TAHUN 2024 akan menjadi tahun politik bagi Indonesia karena pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan diselenggarakan secara serentak. Berbagai isu dan wacana mulai menghangatkan suasana berbangsa dan bernegara.
Berbagai macam spekulasi dan argumentasi politik mulai memenuhi obrolan sehari-hari. Fakta dan opini mulai bercampur-baur lewat berbagai konten yang bertebaran di media sosial dan grup-grup keluarga. Publik sungguh dibuat bingung dengan berbagai fenomena dan peristiwa yang ikut membumbui pergolakan politik di negeri ini.
Terdapat yang menanggapinya serius penuh emosi, bersikap santai, atau bahkan menganggapnya hanya sebagai hiburan semata. Tetapi ada juga yang sama sekali tidak peduli dengan semua hal yang terjadi.
Pada kenyataannya, ini bukan pertama kalinya masyarakat merayakan pesta demokrasi. Setidaknya Indonesia telah melaksanakan 12 kali pemilihan umum (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019), termasuk lima kali pemilu pascareformasi.
Berbagai kontestasi politik untuk pemilihan kepala daerah juga bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat. Tetapi, sejak 2012 dunia politik begitu menyedot perhatian masyarakat bahkan hingga ke mancanegara dengan puncaknya terjadi pada 2017.
Terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar, juga terlepas dari siapa yang diuntungkan atau dirugikan dari berbagai fenomena tersebut, faktanya masyarakat terlanjur terpecah belah oleh karena pilihan politiknya.
Membela yang berkepentingan
Kerukunan kehidupan berbangsa dan bernegara telah direnggut oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Mereka memanfaatkan situasi dengan berbagai gorengan isu, membius siapa saja yang terpengaruh olehnya; mulai dari isu agama, politik identitas, ujaran kebencian, hoaks, hingga black campaign yang sedemikian rupa dimainkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Rekanan persahabatan dalam sekejap berubah menjadi permusuhan, pertemanan menjadi renggang. Bahkan hubungan silaturahmi antarkeluarga menjadi terputus hanya karena perbedaan pilihan politik.
Masyarakat sejatinya memiliki keinginan yang terbaik bagi negeri ini. Hal tersebut diekspresikan dalam berbagai bentuk termasuk soal pilihan politik. Tetapi demikian, sering kali masyarakat dikelabui dan diperdaya oleh narasi-narasi penggiring opini yang tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Hal tersebut membuat polarisasi yang cukup ekstrem pada masyarakat. Golongan yang memilih pasangan calon tertentu akan merasa bahwa hanya jagoan mereka yang baik dan layak dipilih. Sementara pasangan lainnya dianggap bobrok, tidak layak dipilih, dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi pada sisi yang sebaliknya.
Kondisi tersebut semakin mengenaskan dengan munculnya model mental seperti; pertama, jika saya memilih calon A, saya hanya akan percaya pada berbagai kebaikan calon A serta berbagai keburukan calon B. Kedua, jika saya memilih calon A, berarti orang lain yang memilih calon B merupakan musuh, pengkhianat, orang bodoh, dan orang dengan berbagai label negatif lainnya.
Psikologi sosial
Model mental tersebut tetap muncul sekalipun orang lain dengan pilihan politik berbeda sebenarnya merupakan teman baik, sahabat, bahkan keluarga.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi? Tentu ada begitu banyak faktor yang dapat memengaruhi. Tetapi, salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut dikemukakan oleh Henry Tajfel, seorang ilmuwan di bidang psikologi sosial yang melakukan eksperimen sekitar 1970-an.
Dalam eksperimen tersebut, sekelompok orang yang tidak saling kenal sebelumnya diminta untuk membuat perkiraan dari jumlah rumah yang terdapat dalam sebuah klaster dengan sebuah imbalan bagi mereka yang paling mendekati dengan jumlah yang sebenarnya.
Tanpa benar-benar menghitung jumlah klaster secara spesifik, Henry Tajfel membagi kelompok tersebut secara acak menjadi dua bagian, berdasarkan orang-orang yang dianggap menebak jumlah rumah terlalu banyak dan terlalu sedikit. Bagian menariknya adalah setelah itu, ia meminta mereka membagikan uang sebagai imbalan tersebut, namun bukan secara individu melainkan secara kelompok.
