KREDO seorang dokter ialah aegroti salus lex suprema. Artinya, keselamatan pasien ialah hukum yang tertinggi. Kepada profesi itu pula, sakit atau sembuh, bahkan hidup atau Wafat, buat sebagian bergantung kepadanya.
Profesi dokter dihormati. Itulah profesi yang Kepada meraihnya memerlukan kecerdasan dan ketekunan yang lebih. Dalam profesi itu bersemayam kepercayaan, kredibilitas, dan respek.
Dipercaya bahwa dokter akan berjalan tegak lurus atas sumpah yang diucapkannya. Memang, setelah lulus pendidikan, dokter wajib mengucapkan sumpah sebagai pertanggungjawaban moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalankan tugas.
Eksis dua dari 11 butir sumpah yang Istimewa. Pertama, “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.” Kedua, “Saya akan menjalankan tugas dengan Metode yang terhormat dan bersusila sesuai dengan Harkat pekerjaan saya sebagai dokter.”
Demi ini, menjadi dokter, apalagi dokter spesialis, bukan Tengah semata panggilan Kepada menyelamatkan kehidupan dan kemanusiaan, melainkan juga sebuah perhitungan perihal Bilaman modal kembali. Dokter pun tersesat dalam gaya hidup hedonis.
Gaya hidup itulah yang menjadi Elemen pemicu dokter melenceng sangat jauh dari kepentingan perikemanusiaan dan Metode bersusila seperti lafal sumpah jabatan mereka.
Kebetulan saja, hari-hari ini, paling disorot ialah profesi dokter anestesi, dokter spesialis yang bertanggung jawab dalam proses pembiusan sebelum pasien menjalani operasi.
Eksis dua kasus paling disorot terkait dengan dokter anestesi. Pertama, menyangkut Duit tunjangan dokter anestesi berujung Mortalitas ibu hamil di Rumah Sakit Lazim Daerah TC Hillers Maumere, Nusa Tenggara Timur. Kedua, kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan calon dokter anestesi di Bandung, Jawa Barat.
Mortalitas ibu dan anaknya terjadi akibat ketiadaan dokter anestesi di RSUD Hillers Maumere. Dua dokter anestesi mogok kerja karena rumah sakit Tak memenuhi permintaan keduanya terkait dengan tunjangan.
“Akibat dari Tak bekerjanya dua dokter anestesi Eksis pasien yang meninggal di RSUD. Saya sedih mendengarkan informasi itu hanya karena meminta tunjangan yang sangat besar, sementara keuangan daerah terbatas,” kata Gubernur NTT Melki Laka Lena, Jumat (11/4).
Seorang ibu hamil meninggal dunia di RSUD TC Hillers Maumere pada Rabu (9/4) setelah batal menjalani operasi cesar anak pertamanya karena Tak adanya dokter anestesi.
Mortalitas pasien di RSUD TC Hillers Maumere bukan kasus pertama. Sebelumnya, pada 14 Januari 2025, seorang pasien juga meninggal dunia. Pasien itu, setelah satu minggu dirawat, gagal menjalani operasi karena Tak Eksis dokter anestesi.
Eksis dua dokter anestesi di RSUD TC Hillers Maumere. Satunya memilih mengundurkan diri dan satu Tengah Tak memperpanjang kontrak karena masalah tunjangan. Gubernur Melki Laka Lena sudah meminta Kementerian Kesehatan Kepada mencabut surat izin praktik (SIP) kedua dokter anestesi tersebut.
Permintaan pencabutan SIP oleh Gubernur Melki Laka Lena patut diapresiasi. Profesi dokter itu sangat mulia karena mestinya kepentingan masyarakat didahulukan ketimbang kepentingan pribadinya, dalam hal ini tunjangan.
Tetap terkait dengan kasus profesi dokter anestesi, kali ini salah satu mahasiswa yang menjadi peserta program pendidikan dokter spesialis tersangkut dugaan pemerkosaan.
Pelaku ialah mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi semester dua. Kepolisian Daerah Jawa Barat menyebutkan pelaku diduga memerkosa tiga korban di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Dua korban ialah pasien yang tengah dirawat di RSHS dan seorang Tengah ialah Perempuan penunggu pasien.
Kejahatan seksual yang diduga dilakukan dokter itu Tetap ditangani pihak kepolisian. Ia ditahan sejak 23 Maret 2025. Terduga pelaku juga sudah diberhentikan dari status mahasiswa PPDS dan dilarang praktik seumur hidup.
Dokter anestesi termasuk profesi yang langka di negeri ini. Jumlahnya Sekeliling 3.566 orang di Indonesia, dengan rasio 0,2 dokter anestesi per 1.000 penduduk.
Harus diakui bahwa negeri ini memang kekurangan dokter spesialis. Data Bappenas menyebutkan jumlah dokter spesialis 49.670 orang. Rasio ideal ialah 0,28 per 1.000 penduduk sehingga Indonesia Tetap kekurangan 29.179 dokter spesialis.
Indonesia Tetap kekurangan Sekeliling 29 ribu dokter spesialis. Sejauh ini, negara ini baru Bisa menghasilkan 2.700 dokter spesialis per tahun, jauh dari kebutuhan ideal yang mencapai 32 ribu dokter spesialis per tahun.
Butuh waktu 10 tahun Tengah Kepada Dapat memenuhi kuota dokter spesialis Karena kualifikasi itu hanya dihasilkan 22 penyelenggara PPDS dari 115 fakultas kedokteran di Indonesia.
Persoalan lain menyangkut distribusi dokter spesialis. Rata-rata dokter spesialis itu Eksis di Pulau Jawa dan di kota besar lainnya di Indonesia. Sekeliling 59% dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sedikitnya 30 provinsi Tetap kekurangan dokter spesialis dan 34% RSUD belum Mempunyai tujuh spesialis dasar.
Kuantitas dokter spesialis memang menjadi persoalan, tetapi lebih soal Tengah ialah dokter sendiri Tak memuliakan profesi mereka. Kasus Duit dan seks sejatinya senila titik yang merusak susu sebelanga kemuliaan dokter anestesi.

