
DALAM acara Nonton Bareng (nobar) Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar) kedua, pemilih muda dan aktivis lingkungan menyatakan kekecewaannya. Karena debat Kagak membahas langkah konkret transisi Daya yang diperlukan Demi menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak.
Hal ini terungkap dalam acara Festival Pilkada Bandung, sebuah proyek kolaborasi berbagai elemen anak muda Demi Berjumpa dan berdialog dengan calon pemimpin Jabar, khususnya Demi mendorong aksi iklim pada Sabtu (16/11).
Demi diketahui Ketika ini di Jabar tengah menghadapi krisis lingkungan yang serius, di mana daya dukung dan daya tampung lingkungan telah terlampaui. Menjadikan provinsi ini sebagai Area dengan jumlah bencana tertinggi di Indonesia. Dari Januari hingga Oktober 2024, tercatat telah terjadi 610 kejadian cuaca ekstrem, 400 tanah longsor, 187 banjir. 158 kebakaran hutan, 18 kekeringan dan 16 gempa bumi, yang terjadi akibat krisis iklim.
Elok F. Mutia, Project Lead Pilah Pilih, Elok F Mutia mengatakan, orang muda di Jabar merupakan Golongan Krusial dalam pemilu kali ini. Data dan aspirasi yang dikumpulkan membuktikan bahwa kesadaran mereka semakin tinggi tentang krisis iklim, termasuk tentang tuntutan mereka terhadap Daya Rapi.
“Salah satu masalah terbesar di sektor Daya di Jabar adalah banyaknya industri yang Tetap menggunakan Daya fosil, termasuk di Cirebon, Letak di mana debat calon gubernur ini dilaksanakan. Sayangnya, hal ini Kagak menjadi pembahasan kunci dalam debat kali ini yang juga membahas tema lingkungan,” ungkap Mutia.
Alsya Aquia, salah satu panelis dari Climate Rangers Cirebon menyoroti bahwa di daerahnya, isu Primer adalah industri Daya, terutama PLTU yang Semestinya sudah dipensiunkan Awal. “Kalau mau mengatasi masalah yang satu, jangan Membangun yang baru. Sektor Daya Pandai ditransmisikan ke yang terbarukan, apalagi banyak Pengaruh Jelek PLTU Kagak hanya ke lingkungan tapi juga kesehatan, ekonomi sosial masyarakat Sekeliling,” tutur Alsya.
Pemetaan tata ruang dan tata guna lahan menjadi salah satu poin pembahasan yang Lanjut dikemukakan oleh beberapa calon gubernur. Menanggapi hal ini, Dani Setiawan dari Rhizoma menilai, calon gubernur terkesan Bahkan menyalahkan masyarakat seperti pembabatan hutan dan penambangan illegal.
“Tetapi Kagak Terdapat protes Terang seperti terhadap proyek strategis nasional yang mendapat izin dan dukungan kuat dari pemerintah pusat,” ujar Dani.
Sementara itu, Stanislaus Apresian, Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Perubahan Iklim dari Universitas Parahyangan (Unpar) menyatakan, jawaban dari para calon relatif Tetap Lazim, Tetap sekadar melakukan identifikasi dan berbagai inisiatif yang sudah Terdapat. Mereka Kagak membahas tentang nature-based solution Demi mencegah banjir dengan memanfaatkan alam, hanya membahas infrastruktur.
“Tentang transisi Daya pun Kagak Terdapat yang berani bilang Demi melakukan penutupan PLTU batubara, Kagak Terdapat yang berani bahas, when, Kagak Terdapat,” kata Stanislaus.
Festival Pilkada Bandung merupakan proyek kolaborasi antara Pilah Pilih, Bijak Pilkada, Demokrasi Kita, Bangun Bandung, Enter Nusantara, Muda Empati, Climate Ranger, Rhizoma Indonesia, Plabs.id dan Bandung Punya Kita. Dalam laporan ‘Muliakan Bumi Parahyangan’ yang dikeluarkan dari kolaborator Kampanye Pilah Pilih, masalah lingkungan Primer yang menjadi perhatian Kaum Jabar antara lain adalah ketergantungan terhadap Daya fosil, persampahan, tata guna lahan dan korupsi iklim.
Jabar tercatat Mempunyai ketergantungan pada Daya fosil yang Tetap tinggi, dengan prediksi emisi gas rumah kaca mencapai 135 juta ton eCO2 tanpa aksi mitigasi di tahun 2030, sementara penggunaan Daya terbarukan baru mencapai 2% dari total potensinya.
Laporan ini juga memberikan beberapa rekomendasi kebijakan Demi pemimpin Jabar terpilih, antara lain mengurangi penggunaan Daya fosil dan meningkatkan Bagian Daya terbarukan dalam Rencana Lazim Daya Daerah (RUED). Selain itu perlu adanya dukungan desentralisasi Daya terbarukan berbasis komunitas, dan dorongan kebijakan tata ruang yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta kebijakan yang lebih kuat dalam pencegahan bencana dan pengelolaan lingkungan. (H-2)

