
DATA Dunia dari UNHCR menunjukkan bahwa 117 juta orang telah terusir dari rumahnya akibat perang, persekusi, konflik, bencana alam, serta krisis ekonomi yang kini tersebar di 134 negara. Dari jumlah itu, 50% di antaranya berasal dari negeri-negara mayoritas muslim, termasuk 12.710 imigran yang menjadikan Indonesia sebagai transit. Indonesia perlu menunjukkan komitmennya dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan Dunia tersebut, salah satunya bermitra dengan komunitas muslim melalui filantrofi Islam.
Keterbatasan diplomasi antarnegara
Indonesia bukanlah negara penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan protokol tambahannya. Sebagai pihak nonpenandatangan (non-signatory party), Indonesia Tak Mempunyai kewenangan dalam penetapan status pengungsi dan harus menunggu mandat dari UNHCR. Oleh karena itu, Indonesia Mempunyai tanggung jawab terbatas dalam penanganan imigran ilegal dan harus bekerja sama dengan Organisasi Dunia Demi Migrasi (IOM) selain dengan UNHCR.
Meskipun bukan negara pihak Konvensi 1951, Indonesia menghargai prinsip dasarnya, seperti tak memulangkan paksa (non–refoulement). Tanggung jawab Indonesia juga ditunjukkan dengan merilis Perpres 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri sebagai kerangka nasional perlindungan pencari suaka. Regulasi tersebut hanya mengatur soal deteksi, penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian, termasuk meneguhkan keberadaan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) dan Rumah Komunitas di 13 kota sebagai penampungan. Eksis tembok besar Demi aktor nonpenandatangan konvensi, seperti Indonesia, Ingin melakukan aksi humanitarian.
Diplomasi tradisional antarnegara yang berlandaskan kedaulatan Westphalia menemukan kebuntuan di ranah humanitarian seperti ini. Diplomasi tradisional, menurut Robert Sharp (2009), berfokus pada mengelola perbedaan antara dua negara yang Bertanding sehingga bercorak bilateral dan tak terlalu hirau pada kepentingan di luarnya, ‘kepentingan komunitas Dunia’. Logika bilateralis bertumpu pada saling rekognisi dan negosiasi dua negara.
Masalahnya, bilateralisme yang berlandaskan kepentingan tradisional militer dan politik terkadang Dapat beranjak ekstrem dengan lebih memilih ‘bilateral multipel’ daripada ‘kesepakatan Dunia’ yang berpotensi menggerogoti kedaulatan negara. Menandatangani suatu konvensi berarti membuka salah satu pintu kedaulatan bagi aktor luar.
Hal itu karena ranah humanitarian Mempunyai dua kaveling, teritorial yang merujuk pada akses fisik-geografis korban bencana kemanusiaan dan alam serta institusional yang mengacu pada kepastian perlindungan dan keselamatan korban secara sosial, politik, dan militer.
Meningkatnya kesalingterhubungan akibat globalisasi membuka pintu Kesempatan masuknya keperdulian baru persoalan sosial, budaya, dan ekonomi, tetapi juga menyempitkan tingkat diplomasi tradisional antarnegara. Keamanan tak Tengah semata keamanan tradisional secara militer, tapi bergerak ke arah keamanan Sosok. Respons pada persoalan humanitarian, termasuk penanganan pengungsi, membutuhkan keterlibatan aktor nonnegara. Negara dipaksa membuka diri pada aktor nonnegara Demi menghadapi isu-isu HAM atau persoalan kemanusiaan yang kompleks.
Di ranah humanitarian, diplomasi level nonnegara Dapat lebih efisien karena lebih luwes bergerak. Sementara itu, negara Dapat terbelenggu oleh hambatan dan pertimbangan politis. Indonesia menjadi bukti bagaimana status sebagai pihak nonpenandatangan Konvensi 1951 membatasi geraknya dalam penanganan pengungsi. Misalnya lain ialah kemandulan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam menyelesaikan krisis Suriah karena tersandera pertarungan alot kepentingan dua negara anggotanya, Arab Saudi dan Iran. Demi itulah peran aktor nonnegara tak Dapat diabaikan.
