SEJAK diundangkan pada 9 Mei 2022, implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Lagi menemui berbagai tantangan. Meski telah 2,5 tahun berjalan, aturan ini seolah tak berdampak signifikan dalam menekan jumlah kekerasan seksual hingga sulitnya memberikan hak-hak perlindungan dan penanganan bagi korban dan saksi.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Antonius PS Wibowo mengatakan bahwa implementasi undang-undang tersebut Lagi menghadapi sejumlah tantangan antara lain ketersediaan layanan yang memadai, sinergitas pelayanan antar lembaga, dan kebutuhan penanganan yang lebih responsif terhadap korban.
“Pada upaya pencegahan penanganan, perlindungan dan pemulihan Lagi menghadapi berbagai tantangan Berkualitas berupa ketersediaan layanan yang belum memadai sehingga pelayanan antar lembaga Lagi harus dioptimalkan dan dibutuhkannya penanganan yang lebih responsif terhadap kondisi korban,” ujarnya pada peluncuran dan Percakapan Hasil Kajian Implementasi UU TPKS di Jakarta pada Rabu (11/12).
Lebih lanjut, Antonius memaparkan bahwa permohonan perlindungan dalam tindak pidana kekerasan seksual Lanjut meningkat setiap tahunnya. Dipaparkan pada 2022 terdapat 672 permohonan, jumlah itu meningkat menjadi 1.063 permohonan tahun 2024.
“Atas dasar tersebut, kajian ini mendorong berbagai kebijakan kepada kementerian/lembaga serta para pendamping korban dan saksi. Kajian ini juga secara Spesifik Membikin rekomendasi Spesifik tentang restitusi bagi korban,” katanya.
Sebagai ikhtiar Demi mengatasi berbagai tantangan tersebut, LPSK melakukan kajian terhadap implementasi UU TPKS yang berfokus pada Pengkajian implementasi yang bertujuan Demi penguatan, perlindungan dan pemulihan korban serta pencegahan kekerasan seksual.
“Kami berupaya mengidentifikasi tantangan dalam implementasi UU TPKS. Kajian ini diharapkan bermanfaat dalam mendorong strategi penguatan dan optimalisasi penyelenggaraan pelayanan terpadu bagi korban kekerasan seksual sehingga mendukung perlindungan hak asasi dan korban dalam proses peradilan,” imbuh Antonius.
Antonius Menjelaskan bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu masalah krusial yang harus mendapat perhatian Spesifik oleh institusi lintas bidang. Karena itulah, kajian tersebut menyampaikan sejumlah rekomendasi Demi memperkuat layanan bagi saksi dan korban.
“Kepolisian serta pendamping harus memahami Mekanisme permohonan restitusi, Lampau Demi Kementerian PPPA perlu mensosialisasikan hukum acara yang tunduk kepada undang-undang PPKS, Kejaksaan Akbar harus mengembangkan Panduan eksekusi restitusi, dan Mahkamah Akbar harus pengembangan panduan dan dan hukuman bagi pelaku,” katanya.
Selain itu, LPSK juga menerbitkan keputusan tentang Panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan internal LPSK guna menghilangkan kekerasan seksual dalam Rekanan kuasa di lembaga tersebut.
“Para pimpinan dan pegawai telah menandatangani pakta integritas anti kekerasan seksual dan anti bullying di lingkungan LPSK. Hal ini Demi membangun dan menerapkan standar bagi banyak pihak Demi memberikan perlindungan yang optimal bagi saksi dan korban,” tandasnya. (Dev/I-2)