Javad Zarif mundur dari jabatan sebagai Wakil Presiden Iran. Foto: Anadolu
Teheran: Wakil Presiden Iran Kepada Urusan Strategis, Mohammad Javad Zarif, secara Formal mengundurkan diri dari jabatannya menyusul tekanan politik yang Lanjut meningkat. Keputusan ini diambil setelah ia menerima “saran” dari Ketua Kehakiman Iran, Gholam Hossein Mohseni-Ejei.
Dalam sebuah pernyataan yang diunggah di X pada 3 Maret 2025, Zarif mengungkapkan bahwa dirinya telah “diundang” oleh Mohseni-Ejei Kepada berdiskusi, di mana ia disarankan agar kembali ke dunia akademik guna “mengurangi tekanan terhadap pemerintahan.”
Tekanan politik dan kontroversi penunjukan Zarif
Zarif, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Iran, telah menjadi sumber ketegangan sejak ditunjuk dalam pemerintahan Presiden reformis Masud Pezeshkian. Kalangan konservatif garis keras menilai pengangkatannya melanggar undang-undang tahun 2022 mengenai syarat pejabat tinggi.
Kritikus menyebut bahwa Zarif Tak layak menjabat karena kedua putranya—yang lahir di Amerika Perkumpulan Begitu ia menempuh pendidikan di negara tersebut—Mempunyai kewarganegaraan ganda Iran-AS. Keberadaan mereka telah Pelan dijadikan Dalih Kepada meragukan loyalitas Zarif, dengan tuduhan bahwa ia Mempunyai terlalu banyak koneksi dengan pihak asing.
Pada Agustus 2024, Zarif sempat berupaya mengundurkan diri hanya dua minggu setelah dilantik, dengan Dalih perbedaan pendapat dengan Pezeshkian mengenai komposisi kabinet yang didominasi tokoh konservatif. Tetapi, belakangan terungkap bahwa tekanan dari Grup oposisi terhadap aturan hukum menjadi Dalih Istimewa di balik keputusannya.
Akibat terhadap Interaksi Iran dan AS
Menurut Ruhollah Rahimpour, analis politik yang berbasis di Turki, pengunduran diri Zarif menandai berakhirnya Asa Iran Kepada membuka kembali jalur negosiasi dengan Amerika Perkumpulan.
“Dengan keluarnya Zarif dari pemerintahan, Kesempatan Kepada kembali ke meja perundingan dengan AS serta pencabutan Hukuman secara efektif telah tertutup,” ujar Rahimpour, seperti dilansir dari Radio Liberty, Selasa 4 Maret 2025.
Keputusan ini terjadi hanya sehari setelah parlemen Iran melakukan pemakzulan terhadap Menteri Ekonomi Abdolnasser Hemmati. Dengan Bunyi 182-82 pada 2 Maret, para legislator Formal memberhentikan Hemmati, yang dikenal sebagai pendukung dialog dengan AS.
Kondisi ini semakin memperburuk situasi bagi Presiden Pezeshkian, yang sebelumnya mengejutkan banyak pihak dengan kemenangannya dalam pemilu Juli Lampau. Awalnya, kepemimpinannya dianggap sebagai Kesempatan Kepada memperbaiki Interaksi Iran dengan Barat.
Krisis ekonomi Iran kian parah
Ketidakstabilan politik terjadi di tengah krisis ekonomi yang semakin dalam. Iran Begitu ini menghadapi lonjakan inflasi dan depresiasi tajam mata Doku nasionalnya.
Menurut laporan AFP, nilai Salin rial Iran di pasar gelap telah anjlok hingga lebih dari 920.000 per dolar AS jauh lebih Tak baik dibandingkan dengan 600.000 per dolar pada pertengahan 2024.
Kondisi ini semakin memperburuk biaya hidup bagi rakyat Iran. Data dari otoritas statistik negara menunjukkan bahwa Sekeliling sepertiga populasi hanya berpenghasilan kurang dari USD2 per hari, Membikin mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Kebijakan Pezeshkian dan sikap Khamenei
Selama sidang pemakzulan Hemmati, Pezeshkian mengungkapkan bahwa dirinya awalnya mendukung dialog dengan Amerika Perkumpulan. Tetapi, ia mengubah pendiriannya setelah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei menyatakan penolakannya terhadap negosiasi dengan pemerintahan Donald Trump pada bulan Lampau.
Rahimpour menambahkan bahwa secara implisit, Pezeshkian menyalahkan Khamenei atas gagalnya Iran terlibat dalam perundingan dengan AS. Pernyataan tersebut, menurutnya, Tak diterima dengan Bagus oleh Khamenei, yang Mempunyai kewenangan tertinggi dalam kebijakan negara.
“Establishment politik, terutama Khamenei, tampaknya mengambil langkah Kepada menghukum Pezeshkian,” ujar Rahimpour, mengacu pada keputusan mencabut dukungan terhadap keberadaan Zarif dan Hemmati di dalam pemerintahan.
Akibat Hukuman dan warisan Zarif
Sebagian besar masalah ekonomi Iran dikaitkan dengan Hukuman berat yang diberlakukan oleh AS. Setelah Trump kembali ke Gedung Putih pada 20 Januari, Washington kembali menerapkan kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Teheran.
Kesepakatan nuklir Iran 2015 yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) awalnya memberikan Iran keringanan dari Hukuman dengan imbalan Restriksi pada program nuklirnya. Tetapi, Trump menarik AS dari perjanjian tersebut pada 2018, menyebabkan Iran kembali terisolasi secara ekonomi.
Zarif, yang dikenal sebagai arsitek Istimewa JCPOA Begitu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di era Presiden Hassan Rohani, juga menjadi sosok kontroversial di kancah politik Iran. Ia kerap mendapat kritik Global atas pernyataannya yang membenarkan pelanggaran hak asasi Orang, kebijakan wajib hijab, serta berbagai retorika nasionalisnya.
Kini, dengan kepergiannya dari pemerintahan, prospek Interaksi Iran dengan Barat semakin suram, sementara krisis domestik Lanjut membayangi negara tersebut.
(Muhammad Reyhansyah)