Diplomasi humanitarian intersosial
Penanganan pencari suaka membutuhkan pendekatan diplomasi baru yang multipihak. Hingga kini, belum Eksis kesatuan pandang definitif diplomasi humanitarian. Ia merupakan area diplomasi yang mencakup pemberian respons humanitarian pada situasi konflik bersenjata, keterusiran massal, epidemi, atau bencana alam. Keragaman prioritas, tujuan, hingga aktor yang terlibat dalam situasi darurat menjadi penyebab keragaman pendefinisian dan pemahaman.
Definisi diplomasi humanitarian meluas mengikuti banyaknya organisasi pemberi definisi dan aksinya. Secara sempit, didefinisikan sebagai aktivitas dari organisasi terspesialisasi Demi mendapatkan ruang negosiasi dan tindakan saksama dari otoritas politik dan keamanan, berlandaskan prinsip independensi, kenetralan, dan keadilan.
Secara luas, Hazel Smith mendefinisikannya sebagai negosiasi Demi kepentingan Sosok, perlindungan anak, Perempuan, dan Golongan rentan serta partisipasi negara dan organisasi nonnegara dalam aksi humanitarian di konteks yang makin terpolitisasi berdasarkan kedaruratan kemanusiaan.
Sederhananya, diplomasi humanitarian bukan hanya soal Donasi kemanusiaan di situasi konflik bersenjata, melainkan juga dalam situasi kerentanan akibat bencana alam, epidemi, dan krisis sosial. Selain butuh pelibatan aktor negara dan nonnegara, misi komprehensifnya ialah menjaga Derajat kemanusiaan. Tata dunia yang ditegakkan berlandaskan penghormatan pada kesetaraan hak dan Derajat kemanusiaan sejatinya juga merupakan visi humanitarianisme Islam yang digagas GP Ansor dan disebut dalam Komunike Bali R-20.
Transformasi Dunia memaksa diplomasi tradisional banting setir memilih rute baru, ‘diplomasi intersosial’, yang meniscayakan bukan hanya aktor yg berbeda, melainkan juga aksi yang tak Tengah sama. Bertrand Badie Menonton bahwa negara Tetap Dapat terlibat dalam permaian baru ‘diplomasi transnasional’ tersebut dengan memenuhi tiga syarat: mengubah agenda, meluaskan level intervensi, dan melibatkan aktor baru. Dalam diplomasi baru itu, negara harus rela menceburkan diri dalam isu sosial dan keamanan nontradisional, meluaskan jejaring sosial, dan bersedia merangkul pemain-pemain baru.
Dalam konteks penanganan pencari suaka itulah Indonesia sebagai entitas negara dan UNHCR sebagai entitas supranegara dituntut membuka diri Demi bermitra dengan komunitas Muslim, memanfaatkan institusi Anggaran sosial Islam, dan menapaki rute baru: diplomasi humanitarian Islam.
Filantrofi Islam Demi pengungsi
Kebutuhan dasar penanganan pengungsi membutuhkan biaya tak sedikit. Akses pada makanan, hunian, kesehatan, pendidikan, serta pekerjaan membutuhkan Anggaran besar. UNHCR membutuhkan setidaknya US$10,2 miliar. Selama ini, pendanaan Demi pengungsi ditopang dari dua sumber, negara Personil PBB dan pihak swasta. Hingga 2022, UNHCR telah membantu 1,5 pengungsi migran. Dari pihak nonnegara, mereka memperoleh Donasi sebesar US$38 juta atau Sekeliling Rp601,8 miliar yang berasal dari filantrofi Islam (zakat, infak, dan sedekah) dari seluruh dunia. 12 ribuan pencari suaka di Indonesia juga merasakan manfaatnya.