Hasil dari eksperimen ini menunjukkan bahwa orang cenderung sebisa mungkin memberikan nominal uang yang lebih banyak pada kelompoknya dibandingkan orang di luar kelompoknya. Hasil yang sama terjadi pada objek eksperimen berbeda, seperti sekelompok mahasiswa diminta memprediksi jumlah kacang dalam toples dan kemudian mahasiswa tersebut dibagi menjadi dua kelompok.
Mahasiswa akan cenderung memberikan uang lebih banyak pada orang-orang di kelompoknya daripada orang-orang di luar kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa untuk perbedaan sekecil apapun dan mungkin yang tidak berarti sekalipun (seperti jumlah kacang) dapat menimbulkan bias dalam kelompok (in-group) dan luar kelompok (out-group).
Orang cenderung akan berpandangan positif terhadap kelompoknya dan berpandangan negatif pada orang-orang di luar kelompoknya. Perbedaan yang terjadi bukan soal perbedaan ras, suku, dan budaya, melainkan hanya hal sepele, seperti jumlah kacang yang barangkali tidak ada artinya sama sekali.
Tetapi, hal tersebut saja sudah berhasil menimbulkan bias-bias tertentu dalam mengambil suatu sikap antarkelompok. Teori ini juga yang kemudian menghasilkan pemahaman terkait teori identitas sosial, yaitu kondisi ketika masyarakat secara naluriah akan mengkategorisasikan diri mereka ke dalam identitas sosial tertentu, baik disadari maupun tidak.
Ilusi
Hal tersebut dapat diperparah dengan adanya ilusi dan bias yang sangat mungkin terjadi di masyarakat dalam memandang suatu pilihan atau nilai tertentu. Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking Fast & Slow mengemukakan bahwa salah satu ilusi yang kerap kali terjadi adalah ilusi Muller-Lyer, yaitu ketika membandingkan garis A dan B, orang cenderung melihat garis B lebih panjang dari garis A walaupun panjang kedua garis tersebut sama.
Dampak negatif dari ilusi ini adalah orang cenderung akan tetap mempertahankan pendapatnya apapun yang terjadi. Apabila seseorang terlanjur berasumsi bahwa B lebih panjang, selamanya ia akan berpikir B lebih panjang.
Sebaliknya, jika seseorang menganggap A lebih panjang, selamanya ia akan berpikir bahwa A lebih panjang. Celakanya adalah perdebatan tersebut didasari pada sebuah ilusi yang sama sekali tidak nyata.
Mencermati eksperimen dan teori-teori tersebut, terlihat bahwa betapa mudahnya suatu masyarakat sosial terpolarisasi dan terkotak-kotak berdasarkan perbedaan-perbedaan tertentu, mulai dari perbedaan kecil hingga perbedaan pilihan politik.
Dengan kesadaran tersebut, masyarakat Indonesia dapat belajar untuk menghindari perpecahan yang mungkin terjadi pada saat-saat pemilu dan pilkada yang dilaksanakan sebentar lagi. Tentu kita semua tidak ingin terjadi pemutusan hubungan silaturahmi dengan teman dan keluarga, hanya karena perbedaan pilihan politik, di saat sebenarnya para elite partainya juga dalam posisi yang adem ayem.
Di sisi lain, peningkatan literasi untuk dapat memilah-milah informasi yang benar atau hoaks juga menjadi keterampilan yang sangat penting dimiliki. Hal itu perlu dilakukan agar terhindar dari fitnah dan kesalahpahaman yang kontraproduktif.
Hasilnya, perbedaan pandangan dan pilihan politik merupakan hal yang wajar terjadi dalam sebuah kontestasi politik. Tetapi demikian, siapapun pemenangnya, hal yang lebih penting adalah nuansa keharmonisan antar teman, sahabat, dan keluarga, bahkan sesama warga negara harus terus dipertahankan.
Jangan mudah juga diperdaya oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memang berniat membuat perpecahan dalam persatuan Republik ini. Karena itu, meski berbeda pilihan, sejatinya semua masyarakat memiliki tujuan yang sama, yaitu Indonesia.
Di sisi lain, masyarakat juga tidak boleh abstain/tidak peduli terhadap dinamika politik yang terjadi. Sebaliknya, masyarakat harus aktif mengawal demokrasi yang sesungguhnya hingga membentuk suatu ekosistem yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, sesuai cita-cita luhur para pendiri NKRI.
Pemikiran Bung Karno rasanya masih relevan hingga saat ini. ‘Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.’