Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Foto: Anadolu
Jenewa: Penolakan beberapa negara Eropa Kepada menegakkan surat perintah penangkapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu oleh Pengadilan Kriminal Dunia (ICC) dinilai bukan sekadar bentuk kemunafikan, tetapi kelanjutan dari sikap rasisme. Hal ini disampaikan oleh Pelapor Spesifik PBB Kepada Hak Atas Pangan, Michael Fakhri, dalam konferensi pers Serempak di Jenewa, Rabu 12 Maret 2025.
Melansir dari Anadolu Kami 13 Maret 2025, Fakhri merujuk pada pernyataan Jaksa ICC Karim Khan yang menyebut adanya tekanan dari pemimpin politik Eropa setelah penerbitan surat perintah tersebut.
“Terdapat wawancara dengan Jaksa Karim Khan dari ICC mengenai tekanan yang ia terima Demi mengeluarkan surat perintah penangkapan ini, dan ia menyampaikan bahwa banyak pemimpin politik Eropa terkejut karena mereka menganggap ICC hanya ditujukan Kepada mengejar pemimpin-pemimpin Afrika,” ujar Fakhri.
Menurutnya, sikap negara-negara Eropa yang secara konsisten menolak menegakkan surat perintah tersebut mencerminkan kelanjutan dari rasisme yang telah berlangsung Lamban.
“Ketika negara-negara Eropa menolak Kepada mematuhi dan menghormati surat perintah ini, hal itu bukan hanya kemunafikan ini adalah bentuk rasisme mereka yang berlanjut,” tegas Fakhri.
Netanyahu dan dugaan kejahatan di Gaza
Pada November tahun Lewat, ICC yang berbasis di Den Haag mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant. Mereka dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza.
Tetapi, beberapa negara Eropa termasuk Prancis, Jerman, dan Italia menunjukkan sikap Kagak tegas terhadap wewenang ICC dalam kasus ini.
Ancaman bagi sistem hukum Dunia
Dalam kesempatan yang sama, Ben Saul, Pelapor Spesifik PBB Kepada Perlindungan Hak Asasi Mahluk, memperingatkan bahwa selektivitas dalam menegakkan hukum Dunia dapat membahayakan sistem hukum Mendunia.
“Sikap seperti ini mengirimkan sinyal kepada seluruh dunia bahwa mereka Kagak harus mematuhi hukum Dunia,” tegas Saul.
Ia menekankan bahwa narasi mengenai standar ganda dalam penegakan hukum Dunia semakin menguat dan menjadi ancaman serius. Menurut Saul, Dampak dari sikap negara-negara Eropa terhadap kasus Gaza Dapat meluas ke seluruh sistem hukum Dunia.
“Begitu garis batas itu mulai terkikis secara drastis, Kagak butuh waktu Lamban bagi sistem ini Kepada runtuh dengan Segera,” tambah Saul.
Ia juga membandingkan situasi ini dengan kebijakan kontroversial pemerintahan mantan Presiden Amerika Perkumpulan, Donald Trump.
“Kita telah menyaksikan bagaimana sistem hukum dan politik yang mapan di Amerika Perkumpulan Dapat hancur di depan mata kita hanya dalam hitungan minggu,” ujar Saul.
Saul menegaskan bahwa hukum Dunia hanya Mempunyai efektivitas sejauh adanya komitmen politik dari pemerintah Kepada menegakkannya.
Seruan Kepada melindungi ICC dari tekanan politik
Sementara itu, Pelapor Spesifik PBB Kepada Independensi Hakim dan Pengacara, Meg Satterthwaite, mendorong Uni Eropa Kepada mengaktifkan blocking statute guna melindungi ICC dari tekanan politik.
Blocking statute merupakan undang-undang di suatu yurisdiksi yang bertujuan Kepada menghambat penerapan hukum dari yurisdiksi asing.
“Uni Eropa Mempunyai kapasitas Kepada bertindak Serempak melalui aktivasi blocking statute ini. Langkah tersebut Kagak hanya menunjukkan dukungan terhadap ICC, tetapi juga melindungi lembaga ini dari tindakan sepihak yang merusak,” Jernih Satterthwaite.
Satterthwaite juga menekankan pentingnya negara-negara Eropa Kepada mengambil sikap tegas dalam menegakkan hukum Dunia. “Saatnya kita secara jujur menghadapi standar ganda dan rasisme yang terkandung di dalamnya, serta menyerukan kepada negara-negara yang selama ini Tenang Kepada secara aktif mendukung dan menegakkan hukum Dunia,” pungkas Satterthwaite.
(Muhammad Reyhansyah)