Prakarsa Anggaran Zakat Demi Pengungsi dimulai sejak 2017 dan dirilis menjadi program Formal pada 2019. Sejak 2017, Dekat US$200 juta (Sekeliling Rp2,9 triliun) telah digalang UNHCR dari skema itu. Melalui kerangka kemitraan sektor publik, UNHCR merangkul lembaga Anggaran sosial Islam di tingkat lokal dan Dunia Demi mengumpulkan zakat, sedekah, atau pendanaan lain yang didedikasikan Demi pengungsi dan orang dalam hirauan lainnya–pengungsi lokal (internally diplaced persons), pencari suaka, imigran kembali (returnees), orang nirkewarganegaraan (stateless persons)–tanpa Menyantap Keyakinan mereka.
Pelibatan sektor ketiga dari komunitas Islam itu juga menjadi jalan tengah dilema UNCHR sebagai lembaga pengumpul zakat selain dukungan fatwa dari 15 lembaga fatwa. Di Indonesia, Kawan filantrofi Islam Demi pengungsi tersebut antara lain Baznas, BSI Maslahat, Dompet Dhuafa, dan Rumah Zakat.
Sayangnya, Donasi filantrofi Islam UNHCR Indonesia di Rendah payung Kemitraan Sektor Publik, dalam Laporan Tahunan Filantrofi Islam 2022, Tetap terbatas pada program intervensi berbasis Donasi Doku Kas (cash-based intervention program). Memang Donasi apa pun ke pencari suaka, termasuk Anggaran segar, menjadi oase bagi penderitaan mereka. Tetapi, program itu hanya memosisikan pencari suaka sebagai sekadar ‘tangan di Rendah’.
Corak karitatif itu Tak Tengah memadai karena lahir dari Metode pandang humanitarianisme klasik-dunantis. Paradigma tradisional dikritik karena tak beranjak dari model Pelan asistensi kedaruratan kemanusiaan yang secara historis digagas Henry Dunant melalui Komite Palang Merah Dunia (ICRC). Pendekatan paternalistik ‘tangan di atas’ itu menempatkan status pengungsi sebagai korban yang Bisa melantarkan iba.
Agar sesuai dengan misi hukum Islam Demi menjaga muruah kemanusiaan, asistensi humanitarian melalui filantrofi Islam perlu pendekatan baru yang transformatif dan emansipatoris. Agenda baru Demi Perlindungan sekaligus memberdayakan mereka yang berkebutuhan akibat terusir dari ruang sosialnya. Dengan keterbatasan Indonesia, solusi yang saling memberi manfaat perlu diinisiasi. Misalnya, melalui pendidikan keterampilan dan kewirausahaan yang juga membantu ekonomi Indonesia.
Tahun Lampau, UNHCR berkongsi dengan Bank Pembangunan Islam (IDB) merilis Anggaran Dunia Islam Demi Pengungsi. Penemuan itu Demi mendorong peningkatan Anggaran wakaf dan nonwakaf hingga US$500 juta guna membangun ketahanan dan pemberdayaan pencari suaka sembari meningkatkan akses mereka ke kebutuhan dasar, seperti pendidikan, hunian, layanan kesehatan, air dan sanitasi, hingga Daya hijau. Indonesia dalam Lembaga Dunia Pengungsi 2019 telah berkomitmen memberdayakan pencari suaka secara bertahap, dimulai dengan akses pendidikan bagi anak pengungsi.
KH Said Aqil Siradj, Ketua Lembaga Persaudaraan Ormas Islam, dalam Peringatan Hari Pengungsi Dunia pada 20 Juni Lampau pernah mengingatkan, “Mereka yang terusir dari tanah airnya karena perang, bencana, kezaliman, dan kelaparan perlu diberdayakan dan disejahterakan,” Niat mulia tersebut melazimkan kepedulian, empati, filantrofi, dan kerja sama umat Islam, Berkualitas di Indonesia maupun penjuru dunia Islam.

