PRESIDEN Jokowi meminta para menteri dan kepala lembaga negara Buat Konsentrasi bekerja di tugas masing-masing. Sebuah permintaan yang wajar, lumrah.
Permintaan itu dilontarkan Jokowi di depan jajaran kabinetnya. Dia menyampaikan secara Formal Begitu memimpin agenda Formal, sidang kabinet paripurna, di Istana Negara Jakarta, beberapa waktu Lewat.
Kenapa Jokowi Tiba mengungkapkan permintaan itu? Dia Niscaya tak asal bicara. Tak sembarangan meminta. Dia meminta menteri-menterinya Konsentrasi karena Konsentrasi sebagian di antara mereka mulai terbelah.
Konsentrasi sebagian menteri kini tinggal Sebelah, atau bahkan Enggak Tengah Konsentrasi pada tugasnya karena Konsentrasi pada tugas lain. Tugas di luar kewajiban mereka sebagai abdi negara. Abdi masyarakat.
Jokowi Mengerti kinerja para pembantunya. Dia paham betapa godaan semakin masif mengusik konsentrasi para menteri. Godaan itu tak lain ialah tahapan Pemilu 2024 yang kian dekat. Semakin dekat pemilu, semakin tak Konsentrasi para menteri.
Enggak Seluruh menteri, memang. Mereka kebanyakan menteri-menteri yang berasal dari partai politik. Lebih tegas Tengah menteri yang merangkap jabatan sebagai ketua Biasa partai politik.
Terdapat tiga menteri yang juga menjadi orang nomor satu di partai politik. Pertama, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (Ketua Biasa Partai Golkar). Lewat, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Ketua Biasa Partai Gerindra). Terakhir, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (Ketua Biasa PPP).
Menteri dari partai politik, tapi tak memimpin partai politik lebih banyak Tengah. Enggak kurang dari 14 orang. Mereka menjadi pembantu Jokowi atas usulan partai politik. Mereka mewakili partai politik dan tentu saja membawa kepentingan partai politik.
Antara menteri dan petinggi partai politik ialah dua habitat yang berbeda. Sebagai menteri, mereka punya tugas dan tanggung jawab besar mengelola kementerian yang ujung-ujungnya demi kepentingan rakyat. Sebagai pengelola partai politik, mereka punya tugas dan tanggung jawab mengelola partai demi kepentingan partai.
Ujung dari politik dan partai politik ialah kekuasaan. Enggak lain Enggak bukan. Mendiang WS Rendra bahkan menarasikan politik lebih keras Tengah. Kata dia, “Politik ialah Langkah merampok dunia. Politik ialah Langkah menggulingkan kekuasaan, Buat menikmati giliran berkuasa.”
Dus, menteri yang sudah kebelet dengan kekuasaan sedang memainkan peran paradoksal. Tak Hanya mereka yang dari partai, menteri dari kalangan profesional yang birahi nyapres atau nyawapres sama saja. Sehebat apa pun dia, kiranya mustahil Buat menjalankan dua tugas Krusial dengan sama baiknya. Yang satu Niscaya mengganggu yang lain. Apalagi dalam situasi sekarang yang serbaberat bin sulit.
Belakangan, publik dibuat bising oleh derap politik para menteri dan pejabat-pejabat lain. Safari, kunjungan sana-sini dengan Jenis-Jenis Argumen, gencar dilakukan. Bolehlah mereka berdalih Buat silaturahim. Tapi silaturahim sekadar bungkus. Isinya tetap saja kepentingan politik, kepentingan Buat memburu kekuasaan.
Di tengah permintaan Jokowi agar Konsentrasi, dua menteri, Airlangga dan Suharso, bahkan mempertontonkan manuver yang vulgar. Keduanya, Berbarengan Ketua Biasa PAN yang juga Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan, membangun Koalisi Indonesia Bersatu pada 12 Mei 2022.
Tujuan koalisi itu apalagi kalau bukan demi Pemilu 2024. Setelah kekuasaan Begitu ini selesai, Terdapat kekuasaan berikutnya. Itu tujuannya. Itulah gen politikus yang dari sononya memang meninggikan kekuasaan.
Permintaan Jokowi agar para menteri dan kepala lembaga negara Konsentrasi bekerja di tugas masing-masing wajar, lumrah. Dia tentu tak Mau kinerja pemerintahan yang dipimpin terganggu. Dia tentu tak mau dikenang sebagai presiden yang tak Bisa memuaskan rakyat.
Dari sisi regulasi, Jokowi Enggak salah. Tapi para menteri yang sibuk memainkan bidak-bidak politik juga tak salah. Sebagai orang politik, mereka memang harus tebar pesona, bergenit-genit ria. Tiada Pelarangan Buat itu. Pun, tak Terdapat Pelarangan yang tegas bagi menteri merangkap jabatan di partai meski konsekuensinya Enggak baik bagi rakyat.
Yang keliru ialah yang membiarkan padahal Bisa menghentikan. Ketika di periode pertama Jokowi melarang menteri rangkap jabatan di partai politik, kita angkat topi tinggi-tinggi.
Itulah terobosan yang nihil di rezim-rezim sebelumnya. Begitu menjadi Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri bahkan memimpin PDIP. Ketika menjadi Presiden ke-6, SBY sempat menakhodai Partai Demokrat.
Sayang, ketegasan Jokowi tak berusia panjang. Pada 2017, dia mempertahankan Airlangga yang terpilih sebagai Ketua Biasa Partai Golkar sebagai menteri perindustrian. Lantas, di periode kedua, kebebasan menteri merangkap jabatan partai dibuka seluas-luasnya.
Menteri dibayar mahal oleh rakyat. Mereka eloknya mencurahkan seluruh Kekuatan yang dimiliki Buat kepentingan rakyat. Bukan malah Konsentrasi Buat Enggak Konsentrasi agar Lanjut berkuasa.