pilkada 2024 juga dapat menjadi Elemen turunnya Bilangan partisipasi masyarakat dalam memilih.
“Mungkin Dapat menyebabkan kondisi menurunnya partisipasi pemilih itu karena jumlah TPS yang diperkecil. Kalau jumlah TPS di pilkada ini separuh dari jumlah TPS di pemilu, sehingga Terdapat kondisi di mana jarak antara rumah pemilih dengan TPS itu mungkin bertambah semakin jauh,” tuturnya.
Haykal memaparkan bahwa dari pantauan Perludem di berbagai TPS pada Area Jakarta, Bilangan partisipasi pemilih sangat rendah. Disebutkan dari 500 Tiba 600 pemilih yang terdaftar DPT pada TPS, Anggota yang menggunakan hak pilihnya hanya Sekeliling 200 Tiba 250an pemilih.
“Dan kalau kita Menyaksikan misalnya data dari Jaga Bunyi 2024, Kepada pemilihan gubernur DKI Jakarta itu data yang masuk sudah 99,93 persen. Dan kalau kami hitung secara manual jumlah Bunyi itu lebih kurang hanya 4,5 juta. Tentu ini menyebabkan terjadinya penurunan pemilih di dalam proses pilkada kali ini,” katanya.
Haykal menilai tingginya Bilangan golput di Jakarta pada Pilkada tahun ini harus menjadi bahan Pengkajian para partai politik hingga penyelenggara pemilu. Menurutnya, Bilangan partisipasi yang rendah ini akan berdampak pada kurangnya legitimasi paslon terpilih.
“Ketika pemilih golput itu jauh lebih tinggi daripada pemilih yang kemudian memilih kandidat pemenang, tentu itu akan menyebabkan hasil pilkadanya menjadi kurang Mempunyai legitimasi karena pemilih yang golput itu jauh lebih tinggi,” tandasnya. (Dev/M-3)

