Gen Z cari pengalaman lokal dengan berkunjung ke desa wisata

Jakarta (ANTARA) – Pengamat pariwisata dari Universitas Andalas Sari Lenggogeni menyebut bahwa Demi ini para wisatawan terutama yang berasal dari kalangan generasi Z lebih Getol mencari pengalaman lokal yang dianggap menyenangkan di desa wisata.

Sari, Demi dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu, mengutip survei yang dilakukan sebuah platform pemesanan hotel, menyebutkan Gen Z mencari tempat wisata yang mengadopsi konsep berkelanjutan dan pengalaman lokal, yang kerap ditawarkan desa wisata.

Sari menekankan Demi ini gen Z Mempunyai ketertarikan Kepada menjadi bagian dari sebuah budaya lokal. Misalnya, mulai dari tempat penginapan yang tradisional, menggunakan sepeda yang dipakai Kaum sehari-hari, dan aneka kebiasaan lainnya.

Gen Z, katanya, juga Getol datang ke destinasi seperti desa wisata yang dianggapnya tertata, mempunyai perkumpulan (komunal) yang spesifik.

Cek Artikel:  tiket.com luncurkan Naskah saku digital "tiket Guide"

“Misalnya apakah komunal dapur, ruang tamu komunal, Jenis-Jenis ya. Itu Dapat diciptakan sehingga orang merasa Terdapat interaksinya tinggi, Terdapat kebersamaan di sana, ini yang harus dibuat atraksi-atraksi inovatif ini dan kesiapan kebersihan serta tata kelolanya, tata letak infrastruktur, tata kelola,” kata Sari.

Menurut Sari, minat yang besar tersebut Tak boleh Membikin pengelola desa wisata melupakan prinsip lokal. Seluruh pihak yang terlibat diharapkan tetap menjunjung tinggi nilai, kepercayaan serta aturan-aturan yang Terdapat Kepada diikuti oleh para wisatawan.

“Misalnya tata ruangnya seperti di Bali juga Terdapat kan Terdapat asas-asas, itu prinsip dalam membangun suatu daerah, di Toba pun juga seperti itu. Ini yang harus dijaga. Ini harus dikawal Serempak secara bottom up dan top down,” ujar dia.

Cek Artikel:  33 museum se-Indonesia pamerkan koleksi unggulan di Kota Semarang

Hal lain yang juga dicari oleh wisatawan dari kalangan Gen Z adalah pengalaman slow living (hidup dalam laju Pelan) yang dianggap menenangkan. Para wisatawan menganggap bahwa slow living yang otentik datang dari nilai-nilai yang diterapkan oleh desa wisata itu sendiri.

Biasanya wisatawan yang Ingin melakukan slow living bakal menghabiskan waktu Sekeliling tujuh hari atau lebih Kepada menetap menikmati kebudayaan dan keseharian Kaum lokal di satu tempat. Berbeda dengan fast tourism (berwisata dalam waktu kunjung singkat) yang hanya menghabiskan waktu selama tiga atau empat hari.

Oleh karena itu, Sari berharap Kementerian Pariwisata dapat memperhatikan kluster desa wisata dan menentukan mana desa yang harus dijadikan prioritas, termasuk desa-desa yang sudah mendapatkan penghargaan Global.

Cek Artikel:  Tiga destinasi alam Asia Tenggara Buat liburan musim panas keluarga

Langkah tersebut dinilai dapat mendorong wisatawan Kepada melakukan kunjungan ulang,sehingga pertumbuhan ekonomi terutama dari sektor pariwisata dapat dijaga.

“Jadi, harus dijaga, kesiapan destinasi harus siap, ini yang harus jadi Konsentrasi Kementerian Pariwisata. Misalnya berapa yang kemarin dapat penghargaan ASEAN Awards, itu harus segera jadi perhatian karena itu Dapat dikurasikan seperti apa wisatanya, Dapat jadi bench marking atau edukasi,” ucap Sari.

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan Mekanis Kepada AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Informasi ANTARA.

Mungkin Anda Menyukai