SISTEM Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang semestinya mempermudah proses penghitungan suara di Pemilu 2024, malah terus memantik persoalan. Kapasitas, profesionalitas, bahkan kredibilitas Komisi Pemilihan Lumrah (KPU) pun kian relevan untuk dipersoalkan.
Di era kemajuan teknologi, penggunaan sistem informasi sebagai alat bantu untuk rekapitulasi hasil pemilu memang perlu. Dari sisi fungsi, keberadaan Sirekap untuk memudahkan petugas pemilu menginput hasil penghitungan dan tabulasi data perolehan suara, lalu mengirimkan serta memublikasikannya di setiap tingkatan secara berjenjang memang bagus. Tujuannya baik, sayangnya pelaksanaannya buruk, sangat buruk.
Sirekap lagi dan lagi justru memicu kekisruhan. Sirekap terus dan terus menghadirkan problematika, yang tak cuma merugikan para kontestan tetapi juga publik secara keseluruhan.
Sirekap mendapat sorotan miring ketika suara partai A atau calon anggota legislatif B tiba-tiba melonjak, sedangkan partai C dan caleg D berkurang signifikan. Sirekap menjadi sasaran kecurigaan tatkala suara PSI, partai yang diketuai putra bungsu Presiden Jokowi, tetiba membengkak luar biasa. Sekadar contoh, di Lebak, Banten, suara di C plano cuma 5 tapi di Sirekap 350. Pun di banyak daerah lain, demikian pula data keseluruhan di Sirekap yang menunjukkan anomali gila-gilaan.
Belum beres ketidakberesan itu, kekarutmarutan kembali diperlihatkan Sirekap. Kali ini, diagram perolehan suara Pemilu 2024 mendadak dihilangkan. Kepada bisa memantaunya, masyarakat harus mengecek satu persatu tempat pemungutan suara tiap wilayah di situs Sirekap dan asal tahu saja, jumlah TPS mencapai 823.220.
Sekali lagi, Sirekap yang semestinya menyodorkan data dan grafik yang akurat dan gampang dibaca malah menyusahkan.
Kalau kesalahan terjadi sekali dua kali, itu manusiawi. Akan tetapi, kalau kesalahan terjadi berulang kali, kita patut menyebut Sirekap memang amburadul. Bahkan, wajar, sangat wajar, jika ada yang berprasangka bahwa sistem informasi yang telah dirintis sejak tiga tahun lalu dengan biaya mahal itu bagian dari desain kecurangan, skenario besar tangan-tangan jahat.
Publik butuh jawaban yang jelas, bukan yang asal-asalan, dari KPU kenapa Sirekap penuh dengan kelemahan dan kejanggalan. Publik tak butuh pembenaran, tak perlu lagi argumentasi bahwa hasil pemilu didasarkan pada penghitungan manual, berlandaskan formulir C. Kalau memang begitu, buat apa ada Sirekap? Kalau memang demikian, apakah Sirekap bisa dikelola seenaknya, dibiarkan penuh kejanggalan?
Sengkarut terkini kian menegaskan bahwa audit forensik terhadap Sirekap adalah kemestian. Terlalu banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban segera, terlalu besar persoalan di Sirekap yang butuh penyelesaian selekasnya.
KPU semestinya tak lagi konsisten dengan penyangkalan terkait dengan buruknya Sirekap. Kalau memang sefrekwensi dengan keinginan publik agar Sirekap terang benderang, bersih dari sasaran kecurigaan, apa susahnya KPU mengamini audit forensik?
Karut-marut teranyar di Sirekap semakin menguatkan indikasi kecurangan di Pemilu 2024 sekaligus mengonfirmasi pentingnya penggunaan hak angket oleh DPR. Dugaan kecurangan dan pelanggaran pemilu dengan banyak cara di banyak lini, termasuk lewat Sirekap, mesti diselidiki lewat jalur resmi, dengan cara-cara legal konstitusional. Jangan biarkan predator demokrasi bebas melenggang.