Aksi Lelet Perampasan Aset

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) Maju bermain-main dan mengombang-ambingkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Setelah Tak jua membahasnya meski sudah diusulkan sejak 2008, parlemen Tak memasukkan RUU itu ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029.

Keputusan sementara dari Badan Legislasi (Baleg) DPR itu seolah melawan janji pemberantasan korupsi yang berkali-kali digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Keputusan itu juga mengecewakan masyarakat yang selama ini menantikan gebrakan pemberangusan korupsi yang Tak business as usual dengan beleid soal perampasan aset.

Harus kita katakan bahwa RUU Perampasan Aset sangat Krusial Demi efektivitas pemberantasan korupsi. Ia memberi payung hukum bagi penindakan aset dan harta yang Tak dapat dijelaskan asal-usulnya, serta dapat menjadi instrumen pemulihan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi.

Cek Artikel:  Kebocoran Data DPT bukan Soal Sepele

Karena itu, sesungguhnya pengesahan RUU Perampasan Aset sangatlah mendesak Demi meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, memperkuat sistem hukum, dan memulihkan kerugian negara sekaligus mematuhi standar Global.

Dengan pengesahan RUU tersebut, negara dapat menyita hasil kejahatan, termasuk aset-aset yang disembunyikan di luar negeri. Selama ini, aset-aset pelaku korupsi di luar negeri Tak Dapat dijangkau oleh otoritas hukum.

Perampasan aset juga Dapat menjadi alat yang kuat Demi memulihkan kekayaan negara. Rampasan aset dari koruptor dapat meningkatkan penerimaan negara sebagai salah satu modal pembangunan nasional.

Tetapi, DPR bak gagal Pusat perhatian. Alih-alih kembali memasukkannya dalam prolegnas, DPR malah mempersoalkan diksi ‘perampasan’ yang digunakan. Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia mempersoalkan kata ‘perampasan’ menurutnya Tak elok dan Tak Berkualitas bagi negara. Ia menuntut kata ‘perampasan’ itu diganti dengan istilah ‘pemulihan’.

Cek Artikel:  Hukum Timpang, Demokrasi Tumbang

Penggantian istilah perampasan menjadi pemulihan didasarkan pada istilah stolen asset recovery yang digunakan oleh United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Ia menekankan bahwa kata recovery bermakna pemulihan dalam diksi bahasa Indonesia.

Mempersoalkan diksi atau nama RUU ketika kehendak Demi mengegolkan RUU itu saja Tak tampak, itu sama artinya DPR sedang berpura-pura lupa pada substansi atau akar masalah sesungguhnya. Patut diduga Terdapat yang sedang coba ditutup-tutupi dengan malah sibuk mempersoalkan nama ketimbang membahas isinya.

Sejatinya, menggunakan bahasa keras terhadap para pelaku kejahatan, apalagi koruptor, juga Absah-Absah saja. Menghadapi pelaku kejahatan memang harus keras, tak perlu bersopan santun dan lembek.

Cek Artikel:  Gagap Pelayanan Kepabeanan

Akan tetapi, kita tak perlu menghabiskan Daya Demi mendebatkan pola pikir yang sedang dibangun DPR. Jangan Tiba Bahkan berlarut-larut mempersoalkan hal-hal yang Tak perlu.

Silakan saja Kalau memang parlemen Mau membuang kata perampasan dan menggantinya dengan kata pemulihan dalam RUU tersebut. Itu bukan hal yang substantif. Ibarat kucing, Tak masalah dia Corak hitam atau putih, yang Krusial Dapat nangkap tikus. Gitu aja, kok, repot.

Begitu pula dalam perkara korupsi. Apa pun namanya nanti, yang terpenting bagi publik ialah bahwa RUU tersebut harus segera dibahas dan disahkan Demi memberikan Pengaruh jera bagi koruptor. DPR tak perlu banyak cakap soal komitmen kepada pemberantasan korupsi. Tunjukkan saja komitmen itu dimulai dari RUU ini. Masukkan RUU Perampasan Aset kembali ke prolegnas.

 

 

Mungkin Anda Menyukai