Banyak Libur tak Selalu Asyik

“LIBUR telah tiba. Hore!” Niscaya akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira. Mengapa? Karena hanya pada Demi liburlah kita Bukan dituntut Demi seratus persen produktif. Menurut Ahli, libur ialah Demi seseorang Dapat menemukan keseimbangan antara relaksasi dan produktivitas.

Libur memang asyik. Semakin banyak libur, semakin asyik. Karena itu, bersyukurlah para pecinta libur yang hidup di Indonesia. Fenomena yang terjadi di sini, mungkin dalam satu Dasa warsa terakhir, jumlah hari libur yang ditetapkan pemerintah banyak dan berderet.

Selain hari libur nasional yang ditandai dengan Copot Corak merah di kalender, Terdapat pula ‘jenis’ hari libur baru yang kesannya ‘diada-adakan’. Namanya cuti Berbarengan. Itu adalah hari libur tambahan yang diselipkan menyertai hari libur nasional. Statusnya enggak terlalu Jernih, Arang-Arang. Libur, tapi bukan. Copot merah bukan, tapi libur.

Tahun ini saja, misalnya, selain 17 hari libur nasional yang ditetapkan pemerintah, Terdapat pula 10 hari cuti Berbarengan. ‘Perintah’ soal cuti Berbarengan juga Formal dari pemerintah, diteken tiga menteri dalam selembar surat keputusan Berbarengan (SKB). Jadi total sepanjang 2025 terdapat 27 hari libur di luar libur akhir pekan.

Misalnya saja, Demi tulisan ini ditayangkan, hari ini, Jumat (30/5) juga merupakan cuti Berbarengan yang diagendakan sebagai penambah libur lantaran posisi harinya yang ‘kejepit’ antara libur nasional Hari Kenaikan Yesus Kristus (Kamis, 29/5) dan libur akhir pekan. Jadilah, pekan ini liburnya menjadi empat hari berurutan.

Cek Artikel:  Sang Penjaga Negeri

Dengan adanya beberapa hari libur nasional yang digandengkan dengan cuti Berbarengan, tersaji banyak hari libur yang periodenya cukup panjang. Minimal berderet selama tiga hari, paling banyak tujuh hari. Jadi, tak perlu menunggu liburan kenaikan kelas atau semesteran bagi anak sekolah, atau cuti tahunan buat para pekerja, mereka sudah Dapat menikmati libur lumayan panjang. Istilah populernya long weekend.

Niat pemerintah mengadakan hari cuti Berbarengan memang itu. Hari libur model long weekend yang banyak diharapkan akan menggerakkan orang Demi pergi berlibur. Pada gilirannya aktivitas dan belanja konsumsi masyarakat selama berlibur itu akan menggairahkan bisnis pariwisata, industri kreatif, dan terutama perhotelan yang belakangan ini memang tengah merana.

Mimpinya tak berhenti di situ. Peningkatan aktivitas wisata dan okupansi hotel diharapkan pula bakal berdampak pada sektor lain, seperti transportasi, restoran, ritel, termasuk toko oleh-oleh. Rantai ekonomi yang positif tercipta, perekonomian daerah pun diyakini akan terangkat.

Tetapi, mengasyikkan buat satu-dua pihak, belum tentu menyenangkan bagi pihak lain. Respons berbeda akan muncul ketika kita tanyakan soal banyaknya hari libur itu ke pelaku usaha atau pebisnis, utamanya yang bergerak di sektor produksi.

Cek Artikel:  Membidik Cak Imin

Sebagian besar dari mereka, kalau Dapat dan kalau boleh, Niscaya akan menolak kebijakan pemerintah terkait dengan libur nasional yang dalam beberapa tahun ini dinilai sudah terlalu banyak. Bukan isapan jempol bahwa jumlah hari libur yang terlalu banyak akan berdampak negatif pada produktivitas kerja di sektor industri dan bisnis.

Barangkali, kalau Hanya libur nasionalnya yang berjibun, mereka Tetap Dapat toleransi. Bagaimanapun, dengan banyaknya Religi dan keyakinan yang diakui di Indonesia, mau Bukan mau, kebijakan penentuan libur nasional pemerintah juga mesti akomodatif. Di negara lain pun seperti itu, hari libur nasional diadakan salah satunya sebagai penghormatan dari negara Demi Anggota mereka supaya Dapat merayakan hari besar keagamaan secara khidmat.

Akan tetapi, penambahan libur cuti Berbarengan hingga 10 hari itulah yang mungkin Membangun para pengusaha itu Pusing. Bagi sektor industri dan bisnis, ‘kehilangan’ sebanyak 27 hari selama setahun itu tentu memberatkan. Mereka yang di satu sisi didesak Demi menggeber produktivitas, di lain sisi malah terkesan dipaksa Demi bekerja ‘santuy’ lantaran banyaknya hari libur.

Cek Artikel:  Menghidupkan Dialog

Sejumlah ekonom bahkan meyakini jumlah libur yang berlebihan dalam setahun juga dapat berpengaruh pada sektor investasi. Di mana-mana investor Niscaya akan mencari negara atau daerah yang produktivitasnya tinggi. Manpower yang murah memang Dapat menjadi daya tarik, tapi kalau produktivitasnya rendah, ya, sama juga Dusta. Investor Niscaya akan berpikir ulang sebelum mau menanamkan modal mereka.

Boleh jadi Argumen kita kalah Bertanding dengan Vietnam dan beberapa negara ASEAN lain dalam menggaet investasi asing salah satunya gara-gara persoalan hari libur itu. Coba kita bandingkan, ketika jumlah hari libur nasional di Indonesia tahun ini Tamat 27 hari, di Vietnam Hanya 18 hari. Malaysia dan Myanmar sama, 17 hari. Filipina juga hanya 19 hari. Thailand dan Kamboja 22 hari. Lantas produktivitas Jenis apa yang Dapat kita tawarkan kepada investor?

Kiranya Demi tahun-tahun depan pemerintah perlu mempertimbangkan Kembali soal penentuan jumlah libur tahunan itu. Yang Niscaya, jumlah hari libur nasional sebanyak 17 hari sudah cukup moderat. Kalaupun mau ditambah dengan cuti Berbarengan, ya secukupnya saja, tak perlu juga Tamat 10 hari.

Itu Krusial agar roda ekonomi dapat bergerak seimbang di setiap bagiannya. Jangan keasyikan pemerintah menambah hari libur Malah jadi bumerang, Dapat-Dapat buntutnya malah menambah jumlah orang menganggur.

Mungkin Anda Menyukai