Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid merespon pernyataan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Yusril Ihza Mahendra mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa Lewat.
Usman menilai tak sepantasnya Yusril sebagai pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi Insan, apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM.
“Itu Enggak mencerminkan pemahaman undang-undang yang Benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Usman melalui keterangannya, Senin (21/10).
Usman mengatakan pernyataan Yusril itu juga mengabaikan laporan-laporan Formal pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa Lewat yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.
Menurut hukum Global, kata Usman, setidaknya Terdapat empat kejahatan paling serius Yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Serangan, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma.
“Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut juga sudah diserahkan ke Jaksa Mulia. Ini sudah menjadi fakta awal hukum yang Enggak Dapat dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil. Setidaknya oleh pengadilan ad hoc yang memeriksa pelanggaran HAM yang berat masa Lewat tersebut. Sayangnya tak kunjung Terdapat usul DPR dan keputusan Presiden, sesuai Pasal 43 UU Pengadilan HAM,” katanya.
Usman mengatakan pernyataan Yusril itu bukan hanya Enggak Seksama secara historis dan hukum tapi juga menunjukkan sikap Enggak empati pada korban yang mengalami peristiwa maupun yang bertahun-tahun mendesak negara agar menegakkan hukum. Tragedi Mei 1998, kata ia, menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan Grup etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa pada Begitu itu.
“Terlebih ini disampaikan pada hari kerja pertama Menko Yusril. Ini sinyal pemerintahan baru yang mengaburkan tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa Lewat. Pemerintahan yang lelet juga telah pernah menyangkal, meski akhirnya mau mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat, termasuk Tragedi Mei 98,” katanya.
“Kewenangan penentuan apakah sebuah peristiwa menurut sifat dan lingkupnya tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang, bukan oleh presiden apalagi menteri. Tapi pengadilan HAM, setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM. Komnas pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa Lewat, termasuk Tragedi Mei 98, hingga tuntas.”
Sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra, pada hari pelantikannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Permasyarakatan RI, Senin (21/10) di Istana Kepresidenan, Jakarta, menyatakan bahwa Indonesia selama beberapa tahun terakhir Enggak terjadi pelanggaran HAM berat. Peristiwa kerusuhan 98 dianggapnya bukan pelanggaran HAM berat.
“Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, massive killing, ethnic cleansing, Enggak terjadi dalam beberapa Sepuluh tahun terakhir, mungkin terjadi Bahkan pada masa kolonial ya, pada waktu awal perang kemerdekaan. Tapi dalam beberapa Sepuluh tahun terakhir ini Dekat Dapat dikatakan Enggak Terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM berat.”
“98 enggak termasuk?” tanya wartawan. Yusril menjawab, “Enggak.” (Fah/P-2)